Gempa Besar dan Tsunami Pasti Berulang, Hasil Penelitian Perkuat Mitigasi
Ilustrasi gelombang tinggi JAKARTA - Gempa dan tsunami raksasa dipastikan akan terjadi berulang di jalur-jalur tunjaman lempeng. Karenanya masyarakat harus waspada dan memperkuat mitigasi untuk mencegah dan meminimalisir korban jiwa dan kerusakan. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong banyaknya penelitian dan pengkajian mengenai gempa bumi dan tsunami. Hal ini demi meningkatkan dan memperkuat mitigasi dalam upaya meminimalkan korban jiwa dan kerusakan akibat bencana. "Kajian perlu selalu didorong dengan tujuan bukan untuk menimbulkan kecemasan dan kepanikan masyarakat, namun untuk mendukung penguatan sistem mitigasi bencana," katanya dalam siaran persnya, Selasa (29/9). https://radarbanyumas.co.id/jangan-panik-potensi-gempa-megathrust-dengan-tsunami-setingggi-20-meter-hanya-skenario-terburuk/ Dijelaskannya, para peneliti sejak beberapa tahun lalu sudah membuat kajian mengenai potensi tsunami, termasuk potensi tsunami akibat gempa bumi megathrust di Pantai Selatan Jawa yang tingginya dapat mencapai 20 meter dan gelombangnya bisa tiba di pantai dalam waktu 20 menit. "Penguatan sistem mitigasi gempa dan peringatan dini tsunami sangat penting mengingat potensi gempa dan tsunami di Indonesia tidak hanya meliputi wilayah tertentu seperti pantai selatan Jawa saja," katanya. Dikatakannya, wilayah Indonesia rawan mengalami gempa dan tsunami dengan tinggi gelombang bervariasi berpotensi terjadi di kawasan pantai yang menghadap Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan pantai yang berdekatan dengan patahan aktif yang berada di laut (busur belakang) ataupun membentang sampai ke laut. Karenanya, mitigasi bencana sangat penting jika dibandingkan dengan membangun sistem peringatan dini. Karenanya masyarakat harus terus diberikan eduksi terkait mitigasi bencana. "Masih sangat diperlukan kesungguhan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat bersama-sama Pemerintah Pusat untuk melakukan berbagai langkah kesiapan pencegahan bencana," katanya. Masyarakat harus diberikan edukasi agar mampu melakukan perlindungan dan penyelamatan diri terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Selain itu juga tentunya merespon peringatan dini secara cepat dan tepat. "Salah satu cara yang dapat dilakukan melalui media massa secara tepat, untuk meningkatkan kewaspadaan tanpa menimbulkan kepanikan," katanya. Selain itu, kesiapan pemerintah daerah juga sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasarana evakuasi, peta rawan bahaya gempa bumi dan tsunami, jalur dan tempat evakuasi serta melaksanakan gladi evakuasi secara rutin. Tak kalah penting, pemerintah juga perlu menerapkan standar bangunan tahan gempa bumi dan tsunami terutama untuk bangunan publik dan bangunan vital, melaksanakan audit bangunan yang diikuti dengan upaya memperkuat konstruksi bangunan agar benar-benar tahan terhadap gempa dan tsunami. "Langkah-langkah penyiapan strategi mitigasi yang sesuai dengan kearifan lokal saat ini harus benar-benar dilakukan, diuji dan ditingkatkan," terangnya. Hal itu sesuai dengan amanah Undang-undang no. 24/ tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Presiden no 93/ tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami. Pada keempatan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto menegaskan gempa dan tsunami raksasa dipastikan terjadi berulang di jalur-jalur tunjaman lempeng. "Gempa dan tsunami raksasa dari jalur-jalur tunjaman lempeng dipastikan terjadi berulang. Jalur-jalur ini akan tetap menghasilkan gempa dan tsunami raksasa di masa datang. Tiap-tiap jalur memiliki waktu perulangan ratusan hingga ribuan tahun," katanya. Dijelaskannya, Tim Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI meneliti tsunami purba sejak 2006 di pantai Lebak (Banten), Pangandaran (Jawa Barat), Cilacap serta Kutoarjo (Jawa Tengah), Kulonprogo (Yogyakarta) dan Pacitan (Jawa Timur). Endapan tsunami berumur 300 tahun ditemukan di sepanjang pantai itu. "Di Lebak, tsunami tersebut mengendapkan batang-batang kayu di suatu rawa 1,5 kilometer (km) dari garis pantai," ujarnya. Untuk di Pangandaran, tsunami itu menghancurkan mangrove. Sedangkan penelitian di lokasi bandara baru Kulonprogo menemukan pasir yang kaya akan jasad renik penghuni laut dalam, foraminifera dan radiolaria. "Lokasi-lokasi endapan tsunami purba tersebut berada hingga 2,5 km dari garis pantai. Artinya, tsunami merangsek daratan setidaknya sampai 2,5 km," ungkapnya. Diterangkannya, jika lempeng di selatan Jawa sepanjang 800 km bergeser, gempa magnitudo 9 dapat terjadi. Sebagai gambaran, tsunami Aceh 2004 dipicu gempa magnitudo 9,1 akibat pergeseran lempeng sepanjang 1.300 km. "Tsunami Jepang 2011 dipicu gempa magnitudo 9 akibat pergeseran lempeng sepanjang 500 km," katanya. Dilanjutkannya, berdasarkan hitungan hipotetik MacCaffrey (ahli geofisika Amerika), jalur subduksi selatan Jawa berpotensi memicu gempa magnitudo 9,6 yang berulang 675 tahun sekali. Kalkulasi serupa untuk pantai barat Sumatera adalah 525 tahun. "Penelitian tsunami berhasil mengkonfirmasi hitungan hipotetik itu, bahwa tsunami serupa 2004 pernah terjadi 550 tahun lalu," ungkapnya. Dikatakannya, sebagai perbandingan, tsunami Jepang 2011 pernah terjadi 1.142 tahun lalu, tercatat di suatu kitab kuno dan dikenal sebagai tsunami Jogan. Begitu pun gempa magnitudo 9,5 di Chili tahun 1960 yang memicu tsunami raksasa juga pernah terjadi sebelumnya pada 1575. Eko juga meminta untuk diperhatikan hasil penelitian mutakhir endapan tsunami di dalam Gua Laut di Aceh selama kurun 7.400 tahun terakhir menunjukkan, perulangan tsunami dan gempa tidak benar-benar periodik. Dalam satu periode waktu tertentu, tsunami lebih sering terjadi daripada periode lainnya. "Ini sebuah pesan kuat bahwa masyarakat harus senantiasa siap siaga sepanjang waktu guna menghadapi ancaman gempa dan tsunami," tegasnya. Eko pun sepakat dengan Dwikorita yang perlu mengedepankan mitigasi bencana dalam menyikapi potensi bencana yang ada di Indonesia. Menurut dia, pengembangan wilayah pesisir selatan Jawa sebagai pusat-pusat perekonomian dipastikan akan meningkatkan risiko bencananya khususnya tsunami. Oleh karenanya, dia mengatakan sudah selayaknya pemerintah menghitung ulang analisis risikonya sehingga upaya pengurangan risiko dapat dilakukan menyatu dengan segala kegiatan pembangunan. "Bencana selalu berulang, menimbulkan kerugian harta dan jiwa sangat besar," ujarnya.(gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: