UU Ciptaker Tak Ngaruh Narik Investasi

UU Ciptaker Tak Ngaruh Narik Investasi

Ekonom senior Faisal Basri JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) tidak akan efektif untuk menarik investasi di Tanah Air. Hal ini jika korupsi masih merajalela terjadi di Indonesia. Karenanya, UU Ciptaker tidak akan efisien dan berjalan optimal, jika korupsi tidak benar-benar dihilangkan dari Indonesia. Sebab penghambat investasi adalah korupsi. https://radarbanyumas.co.id/uu-ciptaker-disahkan-ump-2021-masih-mengacu-pp-lama/ "Yang paling membuat pening kepala para investor adalah korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien, sedangkan urusan ketenagakerjaan berada pada urutan kesebelas," ujarnya dalam keterangannya, kemarin (9/10). Lanjut Faisal, dalam Executive Opinion Survey 2017, yang dikutip Faisal Basri, masalah korupsi memang berada di urutan pertama. Sementara itu, urusan ketenagakerjaan berada di urutan sebelas. Faisal menjelaskan, kinerja investasi mengalami pertumbuhan yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir, bahkan tertinggi pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, yang menjadi masalah adalah pertumbuhan investasi yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan hasil yang tinggi juga. Hal inilah yang menurut Faisal harus dicarikan obat mujarabnya. "Ibarat anak di usia pertumbuhan yang dapat asupan bergizi, tetapi mengapa berat badannya tidak naik? Boleh jadi banyak cacing di perut anak itu," tuturnya. Faisal mengibaratkan cacing sebagai tindakan-tindakan korup yang menyedot darah dan energi perekonomian. Uang hasil korupsi dilarikan ke luar negeri dan atau digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Cacing juga diibaratkan dengan praktik antipersaingan. Proyek-proyek besar diberikan ke BUMN, tak ada tender sehingga tidak terbentuk harga yang kompetitif. Lebih lanjut, menurutnya cacing yang lebih berbahaya adalah para investor kelas kakap yang mendapatkan fasilitas istimewa karena hasil kedekatan dengan penguasa. "Investasi mereka sangat besar, tetapi hampir segala kebutuhannya diimpor, puluhan ribu tenaga kerja dibawa dari negara asal dan tidak menggunakan visa kerja. Lalu disediakan bahan baku sangat murah karena diterapkan larangan ekspor sehingga pengusaha dalam negeri yang memasok investor asing itu menderita luar biasa," bebernya. Nah, menurut dia, praktik-praktik ini akhirnya menyebabkan Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) Indonesia sangat tinggi. Di era Jokowi ICOR mencapai 6,5, sedangkan sepanjang kurun waktu Orde Baru sampai era SBY rata-ratanya hanya 4,3. Artinya, kata Faisal, selama pemerintahan Jokowi-JK, untuk menghasilkan tambahan satu unit output, diperlukan tambahan modal 50 persen lebih banyak. Tambahan modal itu tak lain dan tak bukan adalah investasi. Tak hanya lebih parah dari periode-periode sebelumnya, ICOR Indonesia pun tercatat paling tinggi di Asean. "Perangi saja terus korupsi, terutama di pusaran kekuasaan, dan segala bentuk pemborosan dengan menurunkan ICOR menjadi 4,7," ucap Faisal. Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat suara terkait penolakan UU Ciptaker yang baru-baru ini disahkan DPR. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memaparkan bawah UU sapu jagad terdapat 11 klaster yang bertujuan untuk reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi. "Cluster tersebut adalah urusan penyederhanaan perizinan, urusan persyaratan investasi, urusan Ketenagakerjaan, urusan pengadaan lahan, urusan kemudahan berusaha, urusan dukungan riset dan inovasi, urusan administrasi pemerintahan, urusan pengenaan sanksi, urusan kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, urusan investasi dan proyek pemerintah serta urusan kawasan," ujarnya dalam keterangannya, kemarin. "Jadi, UU Cipta kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," jelasnya lagi. Jokowi menegaskan, UU Ciptaker tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. "Tidak. Tidak ada. Perizinan berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan NSPK, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat," tukasnya. (din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: