Dua Tahun Pandemi Nestapa Pembatik Desa Papringan, Rindukan Event Biar Bisa Mendunia Lagi

Dua Tahun Pandemi Nestapa Pembatik Desa Papringan, Rindukan Event Biar Bisa Mendunia Lagi

TERUS BERTAHAN: Salah seorang pembatik di Desa Papringan Banyumas sedang bekerja memproduksi batik meski omset masih terus turun. (Ali Ibrahim/Radar Banyumas) Saat itu, matahari terik menyinari Desa Papringan, Kecamatan Banyumas. Seorang ibu menjemur kain batik dengan cara dijepit, dan digantung pada seutas tali. Seorang wanita lainnya sibuk membatik kain mori di sebuah rumah berukuran 3x3 meter. ALI IBRAHIM, Banyumas Begitu kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pringmas di Desa Papringan, Kecamatan Banyumas yang terekam pada Minggu kemarin. KUB Pringmas berdiri mulai 2013. Kelompok itu sengaja dibentuk untuk menampung para pembatik di desa setempat. "Awalnya sebelum ada KUB kami hanya pengobeng. Itu istilah pembatik yang dipekerjakan pengusaha batik. Dibayar setelah pekerjaan setelah pekerjaan membatik selesai. Kami tidak punya hak untuk menjualnya kala itu," ujar Sekretaris KUB Pringmas, Titi Setyowati. Namun setelah berdirinya KUB, penghasilan bisa masuk secara penuh karena mereka mampu membatik serta menjualnya. Setelah sembilan tahun, kini jumlah anggota KUB Pringmas ada 100 orang. Semuanya wanita Desa Papringan. KUB Pringmas tidak hanya mewadahi anggotanya berkarya membuat batik, tetapi juga memasarkan produk yang dihasilkan. https://radarbanyumas.co.id/menjaga-batik-warisan-leluhur-dari-jemur-pejagoan/ Bahkan di tahun 2016 lalu, karya pembatik lokal ini menembus pasar internasional. "Saat itu kami sering diudang pameran ke luar negeri. Di sana juga disuruh mempraktikan cara membatik," katanya. TERUS BERTAHAN: Salah seorang pembatik di Desa Papringan Banyumas sedang bekerja memproduksi batik meski omset masih terus turun. (Ali Ibrahim/Radar Banyumas) Hal yang paling terkesan saat batik laku di Amerika. Jika dirupiahkan, batik tulis dengan pewarna alami dihargai senilai Rp350 ribu hingga Rp1,5 juta tergantung kerumitan motif. Sementara untuk batik cap dihargai senilai Rp120 ribu hingga Rp350 ribu. Tak hanya Amerika, batik kala itu menembus negara India, Jerman, dan Inggris. Salah seorang pembatik lainnya, Wartinah menuturkan, batik Papringan memilik ciri khas berbeda dengan batik daerah lain. "Ciri khasnya ada gambar Sungai Serayu, gurstan bambu, bawor klintung, serta bunga Wijayakusuma, dengan warna gelap. Khas ini sudah turun temurun," katanya sembari terus membatik. Meski begitu, saat ini batik mengalami inovasi, dengan menorehkan warna-warna yang berani. "Tapi tidak meninggalkan kesan aslinya, yakni warna tetap gelap sebagai warna utama," jelas dia. Proses pembatikan dimulai dengan membuat pola di kertas, menerapkan pola di kain, pencantingan, pewarnaan beberapa tahap, serta proses pengeringan. Namun masa jaya KUB Pringmas mengalami kemerosotan saat pandemi Covid-19 mewabah secara global. Omzet penjualan turun drastis. Dahulu, jika omzet sebulan bisa mencapai Rp50 juta, kini turun menjadi 90 persen. TERUS BERTAHAN: Salah seorang pembatik di Desa Papringan Banyumas sedang bekerja memproduksi batik meski omset masih terus turun. (Ali Ibrahim/Radar Banyumas) "Menjual lima lembar saja dalam sebulan sekarang sangat sulit. Gelaran pameran besarpun sekarang sudah tidak ada lagi," kata Wakil Ketua KUB Pringmas, Rohimah. Di ruang galeri KUB, juga masih bertumpuk hingga 900 lembar yang belum terjual. "Pernah dipamerkan di sebuah hotel selama delapan hari, satupun tak terjual," ungkapnya. Masa pandemi diakuinya merupakan ujian terberat bagi KUB Pringmas. Ditambah harga bahan baku batik terus meroket. Meski keadaan hingga saat ini belum kembali seperti sedia kala, para anggota KUB Pringmas tetap bersemangat membatik. "Setiap hari kami terus membatik, Senin sampai Minggu," katanya. Untuk mensiasatinya, KUB Pringmas melayani pesanan serta pelatihan membatik untuk pelajar maupun mahasiswa. "Untuk ke depannya kami harap pandemi cepat berlalu. Sehingga ekonomi juga pulih. Kami juga akan terus membatik untuk melestarikan tradisi dan karena juga termasuk keayaan Indonesia," kata dia. Tentu saja harapan terbesar ialah pandemi berlalu hingga ada event berskala internasional. Saat itulah, dia merasa, batik Papringan akan kembali mendunia. (*/dis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: