UGM Usul Penulisan Ulang Sejarah G30S
Film Gerakan 30 September 1965 (G30S). JAKARTA - Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengusulkan agar dilakukan penulisan ulang sejarah Gerakan 30 September 1965 (G30S) melalui riset mendalam dari kalangan akademisi dan sejarawan. Kepala PSP UGM, Agus Wahyudi, mengatakan bahwa informasi sejarah yang diterima masyarakat selama ini mungkin terkait kepentingan penguasa di masa lalu. Menurutnya, jika penulisan sebuah peristiwa sejarah betul-betul bersumber dan terbuka untuk mendapatkan ujian atau validasi dari sumber yang beragam pada pusat-pusat riset dan pengkajian ilmiah tentu sangat diharapkan mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. "Tentu ini berlaku bukan hanya dalam bidang sejarah, tetapi usaha pencarian kebenaran pada umumnya dalam tradisi ilmu pengetahuan," kata Agus Wahyudi dalam keterangannya, Senin (5/10). https://radarbanyumas.co.id/siapkan-aksi-6-8-oktober-lbh-jakarta-pembahasan-ruu-cipta-kerja-dilakukan-tertutup-dan-senyap/ Menurut Agus, hal ini jadi satu-satunya cara dan harapan yang paling mungkin untuk mengatasi, atau paling tidak mendekati kebenaran dari kontroversi sejarah G30S. "Penulisan ulang bisa melalui pendekatan ilmiah dan kajian yang serius dan sesuai standar dengan mutu yang tinggi di masyarakat kampus maupun lembaga riset yang menangani isunya," ujarnya. "Bahkan buku buku pelajaran sekolah dan kebijakan politik negara kelak perlu merujuk dari hasil-hasil riset dan pekerjaan ilmiah yang menggunakan standar yang diakui itu," imbuhnya. Agus menuturkan, bahwa terkiat Gerakan 30 September menjadi bagian dari perkembangan narasi dalam kehidupan publik dan politik. Kontroversi tentang sebuah isu tertentu diyakini akan bisa merangsang partisipasi dan keterlibatan publik yang lebih luas, dan mendorong kedewasaan. "Saya melihat asumsi ini mungkin benar tapi jika perkembangan narasi itu terjadi tidak dengan cara rekayasa, termasuk mobilisasi pendukung dengan menggunakan kekuatan uang atau kekuasaan, termasuk ancaman pemaksaan terhadap posisi atau pendapat yang berbeda," tuturnya. Sementara itu, kata Agus, Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober tidak ada hubungannya dengan Pancasila. "Pemakaian Pancasila dalam peristiwa pembunuhan para jenderal dan merupakan titik hitam dalam sejarah, justru menunjukkan bagaimana penguasa telah menyalahgunakan Pancasila demi kekuasaan," ujarnya. Terlebih lagi, lanjut Agus, peristiwa pembunuhan para jenderal dan kejadiannya sesudahnya dengan ribuan nyawa anak bangsa Indonesia terbunuh oleh sesama bangsa sendiri, tanpa melalui prosedur hukum dan pengadilan dianggap jelas menunjukkan bagaimana sekelompok orang menggunakan Pancasila demi tujuan politiknya. "Akhirnya hanya mewariskan dendam kesumat dan permusuhan yang berlarut larut di kalangan generasi penerus," imbuhnya. Agus juga menyoroti, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diduga kerap dihembuskan kelompok tertentu. Menurut dia, isu kebangkitan PKI tak lebih dari sekadar kepentingan politik. "Kepentingan politik jelas. Mengawetkan memori termasuk ketakutan adalah dalam rangka menjaga hegemoni dan karena itu peluang untuk bisa mengontrol perilaku," paparnya. Menurut Agus, sudah saatnya para akademisi turun tangan menangani berbagai isu kontroversial ini berdasarkan hasil riset yang mendalam. Meskipun, riset tersebut menurutnya cukup berisiko bagi akademisi, sejarawan maupun pemerintah yang berkuasa. "Itu tugas akademisi yang penting. Semua pekerjaan berisiko. Namun, standar dan cara bekerja yang profesional dengan mutu yang tinggi harusnya selalu dipegang oleh setiap akademisi termasuk akademisi di bidang sejarah yang menangani isu-isu kontroversial seperti sejarah kelam di republik kita ini," ungkapnya. Sementara itu, sejarawan Universitas Indonesia (UI) Abdurakhman menilai, Film G-30S/PKI adalah sebuah film yang baik untuk anak didik di Tanah Air. Film ini menurutnya, merupakan film pendidikan dalam upaya penanaman karakter kebangsaan. "Ini sebenarnya betul-betul film pendidikan," kata Abdurakhman. Menurut Abdurakhman, saat membuat film tersebut tidak ada pengawasan yang begitu ketat. Sebab semua diterapkan setelah naskah film disetujui lalu diterjemahkan dalam sebuah akting. "Pemutaran film tersebut, sejatinya baik bagi anak didik sebagai referensi ilmu pengetahuan tentang peristiwa yang terjadi pada 1965," ujarnya. Untuk itu, kata Abdurakhman, jika ada pihak-pihak yang mengartikan film tersebut tidak benar maka dipersilakan membuat film versi lain. Namun, harus berdasarkan sumber-sumber sejarah atau fakta sejarah. "Jadi bukan suatu upaya untuk melencengkan," ucapnya. Abdurakhman menilai, sudah selayaknya anak bangsa mengetahui kebenaran peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965. Apabila ada orang yang tidak setuju terkait pemutaran film tersebut maka kembali pada konteksnya. "Penanaman karakter kebangsaan adalah sebuah kewajiban negara. Bila hal itu tidak dilakukan oleh negara, maka bersiaplah menerima generasi muda yang tidak mencintai bangsanya sendiri," pungkasnya. (der/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: