Nguri-Nguri Budaya, "Perang" Kupat Kosong dan Bada di Kejawar, Maknai Kupat sebagai Ngaku Lepat
LEMPAR KETUPAT: Pengunjung saling lempar berbagai jenis ketupat dalam perang. FIJRI/RADARMAS BANYUMAS - Dua kubu berhadapan. Kubu kupat dan bada masing-masing dengan pengikutnya. Mereka saling lempar berbagai jenis ketupat. https://radarbanyumas.co.id/penganut-islam-aboge-laksanakan-salat-id-jumat-14-mei-2021-di-masjid-r-sayyid-kuning-desa-onje-purbalingga/ Suasana semakin riuh. Ketika ketupat berjatuhan di tanah. Lalu, dipungut kembali untuk membalas lemparan. Peristiwa tersebut terangkum dalam tradisi perang ketupat yang dihelat di Gerumbul Sieyang, Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas. "Tradisi perang ketupat pada momen lebaran nyaris sirna. Kita mengingat kembali, uri-uri budaya," kata Ketua Pokdarwis Desa Kejawar Gancang Kuwarto, Minggu (23/5). Tidak hanya sekadar gelaran budaya. Melalui perang ketupat juga ingin menyampaikan pesan. Bahwa ketupat yang dalam bahasa Jawa disebut kupat bermakna ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Sesama manusia yang dalam keseharian terjadi interaksi tidak lepas dari kesalahan. Kupat melambangkan realita dalam hidup. "Dari kehidupan sehari-hari, banyak permasalahan. Itulah gambaran perang. Lalu kupat itu ngaku lepat dan selesai permasalahan, menyadari dari hati kita salah," papar Gancang. Gancang menyebut, perang kupat merupakan bagian dari rangkaian pelatihan yang sedang diselenggarakan oleh Dinporabudpar Kabupaten Banyumas. Praktik dari teori pelatihan sumber daya manusia pariwisata. Ketupat yang terbuat dari janur kuning itu kosong. Jadi meski dilempar mengenai tubuh tidak berbahaya. Terpisah, Pj Kepala Desa Kejawar Suwarno meminta dukungan semua pihak agar desa wisata terwujud. Lokasi perang kupat di spot wisata Djagongan Koena yang menyuguhkan tema masa lampau termasuk kuliner. "Melestarikan budaya atau tradisi yang ada di Kejawar khususnya, Jawa pada umumnya," ujar Suwarno. (fij)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: