Nikmati Gerhana, Lupakan Mitos
[caption id="attachment_100966" align="aligncenter" width="100%"] Ilmuwan NASA USA Natchimuthukonar Gopalswamy saat diskusi ekspedisi gabungan NASA dan LAPAN gerhana Matahari 9 Maret di Halmahera, di @america Pacific Place, Jakarta, kemarin, 4/3. Foto; Agus Wahyudi / JAWA POS[/caption] Lapan-NASA Kolaborasi Riset di Halmahera JAKARTA- Gempita menyambut fenomena alam super langka gerhana matahari total (GMT) Rabu (9/3) begitu luar biasa. Bahkan empat orang peneliti dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) datang dari Amerika ke Hamlahera untuk meneliti dicaploknya matahari oleh raksasa buto ijo. Empat orang peneliti dari NASA kemarin sudah berada di Jakarta dan memaparkan rencana penelitiannya. Keempat orang itu adalah Madhulika Guhathakurta, Natchimuthukonar Gopalswamy, Nelson Leslie Reginald, dan SeijiĀ Yashiro. Keempatnya akan berkolaborasi riset dengan tim dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Khusus di Lapan, tim yang akan melakukan penelitian berasal dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa). Kepala Pussainsa Lapan Clara Yono Yatini menuturkan GMT tahun ini bukan fenomena yang tidak pernah terjadi di republik ini. GMT terakhir yang mampir di Indonesia terjadi pada 1983 dan melewati sepanjang pulau Jawa. "Tapi saat itu tidak banyak yang menikmati. Karena ada miskomuniasi," jelasnya pada seminar GMT Lapan dan NASA di Jakarta kemarin (4/3). Clara menuturkan saat itu diinformasikan bahwa GMT begitu berbahaya. Masyarakat dihimbau berada di dalam rumah. Bahkan tidak itu saja, harus bersembunyi di bawah ranjang tempat tidur. Namun untuk GMT tahun ini, dia berharap masyarakat Indonesia bisa menikmati bersama-sama. Selain terkait ilmu pengetahuan, fenomena langka ini juga bisa digunakan sebagai momentum untuk merenungi kuasa Tuhan. Dia optimis dengan gencarnya pemberitaan media massa jelang GMT 9 Maret nanti, masyarakat sudah tidak mempercayai mitos-mitos gerhana matahari. Terkait dengan GMT yang bisa merusak mata, menurut Clara itu bukan mitos. Memang benar bahwa gerhana matahari itu bisa mencederai mata. Sehingga dianjurkan masyarakat untuk melihat GMT dengan bantuan kacamata khusus. Tetapi ketika fase gerhana sudah benar-benar penuh alias puncak, aman untuk dilihat dengan mata telanjang. Clara berharap kerjasama Lapan dan NASA tidak putus pada momentum GMT 9 Maret nanti. Tetapi akan dilanjutkan lagi dengan riset-riset antariksa lainnya. Tujuannya untuk perkembangan ilmu pengetahuan baik di Amerika maupun di Indonesia. Peneliti Pussainsa Lapan Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan, kolaborasi Lapan dan NASA ini bukan ekspedisi perdana peneliti Amerika di Indonesia. Dia menjelaskan peneliti Amerika sudah melakukan ekspedisi pengamatan dan penelitian GMT sejak awal abad ke-20. Tepatnya pada 1901, 1926, dan 1929 di kawasan Sumatera Utara. Dia menuturkan ada beberapa unsur GMT tahun ini begitu menarik. Diantaranya adalah lintasan GMT melalui 12 provinsi di Indonesia. Baginya sangat jarang GMT itu melalui daratan yang begitu luas. Bahkan ada kalanya GMT itu hanya terjadi di lautan. Sungging menjelaskan, selain di Maba, Halmahera Timur, tim peneliti Lapan juga diterjunkan ke Ternate. Di lokasi ini nantinya tim Lapan akan melakukan dua penelitian. Yaitu penelitian tentang efek lensa grafitasi melalui pengamatan gerhana dan gangguan geomagnet terkait pengaruh gerhana. Peneliti NASA Nelson Leslie Reginald mewakili rekannya menyampaikan rencana penelitian mereka di Indonesia. Dia menjelaskan diantara permasalahan yang ingin mereka pecahkan dengan pengamatan GMT di Indonesia adalah temperatur dan elektron matahari. Pada saat puncak GMT terjadi, bakal ada sinar yang terpencar-pencar di luar lingkaran hitam gerhana. Sinar yang terpencar-pencar inilah yang disebut dengan korona. Sinar yang terpencar-pencar di korona itu merupakan pantulan cahaya fotosfer yang dipantulkan oleh elektron bebas di korona matahari. "Kami akan meneliti yang lebih cerah itu K-corona atau F-corona," jelasnya. Nelson mengatakan, dia sudah terlibat dalam beberapa kali di tim pemburu GMT NASA. Diantaranya pada 2001 lalu di Zambia. Kemudian dia juga pernah mengamati gerhana di Saudi (2002), Libya (2004), dan Tiongkok (2008). "Saya sangat antusias menyambut GMT di Indonesia ini," pungkasnya. (wan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: