Buronan Djoko Tjandra Belum Tertangkap, Namun Bisa Buat Paspor dan KTP

Buronan Djoko Tjandra Belum Tertangkap, Namun Bisa Buat Paspor dan KTP

Djoko Tjandra JAKARTA - Buronan kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra hingga kini belum tertangkap. Namun, dia bisa membuat paspor dan KTP. DPR RI pun mempertanyakan mengapa pihak Imigrasi Kemenkumham bisa menerbitkan dokumen seseorang yang masuk DPO. Sementara itu, diketahui data Djoko Tjandra di Dukcapil masih tercatat dalam sistem. Namun, berstatus nonaktif. "Djoko Tjandra ini kan sudah menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Dia menjadi warga Papua Nugini. Bagaimana seorang WNA bisa mendapatkan paspor Indonesia," tanya anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Dirjen Imigrasi Kemenkumham di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/7). Diketahui, paspor atas nama Djoko Tjandra diterbitkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada 23 Juni 2020. Menurutnya, Ditjen Imigrasi harus menjelaskan proses kehati-hatian sebelum mengeluarkan paspor kepada seseorang. Sebab, Djoko Tjandro merupakan buronan. "Seluruh masyarakat Indonesia sudah tahu kalau Djoko Tjandra adalah buronan dan terpidana. Kalau ada kelalaian dan kesalahan, akui saja," imbuhnya. Hal senada juga disamaikan anggota Komisi III DPR RI Fraksi PAN, Syarifuddin Sudding. Dia menengarai terdapat keanehan dalam kasus ini. Sebab, sebagai warga negara asing dan buronan yang telah berkekuatan hukum, namun Djoko Tjandra tetap bisa lolos masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi. "Kenapa paspor atas nama yang bersangkutan bisa keluar tanggal 23 Juni 2020. Dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Utara tanpa koordinasi dengan penegak hukum," ujar Sudding. Dia mempertanyakan sistem keimigrasian yang tidak bisa mendeteksi seorang yang berstatus daftar pencarian orang (DPO). Sudding juga mempersoalkan koordinasi dengan aparat penegak hukum. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari meminta Dirjen Imigrasi mengungkap adanya dugaan jaringan mafia hukum dalam kasus Djoko Tjandra. "Saya yakin Djoko Tjandra tidak mungkin sendirian. Tidak mungkin dia mengurus hal-hal kecil sendirian. Pasti melibatkan orang dengan kualifikasi tertentu. Ini ada keterlibatan jaringan hukum dan harus dibongkar," tegas Taufik Basari. Dia mensinyalir ada jaringan mafia dalam kasus Djoko Tjandra. Termasuk membantu buronan kasus hak tagih Bank Bali itu bisa dengan mudah keluar masuk Indonesia. "Memalukan sekali. Bukan hanya penegak hukum dan Polri. Kami juga malu karena dikerjai Djoko Tjandra. Kejaksaan dan Polri sedang mencari, namun perlu peran imigrasi. Jelas ini kecolongan," paparnya. Menjawab hal itu, Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Jhoni Ginting menyatakan paspor atas nama Djoko Tjandra sudah ditarik kembali. Sejak diterbitkan tanggal 23 Juni 2020, paspor tersebut belum pernah digunakan untuk ke luar negeri. Dia menjelaskan paspor Djoko Tjandra diurus pada 22 Juni 2020. Selesai pada 23 Juni 2020. Selanjutnya ditarik kembali pada 27 Juni 2020. "Saya katakan de jure yang bersangkutan di Indonesia. De facto-nya, para penegak hukum, karena imigrasi sifatnya supporting," jelas Jhoni. Penarikan paspor dilakukan setelah pihaknya menerima surat dari Kejaksaan Agung. Jhoni tidak tahu siapa yang mengembalikan paspor tersebut. Pada kop amplop tertulis Anita Kolopaking selaku penasihat hukumnya. Pengembalian paspor dilakukan via pos. Sebelumnya, Djoko Tjandra juga ketahuan membuat KTP elektronik di Dukcapil di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Selanjutnya, dia mendaftarkan peninjauan kembali ke pengadilan pada 8 Juni 2020. Saat ini dia dikabarkan sudah berada di luar negeri. Terpisah, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan data Djoko Tjandra masih terdapat dalam sistem kependudukan dan pencatatan sipil (Dukcapil). Namun data tersebut nonaktif. "Saya sudah mengecek, dimana kasus Djoko Tjandra ini ternyata datanya masih ada. Tetapi nonaktif. Tidak terhapus," ujar Tito. Menurutnya, petugas Dukcapil di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan, tidak mengetahui penetapan status buronan yang ditetapkan Kejaksaan Agung kepada Djoko Tjandra. "Pimpinannya mungkin tahu Djoko Tjandra itu buronan. Tetapi petugas Dukcapil ini kan banyak sekali," papar mantan Kapolri ini. Dia menilai Dukcapil tidak salah. Karena tidak ada pemberitahuan dari pihak Imigrasi terkait status kewarganegaraan ganda Djoko Tjandra. "Sebenarnya kalau kami mendasarkan pada aturan yang ada. Itu tidak salah sebetulnya. Karena kami tidak mendapatkan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan, warga negara Papua Nugini. Pemberitahuan resminya tidak ada kepada Dukcapil. Begitupun status buronan. Surat pemberitahuan ke Dukcapil tidak ada. Petugas Dukcapil itu prinsipnya pelayanan, hanya melayani dengan cepat," terang mantan Kapolda Metro Jaya ini. Begitu data yang meminta pelayanan ditemukan, petugas akan langsung membantu mencetakkan kebutuhan Dukcapil-nya. Meski begitu, lanjut Tito, hal itu akan dijadikan pembelajaran. "Ke depan ketika ad orang akan mencetak KTP atau pelayanan Dukcapil lain, petugas dapat proaktif bertanya kepada penegak hukum di wilayahnya. Meskipun surat pemberitahuan resminya tidak ada dari aparat penegak hukum, begitu melihat data di media dan segala macam, proaktif," tukasnya. Seperti diketahui, Djoko Tjandra merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Dia pernah ditahan pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000. Namun, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Djoko bebas dari tuntutan. Alasannya, perbuatannya bukan pidana melainkan perdata. Kejaksaan kemudian mengajukan PK terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung pada Oktober 2008. Majelis hakim memberi vonis dua tahun penjara, harus membayar Rp15 juta, uang milik Djoko di Bank Bali Rp546,166 miliar dirampas negara, dan imigrasi juga mencegah Djoko Tjandra. Dia kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009. Tepat sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkara. Kejaksaan kemudian menetapkan Djoko Tjandra sebagai buronan.(rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: