Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra: Beber 13 Masalah, BPK Jangan Jadi Tukang Catat!

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra: Beber 13 Masalah, BPK Jangan Jadi Tukang Catat!

BPK BERIKAN CATATAN: Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2019 oleh BPK RI disampaikan pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-18 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2019 - 2020, Selasa (14/7). FOTO: SEKRETARIAN DPR JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya mempu mengidentifikasi sejak dini, adanya kerusakan, penyelewengan maupun dugaan-dugaan korupsi dalam beberapa problem tata kelola keuangan negara. Tak terkecuali BUMN maupun anggaran yang selama ini digelontorkan ke daerah. ”Tujuannya untuk mencegah. Skemanya penggunaan anggan yang sesuai dengan kepatuhan UU. Contoh kasus soal pajak, maupun problem pengendalian di PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya, ini juga tidak telepas dari pengawasan,” jelas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono, kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (14/7). Meski memunculkan sederet kritik terhadap kinerja BPK selama ini, Arief Poyuono memberikan apresiasi terhadap keinginan negara dalam mengembalikan utang. Khususnya kehadiran pemerintah yang bertanggungjawab dengan wabah Virus Corona. ”Langkah-langkah yang dilalukan sudah luar biasa. Ini menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan. Sikap Presiden Joko Widodo cukup terang dan jelas. Tapi harus diimbangi dengan implementasi kerja kabinet, itu saja. Toh warning sudah disampaikan oleh Presiden,” paparnya. Nah, ketika pemerintah memberlakukan realokasi dan refocussing anggaran, lanjut dia, jelas potensi penurunan pada penerimaan negara berkuran. ”Dampaknya muncul kualitas piutang, akibat penundaan nyaris seluruh kegiatan di pusat dan daerah. Saya tidak bicara nilai utang pada posisi ini. Tapi relevansinya jelas. Apa yang dikeluarkan, harus terserap. Dan pada posisi ini BPK juga bisa menjadi wadah yang cepat bergerak ketika ada sinyal ketidakwajaran,” paparnya. Terkait dengan pemaparan BPK yang telah mengidentifikasi 13 masalah baik dalam sistem pengendalian internal (SPI) maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019 menurut Arief, itu sudah menjadi tugas BPK. ”Yang ditekankan saat ini, bagaiman BPK bisa memfungsikan dirinya sebagai lembaga yang bisa mengarahkan penggunaan keuangan negara yang baik. Bukan sekadar tukang catat. Atau membeberkan problem setiap kuartal. Dugaan penyalahgunaan anggaran, tidak sesuai praktinya setiap tahun juga akan terjadi. Ingat lho Jiwasraya itu contoh kongkritnya,” tandas Arief. Sementara itu, Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna DPR RI menyampaikan beberapa hal krusial. Salah satunya hasil identifikasi BPK terhadap 13 masalah baik dalam SPI maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan pada LKPP Tahun 2019. Masalah-masalah tersebut terdiri dari kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya belum diukur atau diestimasi. Kemudian pengendalian atas pencatatan aset kontraktor kontrak kerja sama dan aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memadai serta pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP 2019 Rp2.876,76 triliun belum didukung standar akuntansi. Selanjutnya adalah penyajian aset yang berasal dari realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat sebesar Rp44,20 triliun pada 24 kementerian/lembaga (K/L) yang tidak seragam. ”Pada posisi ini terdapat penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat yang juga tidak sesuai ketentuan,” ungkapnya. Berikutnya adalah penyaluran dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS) selama 2016 hingga 2019 kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan belum sepenuhnya menjamin penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan. ”Termasuk ada dana PPKS yang belum dipertanggungjawabkan,” katanya. Masalah lainnya yaitu terkait skema pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN) pada pos pembiayaan yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. ”Investasi tanah PSN juga tidak sesuai dengan PP 63/2019 tentang Investasi Pemerintah,” tegasnya. Masalah berikutnya yaitu ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program maupun kegiatan dengan tahun penganggaran atas kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Kemudian mengenai kelemahan dalam penatausahaan dan pencatatan kas setara kas, persediaan, aset tetap, dan aset tak berwujud terutama pada K/L. Masalah yang teridentifikasi dalam K/L tersebut adalah penggunaan rekening pribadi untuk pengelolaan dana dari APBN, saldo kas tidak sesuai dengan fisik, sisa kas terlambat atau belum disetor, dan penggunaan kas tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban 34 K/L. ”Terdapat ketidaksesuaian pencatatan persediaan dengan ketentuan pada 53 K/L dan pengendalian atas pengelolaan aset tetap pada 77 K/L yang belum memadai berdampak adanya saldo Barang Milik Negara yang tidak akurat,” jelas Agung. Selanjutnya, BPK juga menemukan masalah ada surat tagihan pajak atas kekurangan setor yang belum diterbitkan oleh Ditjen Pajak dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi. Berikutnya adalah mengenai pemberian fasilitas transaksi impor yang dibebaskan dan atau tidak dipungut PPN dan PPh pada Ditjen Pajak yang terindikasi bukan merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis. ”Sehingga ada potensi kekurangan penetapan Penerimaan Negara dari Pendapatan Bea Masuk/Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) pada Ditjen Bea dan Cukai,” ujarnya. Masalah lainnya yaitu terdapat kewajiban restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak namun tidak segera dibayarkan. ”Dan masalah terakhir adalah ada pengelolaan penerimaan negara bukan pajak dan piutang serta penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja yang belum sesuai pada sejumlah kementerian/lembaga,” ungkapnya. Dalam kesempatan tersebut Agung juga membrikan empat catatan yang seharusnya menjadi perhatian DPR dan pemerintah terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Tahun 2019 yang telah diperiksa atau LKPP Audited. Pertama terdapat beberapa capaian positif atas Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2019 yang ditetapkan dalam APBN 2019. Capaian positif tersebut terdiri dari inflasi sebesar 2,72 persen yang lebih rendah dari asumsi APBN 3,5 persen dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp14.146 dari asumsi APBN Rp15.000. Selanjutnya indikator ekonomi makro yang capaiannya di bawah asumsi penyusunan APBN 2019 seperti pertumbuhan ekonomi hanya 5,02 persen dari asumsi APBN sebesar 5,3 persen. Ini disusul dengan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara tiga bulan 5,62 persen dari asumsi APBN 5,30 persen, lifting minyak hanya 746 ribu barel per hari dari asumsi APBN 775 ribu barel per hari, dan lifting gas hanya 1.057 ribu barel per hari dari asumsi APBN 1.250 ribu barel per hari. Catatan kedua adalah realisasi rasio defisit anggaran terhadap PDB pada Tahun 2019 sebesar 2,2 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan target awal yang telah ditetapkan dalam UU APBN Tahun 2019 yaitu 1,84 persen. Selain itu, posisi utang pemerintah terhadap PDB pada Tahun 2019 mencapai 30,23 persen atau meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir 2018 sebesar 29,81 persen. Nilai pokok atas utang pemerintah pada 2019 mencapai Rp4.786 triliun dengan rincian 58 persen adalah utang luar negeri Rp2.783 triliun dan 42 persen adalah utang dalam negeri senilai Rp2.002 triliun. Catatan ketiga adalah pemerintah telah menyediakan anggaran bidang pendidikan dan kesehatan dalam APBN Tahun 2019 yang merupakan belanja atau pengeluaran negara bersifat mandatory spending. Total anggaran bidang pendidikan dalam APBN 2019 yang sebesar Rp492,45 triliun atau mencapai 20,01 persen dari anggaran belanja negara telah memenuhi ketentuan ayat (4) Pasal 31 UUD 1945. ”Sementara realisasi anggaran bidang pendidikan Tahun 2019 mencapai Rp460,34 triliun atau 93,48 persen dari yang dianggarkan dalam APBN,” ujarnya. Kemudian, anggaran bidang kesehatan dalam APBN 2019 Rp123,11 triliun atau 5 persen dari anggaran belanja negara juga telah memenuhi ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan realisasi Rp102,28 triliun atau 83,08 persen dari yang dianggarkan di APBN. Catatan keempat adalah pemerintah telah merespon pandemi COVID-19 dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang saat ini telah menjadi UU Nomor 2 tahun 2020. ”Kita tentu berharap UU Nomor 2 tahun 2020 itu diharapkan menjadi pondasi untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan,” terang Agung. (fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: