Fokus Bisnis agar Jadi Dokter Nggak Mikir Uang

Fokus Bisnis agar Jadi Dokter Nggak Mikir Uang

Fokus Bisnis agar Jadi Dokter Nggak Mikir Uang Kebersahajaan Tirta Mandira Hudhi, Dokter Sekaligus Pebisnis Laundry Sepatu Kebutuhan kuliah di kedokteran mendorong Tirta Mandira Hudhi berbisnis dan bisnis itu pula yang akhirnya membantunya bisa menjadi dokter. Berdayakan anak-anak lulusan SD dan SMP sebagai pekerja. FOLLY AKBAR, Jogjakarta YANG dicita-citakan Tirta Mandira Hudhi sejak kecil itu akhirnya tercapai pada hari pertama bulan ini. Dia resmi bertugas sebagai dokter di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (UGM). Tapi, terkabulnya cita-cita menjadi dokter itu tak lantas membuatnya pensiun dari dunia yang memungkinkannya menjadi dokter: bisnis laundry sepatu. ”Saya tetap fokus di laundry sepatu supaya saat jadi dokter nggak mikir uang. Dokter kan kerjaan humanis,” terang pria 25 tahun itu. Dua dunia tersebut memang berkelindan dalam diri Tirta. Barangkali anak muda kelahiran Solo itu satu-satunya dokter di Indonesia yang juga ”tukang cuci sepatu” dan sebaliknya. Keduanya saling mendukung hingga tak mungkin bagi Tirta memilih satu di antaranya. Dia dulu menekuni laundry sepatu karena membutuhkan biaya tambahan kuliah. Dia bisa disumpah menjadi dokter tahun lalu karena sokongan biaya dari bisnis bersih-bersih sepatu. Semua bermula dari rasa malu. ”Kebutuhan buku kuliah sangat banyak. Karena malu kalau harus minta uang ke orang tua terus, akhirnya saya mencoba bisnis,” terang Tirta. Awalnya, Tirta memilih berbisnis di bidang TI (teknologi informasi) berbasis online. Namun, karena merasa tidak cukup menjanjikan, putra seorang pegawai bank itu mencoba peruntungan menjadi reseller sepatu. Maklum, sejak remaja Tirta merupakan pengoleksi sepatu. Namun, nahas, dia harus mengalami bangkrut. Dua kali malah. Sempat kecewa, Tirta memutuskan untuk vakum. Tapi, namanya juga butuh duit, otaknya memaksa mencari bisnis sampingan. Karena modal tidak ada, koleksi-koleksi sepatunya pun dijual untuk modal. Agar bernilai jual tinggi, semua koleksinya dibersihkan terlebih dahulu. ”Sisa pembersih itu saya gunakan, lantas ada beberapa teman yang nitip juga,” terangnya. Dari sana dia mulai percaya diri. Hingga akhirnya membuka jasa laundry sepatu di Kaskus pada 12 Oktober 2013 dengan nama Shoes and Care (SAC). Peminat di Kaskus pun cukup banyak. Dalam sebulan, dia bisa mendapat order 30 pasang sepatu. Untuk meningkatkan kualitas, Tirta terus menempa skill. Dia pun lantas belajar secara otodidak. Caranya, memanfaatkan tutorial di YouTube dan trik lain di internet. Pengetahuan tentang kimia dasar yang didapatkan di kampus ikut membantunya dalam proses pencarian ramuan pembersih. Hingga empat bulan berselang, letusan Gunung Kelud membuat Kota Jogjakarta tertutup abu vulkanis. Tak disangka, letusan itu justru membawa berkah besar bagi SAC. Orderan laundry semakin banyak. ”Saya langsung buka di empat media sosial. Facebook, Instagram, Twitter, dan website. Saya manfaatkan medsos itu habis-habisan,” terangnya. Benar saja, SAC miliknya semakin viral di media sosial. Komunitas-komunitas pencinta sepatu mulai mengenalnya. Omzetnya meningkat drastis hingga empat kali lipat. Bertepatan dengan HUT Kota Jogja 19 September 2014, outlet pertamanya berdiri di daerah Alun-Alun Kidul Jogja. Gerakan Jogja Free Wash pun digelar di hari itu. ”Saya belajar marketing. Salah satunya, cara pemasaran melalui event dan isu. Kita langsung dikenal Jogja,” terangnya. Tak ayal, tiga bulan outlet berjalan, break event point (BEP) sudah tercapai. Tak ingin mandek, outlet baru dibuat di daerah Sleman. Bekerja sama dengan barbershop, sebuah outlet pangkas rambut. ”Booming lagi, sampai kita dapat penghargaan Google sebagai 50 usaha yang paling dicari,” kata pria kelahiran Surakarta tersebut. Sejak saat itu, satu per satu outlet SAC mulai merambah kota-kota lain. Di Indonesia, total ada 19 outlet SAC. Di antaranya, 3 tempat di Solo, 3 Jakarta, 1 Tangerang, 1 Bandung, 2 Medan, 1 Palembang, 1 Semarang, 1 Depok, dan 5 Jogja. ”Sebesar 75 persen miliki sendiri, 25 persen kemitraan,” tuturnya. Bahkan, saat ini SAC juga sudah berdiri di Singapura. Pendirian outlet SAC di Singapura terhitung tidak sengaja. Saat diundang asosiasi komunitas sepatu se-Asia Pasifik, Tirta bertemu rekannya, Jazs Abdullah. Tertarik dengan konsep unik tersebut, mereka menyepakati pembuatan outlet di Singapura. Peminatnya pun cukup banyak. Namun, yang terpenting, outlet itu pula yang memantik datangnya pelanggan dari berbagai negara. ”Di Singapura hanya nerima, lalu dibersihkan di Indonesia,” terangnya. Outlet di Jalan Langenastran Lor Nomor 16 itu hanya berukuran sekitar 3 x 7 meter. Halamannya pun sempit. Hanya cukup untuk beberapa motor. Di dalamnya hanya ada sebuah meja customer dan tiga meja karyawan dengan desain standar berjejer rapi. Beberapa orang karyawan, seluruhnya pemuda, tampak sibuk membersihkan sepatu. Dari jenis bermacam-macam. Namun, di outlet sederhana itulah berbagai order pencucian sepatu dari Jepang, Hongkong, Belanda, Jerman, Australia, hingga Amerika Serikat dilayani. ”Hitungannya di sini lebih murah, laundry hanya 10 euro. Ongkos pengiriman hanya 40 euro,” kata Tirta saat ditemui di outlet lain miliknya di daerah Demangan, Jogjakarta (1/6). Sementara itu, ongkos laundry sepatu dengan standar yang sama di Eropa bisa mencapai 200 euro. Standar yang dimaksud Tirta adalah standar yang dikeluarkan Saphir, sebuah perusahaan perawatan sepatu dari Negeri Mode Prancis. Ya, sejak 2015, Shoes and Care sudah mendapat standar tersebut. Proses mendapatkan ”lisensi” itu terhitung tanpa diduga-duga. Saat itu salah seorang perwakilan Saphir tiba-tiba menghubungi Tirta. ”Dia tanya, kok hasil punyamu bisa mirip dengan saya. Saya jawab jujur, saya memakai punyamu hanya 20 persen. Lainnya saya bikin sendiri,” katanya. Karena tertarik, SAC bersama dua perusahaan serupa berkesempatan menjalani pelatihan yang digelar Saphir di Singapura. Kesempatan itulah yang sukses melegitimasi SAC sebagai jasa laundry sepatu bertaraf dunia. Tirta menerangkan, pencucian sepatu di SAC sangat minim penggunaan air. Dalam satu kali pencucian, air yang digunakan tidak lebih dari 500 mililiter. Setelah dibersihkan dari kotoran tanah, sepatu akan digosok dengan sebuah sikat yang sebelumnya dicelupkan ke air dan cairan khusus. Cairan khusus itu merupakan ramuan yang dibuat timnya. ”Ongkos membersihkan sepatu Rp 70 ribu. Tiga puluh menit selesai,” terangnya. Selain cuci, jasa lain yang ditawarkan Tirta adalah pewarnaan ulang pengeleman. ”Kalau sol tidak, itu rezeki tukang sol,” kata pria berkacamata tersebut. Saat ini bisnis laundry-nya tidak hanya fokus ke sepatu. SAC juga merambah tas, dompet, hingga topi. Bahkan, beberapa outlet juga menjual beberapa produk pakaian. Saat ini dia tengah mencoba peruntungan di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Mulai Kalimantan, Sulawesi, Lombok, hingga Bali masuk rencana ekspansi. *** Dengan semua yang telah dia raih itu, Tirta masih saja lekat dengan kebersahajaan seperti semasa kuliah. Hingga saat ini, dokter sekaligus pebisnis itu tetap setia menggunakan motor. Alasannya sederhana, dia lebih suka uangnya ditabung untuk mengembangkan bisnis. ”Sampai akhir tahun kemarin, saya masih pakai Supra 125 yang menemani proses saya sejak kuliah,” kata Tirta. Namun, karena ada salah seorang pegawainya di Solo yang membutuhkan kendaraan, motor kesayangannya itu terpaksa dia pinjamkan. Saat ini Tirta bermigrasi menjadi pengguna motor sport. Untuk kebutuhan angkut barang, dia memperoleh mobil pinjaman dari ayahnya. ”Mungkin karena kelihatan ngenes kali ya,” ujarnya berseloroh. Seumur hidup, Tirta tak pernah sekali pun meminjam uang. ”Kata bapak saya, kalau utang itu susah balikinnya,” terang dia. *** Kendati sudah menjadi dokter, tidak berarti Tirta telah puas. Dia juga menyimpan ide dan rencana terkait dengan profesinya sebagai dokter. ”Saya pengin (menjadi, Red) spesialis bedah. Itu cita-cita saya sekarang,” tuturnya. Rencananya spesialisasi itu dia ambil pada dua atau tiga tahun mendatang. Rencana tersebut bakal diwujudkan sembari beriringan dengan upaya membesarkan bisnisnya. Agar semakin banyak anak muda dari kalangan tidak berpunya yang bisa ditampungnya sebagai pekerja. Sampai kini dia sudah mempekerjakan lebih dari 80 orang. Mayoritas hanya lulusan SMP. Tirta mengaku memang sengaja mengakomodasi anak-anak putus sekolah. Menurut dia, kelompok itulah yang paling penting untuk diselamatkan masa depannya. Bahkan, tim kreatif yang bertugas mencari inovasi dipegang para lulusan SD. ”Sempat kesulitan di awal mendidiknya. Tapi, karena dia ada niat, ya bisa,” ujarnya. (*/c10/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: