Surat Sakti Jenderal Polisi Bantu Pelarian Djoko Tjandra, Prasetijo Utomo Ditahan 14 Hari

Surat Sakti Jenderal Polisi Bantu Pelarian Djoko Tjandra, Prasetijo Utomo Ditahan 14 Hari

JAKARTA - Dugaan adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus pelarian Djoko S Tjandra, terbukti. Buronan kasus cessie Bank Bali Rp 904 miliar itu ternyata dibantu oleh oknum jenderal polisi. Selain dicopot dari jabatannya, perwira tinggi tersebut juga ditahan selama 14 hari. Adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang mengeluarkan surat jalan bagi Djoko Tjandra. Mabes Polri menegaskan surat tersebut diterbitkan atas inisiatif sendiri tanpa seizin pimpinan. Surat jalan untuk Djoko S Tjandra dikeluarkan Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS bernomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas tertanggal 18 Juni 2020. Yang ditandangani oleh Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Dalam surat jalan tersebut, Djoko disebutkan berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat, pada 19 Juni dan kembali ke Jakarta pada 22 Juni 2020. "Dvisi Propam Polri menyatakan yang bersangkutan terbukti bersalah melanggar kode etik. Karena itu, langsung dilakukan penahanan. Ini untuk kepentingan penyidikan selama proses pemeriksaan oleg Div Propam. Yang bersangkutan ada kesalahan sesuai dengan peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2011 tentang kode etik Polri. Selain itu, PP nomor 2 Tahun 2003 tentang disiplin anggota polri," tegas Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Rabu (15/7). Menurutnya, Prasetijo ditahan selama 14 hari di salah satu sel yang berada di Divisi Propam. "Dari hasil penyelidikan sementara internal Polri terhadap perwira tinggi ini, surat jalan tersebut ditandatangani oleh salah satu biro di Bareskrim Polri. Yang menerbitkan adalah Kepala Biro. Itu inisiatif sendiri dan tidak izin pimpinan,” terangnya. Kapolri Jenderal Pol Idham Azis juga sudah resmi mencopot Prasetijo dari jabatannya sebagai Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri. Mutasi dilakukan dalam rangka pemeriksaan. Prasetijo digeser ke bagian Yanma Polri. Keputusan mutasi jabatan tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor: ST/1980/VII/KEP./2020 tanggal 15 Juli 2020. Surat telegram itu ditandatangani As SDM Kapolri Irjen Pol Sutrisno Yudi Hermawan mewakili Kapolri. Argo menegaskan jika dalam pemeriksaan, Prasetijo terbukti bersalah, tentu ada sanksinya. "Komitmen Kapolri sangat jelas. Ini menjadi bagian dari pembelajaran untuk personel Polri yang lain. Saat ini proses pemeriksaan sedang berjalan. Semua anggota yang ada kaitannya dengan surat-surat tersebut akan diperiksa semua," imbuh Argo. Selain Prasetijo, Divisi Propam Polri juga memeriksa sejumlah anggota Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri. Pemeriksaan terkait dicabutnya red notice atas nama Djoko Tjandra. Diduga, ada oknum yang menghapus nama buronan tersebut. Karena pada 5 Mei 2020, Sekretaris NCB Interpol menginformasikan red notice atas nama Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data sejak 2014. Ditjen Imigrasi kemudian menindaklanjuti hal itu dengan menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Kemudian pada 27 Juni 2020, Kejaksaan Agung meminta nama Djoko Tjandra dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Setelah itu, Ditjen Imigrasi memasukkan kembali nama Djoko Tjandra ke dalam sistem data perlintasan dengan status DPO. "Divisi Propam memeriksa personel Divisi Hubungan Internasional yang bertanggung jawab atas pembuatan red notice. Apakah ada kesalahan prosedur atau tidak yang dilakukan anggota," ucap mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini. Seperti diketahui, Djoko S Tjandra merupakan Direktur PT Era Giat Prima. Dia terlibat kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang merugikan negara Rp904 miliar. Djoko Tjandra meninggalkan Indonesia pada 2009 saat Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis kepada dirinya. Sejak buron, Djoko Tjandra dikabarkan kabur dan menjadi warga negara Papua Nugini. Red notice dari Interpol atas nama Djoko Tjandra pertama terbit pada 10 Juli 2009. Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan Divisi Propam Polri menyelidiki peran Brigjen Pol Prasetijo Utomo atas surat jalan untuk dipakai buronan Djoko Tjandra. "Kalau terbukti, kami berikan tindakan tegas terhadap oknum yang melakukan itu," tegas Sigit, di Jakarta, Rabu (15/7). Dia memastikan pihaknya tidak pernah ragu menindak oknum anggota yang terbukti melakukan pelanggaran. "Ini juga peringatan bagi anggota yang lain. Agar menjaga marwah institusi, komitmen menjaga institusi. Namun, tetap diperiksa dulu di Divpropam untuk mengecek kebenarannya," papar mantan ajudan Presiden Joko Widodo itu. Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery menyatakan pihaknya menerima surat jalan atas nama Djoko S Tjandra dari koordinator MAKI (Masyarakat Antikorupsi Indonesia) Boyamin Saiman. "Komisi III DPR akan menindaklanjuti bukti surat perjalanan dinas tersebut saat rapat gabungan bersama aparat penegak hukum, kepolisian, dan Kejaksaan Agung," kata Herman. Politisi PDIP itu menyatakan rapat gabungan dengan aparat penegak hukum tersebut akan digelar saat masa reses DPR. Karena Komisi III DPR menilai kasus Djoko Tjandra sangat penting untuk diungkap. "Menurut kami, kasus Djoko Tjandra ini super urgen. Karena ini menyangkut kewibawaan negara," imbuhnya. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni. Dia mendukung langkah Polri yang melakukan pemeriksaan terkait beredarnya surat jalan bagi Djoko Tjandra. "Komisi III DPR mendukung langkah Polri membongkar skandal Djoko Tjandra ini. Selain itu, saya juga menyarankan agar Bareskrim membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) untuk menyelidiki lebih dalam terkait kasus Djoko Tjandra," terang Sahroni di Jakarta, Rabu (15/7). Dia menyarankan Bareskrim Mabes Polri mengambil tindakan untuk membekukan aset-aset Djoko Tjandra. Baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. "Saya yakin Polri berani melakukan hal ini demi kepentingan penegakan hukum bangsa dan negara," paparnya. Terpisah, Menkopolhukam Mahfud MD menyerahkan persoalan surat jalan untuk buronan Djoko Tjandra kepada internal Polri. Dia mendorong agar penyelesaian persoalan itu dilakukan secara terbuka. "Saya kira sudah ada aturan hukumnya. Ada peraturan disiplinnya di lingkungan Polri. Saya kira zaman sekarang menyelesaikannya harus terbuka. Tidak bisa akal-akalan karena masyarakat sudah pintar," jelas Mahfud.(rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: