Dapat PR Kemiskinan, hingga Narkoba

Dapat PR Kemiskinan, hingga Narkoba

grafis okeeeeeeeeTasdi-Tiwi Dilantik Gubernur PURBALINGGA - Pekerjaan rumah (PR) langsung diberikan kepada pasangan Bupati Terpilih Purbalingga 2015, H Tasdi SH MM dan Dyah Hayuning Pratiwi (Tasdi-Tiwi), saat dilantik Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, kemarin (17/2). Tasdi dan Tiwi dilantik bersama 198 Bupati dan Wali Kota terpilih lainya se-Indonesia. Mereka diminta untuk mengatasi kemisikinan yang masih tinggi di Purbalingga. PR lain adalah bencana alam yang mengancam Purbalingga. Hal itu, diungkapkan gubernur saat memberikan sambutan seusai pelantikan bupati dan wakil bupati Pilkada Serentak 2015, di Lapangan Pancasila, Simpang Lima Semarang. Dalam kesempatan itu, Gubernur juga meminta kepada kepala daerah yang dilantik, untuk bekerja dengan baik, terutama fokus pada empat bidang yang menjadi perhatian nasional. Dalam penanganan kemiskinan dan bencana alam,  Purbalingga harus lebih maksimal. Kemudian, tingginya kasus demam berdarah dan kematian ibu hamil. Meskipun kasus ini tidak sebanyak di kabupaten lain, namun Pemkab Purbalingga harus menaruh perhatian lebih. "Selain itu, generasi yang tercengkeram narkoba juga menjadi tugas berat bagi Pemkab untuk bisa melepaskannya. Ibu-ibu PKK juga harus aktif memberi edukasi ke masyarakat agar anak-anak menjauhinya," jelasnya. Sementara itu terpisah, Bupati Purbalingga terlantik H. Tasdi SH MM mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Purbalingga yang telah memberikan kepercayaan kepada dirinya dan Tiwi untuk memimpin Purbalingga dalam waktu lima tahun ke depan. "Sekarang saatnya untuk bersama-sama membangun Purbalingga dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas," kata Tasdi didampingi istrinya, Erni Widiyastuti, Wabup Tiwi dan suaminya, Rizal Diansyah. Pelantikan Bupati dan Walikota secara bersama juga dibuat berbeda. Terutama pada prosesi penyematan tanda pangkat dan jabatan yang dilakukan oleh istri atau suami dari Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah yang dilantik. Usai pelantikan, digelar Pesta Rakyat yang menyajikan berupa makanan tradisional dari kabupaten dan kota yang pimpinannya dilantik hari itu. Sempat terjadi insiden kecil, ketika istri Tasdi, Erni jatuh pingsan seusai pelantikan. Anggota DPRD Purbalingga ini, sempat dilarikan ke Rumah Sakit Telogorejo untuk mendapatkan pertolongan medis. Petugas medis mengatakan, Erni pingsan karena kecapaian. Sejam kemudian, yang bersangkutan siuman dan diperbolehkan pulang. Adapun acara serah terima jabatan dari Pj Bipati Budi Wibowo kepada Tasdi-Tiwi akan dilaksanakan Sabtu (20/2). Acaranya akan menghadirkan setidaknya 2.000 undangan. Sementara itu, pakar Otonomi daerah Prof Djohermansyah Djohar mengatakan, ada tiga poin tantangan yang harus diselesaikan kepala daerah. Mulai dari konsolidasi politik di awal pemerintahan, hingga peningkatan pelayanan publik dan persoalan kesejahteraan yang menjadi tugas pokoknya. “Itu merupakan persoalan mendasar yang harus selalu menjadi tantangan seorang pemimpin baru,” kata Djohermansyah saat dihubungi Jawa Pos tadi malam. Pertama soal konsolidasi politik. Djohan menjelaskan, kontestasi dalam pesta demokrasi selalu meninggalkan perseteruan antar kubu yang bertarung. Itu terjadi bukan hanya ditataran elit, melainkan juga terjadi hingga di ranah akar rumput. Proses rekonsiliasi inilah yang menjadi tugas utama kepala daerah untuk diselesaikan. “Misalnya bagaimana menjaga hubungan dengan dewan agar menjadi mitra yang baik. Lalu berkomunikasi dengan semua masyarakat,” imbuhnya. Karena tidak bisa dipungkiri, lanjutnya, untuk menciptakan tata kelola pemerintah yang baik dibutuhkan sinergitas semua komponen, termasuk dengan masyarakat. Kedua, soal pelayanan publik. Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu mengatakan, kepala daerah merupakan perwakilan pemerintah pusat di tingkat regional. Implikasinya, bupati atau Walikota menjadi instrumen negara yang dinilai paling dekat dengan masyarakat. Oleh karenanya, sejauh mana penilaian kualitas pelayanan negara terhadap warga akan sangat bergantung dengan bagaimana pelayanan yang disiapkan pemda. Terlebih, di era pemerintahan Jokowi, pemerintah pusat sangat mendorong adanya efisiensi birokrasi dan pelayanan bagi masyarakat. “Harus ada terobosan. Yang tadinya lama, berbelit-belit harus dirubah menjadi sederhana, ringkas dan mudah,” terang pria asal Padang itu. Bukan hanya untuk hal-hal mendasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kependudukan, melainkan juga terhadap iklim investasi. Terakhir, soal kesejahteraan masyarakat. Djohan mengatakan, kemiskinan masih menjadi persoalan utama, khususnya di daerah-daerah. Meski tidak memiliki kebijakan sebesar pemerintah pusat, dalam hal tertentu, peran pemerintah daerah pun sangat krusial. Terbukti, beberapa pemimpin daerah mampu member kontribusi positif bagi pemerintah pusat menekan angka kemiskinan, khususnya di wilayahnya. “Kalau bisa menaklukan tiga tantangan tersebut, saya kira bisa disebut sukses,” jelasnya. Untuk mencapai hal tersebut, Djohan menilai kondisi saat ini jauh lebih menguntungkan. Pelaksaaan pilkada dan pelantikan yang dilakukan serentak memberikan kemudahan dalam melakukan upaya sinkronisasi dan sinergitas. Baik antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, ataupun antara satu kabupaten dengan pemerintah provinsi atau pemerintah pusat. “Perencanaan anggaran dan program tidak lagi terpisah-pisah,” jelasnya. Apalagi, upaya penyaan visi sudah disiapkan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan pengarahan presiden, aparat penegak hukum dan kementerian lembaga terkait lainnya. Sementara itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) lebih menekankan pada tiga persoalan pokok kepala daerah baru. Juga, tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam hal penerapan program masing-masing di daerah tersebut. Tiga persoalan utama itu adalah konsolidasi politik dengan DPRD, mengarahkan birokrasi, dan mengoptimalkan anggaran di daerah. Ketiganya merupakan persoalan klasik setiap kali pergantian kekuasaan di daerah. Ketua KPPOD Robert Endi Jaweng menuturkan, kelancaran pembahasan kebijakan bergantung pada komunikasi antara kepala daerah dengan DPRD. Sebagian kepala daerah yang ada saat ini belum berpengalaman dalam komunikasi politik antarlembaga. Apalagi, mereka yang maju dari jalur perseorangan. Kemudian, dalam hal birokrasi, kepala daerah harus mampu menyesuaikan diri secepatnya dengan struktur birokrasi dan tidak sampai terkekang. ’’Sebagai pemimpin yang mengatur irama, kepala daerah harus mampu (mengendalikan birokrasi),’’ ujarnya kemarin. Dalam hal anggaran, kepala daerah harus memiliki kualitas ganda. Dia mengingatkan, politik anggaran di era Jokowi-JK lebih berpihak kepada daerah. Hal itu tampak dari jumlah kucuran dana ke daerah yang tergolong besar, mencapai Rp 770 triliun. ’’Kepala daeah harus mampu mengatasi problem yang membuat serapa anggaran di daerah tidak optimal,’’ lanjutnya. Mengenai hubungan antara pusat dan daerah, Endi mengingatkan bahwa hal itu bukan semata tanggung jawab kepala daerah. Kepala daerah memang punya kewajiban melaksanakan apapun keputusan politik di tingkat pusat. Bahkan, dalam UU Pemda yang baru, sudah ada sanksi bagi kepala daeah yang tidak melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat jangan mempersepsikan diri sebagai rujukan kebenaran. ’’Pusat selama ini juga berkontribusi terhadap Problem disharmoni hubungan dnegan daerah,’’ tutrnya. Tidak hanya sekadar urusan loyalitas daerah ke pusat. Itulah yang harus juga disadari pemerintah pusat, dalam hal ini Mendagri. Kalau kebijakan pemerintah pusat masih sering berubah, terutama di tataran kementerian, maka jangan salahkan daerah apabila menunda untuk melaksanakan kebijakan pusat. Sebab, problemnya ada di pusat. Dia menyebut setengah persoalan hubungan pusat dan daerah ada di pemerintah pusat. Pelantikan Kepala Daerah Tersangka Dalam pelantikan bupati dan wali kota serentak kemarin, masih ada kepala daerah yang berurusan dengan hukum. Ada setidaknya lima kepala daerah yang masih berstatus tersangka dan seluruhnya tetap dilantik. Di antaranya, Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae; Bupati Sabu Raijua, NTT, Marthen Dira Tome; Bupati Maros, Sulsel, Hatta Rahman; Bupati Barru, Sulsel, Andi Idris Syukur; dan Bupati Gunungsitoli, Sumut, Lakhomizora Zebua. Nama terakhir saat ini kasusnya sedang dalam proses peninjauan kembali atas putusan praperadilan. Mendagri Tjahjo Kumolo dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa kepala daerah berstatus tersangka tetap sah untuk dilantik. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah tidak melarang mereka dilantik. Namun, proses hukum tetap akan berjalan. Tjahjo mencontohkan, pernah ada bupati di Provinsi Lampung dan Sulawesi Utara yang dilantik di dalam penjara karena berstatus tersangka. ’’Begitu yang bersangkutan ada putusan hukum, dia bersalah, langsung bisa dicopot,’’ ujarnya. Menurut Tjahjo, seharusnya memang sejak awal parpol tidak mengusung kader yang bermasalah secara moral. Masyarakat pun, idealnya tahu apakah calon kepala daerah di wilayah setempat memenuhi persyaratan moral atau tidak. Bukan hanya sebatas syarat administratif sebagaimana yang diatur UU. Meskipun demikian, masyarakat sudah memilih. Dia hanya mengingatkan, warga harus siap dengan konsekuensi kepala daerahnya dicopot apabila diputus bersalah. ’’Mudah-mudahan dalam revisi Undang-Undang pilkada bisa kami masukkan soal ini,’’ lanjut mantan Sekjen PDIP itu. Terpisah, Proses pelantikan bupati/walikota secara serentak diapresiasi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Menurut dia, pelantikan bupati/walikota oleh gubernur merupakan tahapan berikutnya dari pelantikan gubernur oleh presiden di Istana Negara. "Artinya, garis koordinasinya jelas bahwa gubernur, bupati, walikota, adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah," ujarnya di Kantor Wakil Presiden kemarin (17/2). Pemahaman tersebut, kata JK, sangat penting untuk memastikan kesamaan visi pembangunan antara pusat dan daerah. Karena itu, baik gubernur, bupati, dan walikota pun diharap aktif memberikan masukan atau usulan agar bisa diakomodasi dalam program pemerintah pusat. "Agar program pembangunan berjalan baik," katanya. Adanya kepala daerah yang dilantik dengan menyandang status tersangka juga menjadi perhatian JK. Menurut dia, seorang tersangka memang masih memiliki hak untuk dilantik. "Tapi, tentunya kurang layak, karena nanti mau masuk pengadilan," ujarnya. Karena itu, demi berjalannya proses demokrasi, para kepala daerah yang berstatus tersangka tetap boleh dilantik. Namun, jika proses hukum berjalan dan statusnya dinaikkan menjadi terdakwa, maka yang bersangkutan harus diberhentikan. "Jadi harus tahu, kalau sudah divonis, otomatis diberhentikan," jelasnya. Sementara itu, terkait adanya masukan agar proses pelantikan dilakukan secara sederhana sehingga tidak memboroskan anggaran, JK menyebut jika pemerintah pusat selalu mendorong efisiensi anggaran. Terutama untuk anggara-anggaran operasional yang tidak terkait dengan belanja modal yang produktif. "Kita selalu tekankan bagaimana efisienkan anggaran agar pembangunan bisa lebih baik," ucapnya. Seremoni pelantikan yang dilakukan di 32 ibu kota Provinsi memang menyisakan kepiluan tersendiri bagi masyarakat. Tidak sedikit, di antara kepala daerah itu yang menanggapi merayakan momen pelantikan dengan berlebihan. Di Sulawesi Selatan misalnya, salah seorang bupati terpilih dari Tana Toraja membooking 70 kamar untuk keluarga dan jajarannya di Kota Makassar. Tidak menutup kemungkinan, jika peristiwa yang sama terjadi di daerah lainnya, mengingat ada ratusan kepala daerah yang melakukan pelantikan. Terkait hal tersebut, Djohermansyah menilai, hal tersebut merupakan konsekuensi dari pilkada serentak yang membuat pelantikan juga harus serentak. “Kan tidak mungkin kalau gubernur berkeliling ke banyak kabupaten dalam sehari,” kata alumnus University of Hawaii itu. Namun, dia berpendapat jika seyogyanya pemerintah pusat harus mengambil kebijakan untuk meminimalisir dampak berlebihannya. Misalnya dengan membatasi jumlah keluarga, atau pejabat SKPD Kabupaten/Kota yang diikutsertakan. “Sepuluh orang cukup. Pimpinan dewan, Sekda, dan beberapa keluarga. Sisanya di daerah saja saat serah terima,” jelasnya. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Dodi Riatmadji mengatakan, pihaknya mengaku tidak bisa mengatur fenomena tersebut, selama itu dilakukan dengan uang pribadi. “Selama tidak menggunakan uang negara tidak apa-apa,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos tadi malam. Sebab, akan menjadi kerancuan, jika Kemendagri mengatur hal-hal yang sifatnya personal. Disinggung apakah ke depannya akan dilakukan evaluasi terkait hal tersebut, dia mengaku belum bisa bicara ke arah sana. Sebab, pihaknya harus mengkroscek terlebih dahulu kebenaran dari fakta-fakta tersebut. (far/byu/owi/tya/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: