Ketercapaian dan Dampak Digitalisasi Pendidikan: Jalan Panjang Transformasi Belajar di Era Disrupsi
Istiqomah, S. Ag Ustadzah Al Manaar Boarding School (A-MBS) Pemalang--
Oleh: Istiqomah, S. Ag
Ustadzah Al Manaar Boarding School (A-MBS) Pemalang
Pendidikan di era disrupsi menghadapi tantangan besar akibat percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat dibendung. Dunia pendidikan kini tidak lagi cukup hanya mengandalkan metode konvensional, melainkan harus beradaptasi dengan era digital yang serba cepat dan dinamis. Dalam konteks ini, digitalisasi pendidikan menjadi kebutuhan mutlak untuk memastikan peserta didik memiliki kompetensi abad ke-21 yang relevan dengan tuntutan zaman.
Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam menjawab tantangan tersebut melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2025 tentang percepatan digitalisasi pendidikan. Kebijakan ini menargetkan fasilitasi akses pembelajaran digital di lebih dari 285.000 satuan pendidikan, mulai dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Upaya ini bukan hanya simbol komitmen, tetapi juga langkah nyata dalam mempercepat transformasi pendidikan nasional.
Tujuan utama program digitalisasi pendidikan ini adalah untuk meningkatkan pemerataan akses, kualitas pembelajaran, serta literasi digital bagi peserta didik dan tenaga pendidik. Pemerintah berharap, melalui program ini, proses belajar mengajar tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu, melainkan lebih terbuka, inklusif, dan berbasis teknologi. Inilah wujud nyata pendidikan yang sesuai dengan karakter zaman digital.
Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah sejauh mana implementasi program ini telah mencapai sasaran, dan bagaimana dampaknya terhadap kualitas pendidikan nasional? Untuk menjawabnya, perlu dilakukan telaah dari tiga aspek utama: infrastruktur, sumber daya manusia, serta kebijakan dan pendanaan.
Dari sisi infrastruktur, pemerintah telah menyalurkan berbagai perangkat digital ke sekolah-sekolah, seperti laptop, proyektor, jaringan internet, dan platform pembelajaran digital. Namun, tantangan besar masih muncul di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang terkendala jaringan internet dan pasokan listrik. Untuk itu, dibutuhkan langkah strategis berupa kemitraan dengan sektor swasta dan BUMN dalam penyediaan infrastruktur TIK pendidikan agar pemerataan benar-benar terwujud.
Selanjutnya pada aspek sumber daya manusia (SDM), pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah melaksanakan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran. Program seperti Merdeka Mengajar, Rumah Belajar, dan berbagai platform lokal lainnya menjadi ruang pengembangan diri bagi para pendidik. Guru kini tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai inovator pembelajaran digital.
Meski demikian, kesiapan SDM tidak merata. Masih ditemukan guru, terutama di daerah, yang belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan teknologi digital. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas guru harus dilakukan secara berkelanjutan, disertai pendampingan yang intensif agar transformasi digital tidak hanya berhenti pada distribusi perangkat, tetapi benar-benar mengubah pola pikir dan praktik pembelajaran.
Pada aspek kebijakan dan pendanaan, realisasi anggaran untuk program digitalisasi pendidikan telah berjalan di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah juga terus berupaya melakukan sinkronisasi antara kebijakan nasional dengan pelaksanaan di lapangan agar tidak terjadi tumpang tindih. Selain itu, monitoring dan evaluasi (monev) dari Kemendikbudristek dan lembaga independen menjadi kunci agar program tetap berada pada jalur yang tepat.
Jika dilihat dari dampak positifnya, program digitalisasi pendidikan telah membawa perubahan signifikan. Akses terhadap pembelajaran jarak jauh kini lebih luas dan fleksibel, terutama pasca-pandemi. Media pembelajaran yang interaktif juga mampu meningkatkan minat belajar peserta didik. Selain itu, muncul berbagai inovasi pembelajaran berbasis teknologi yang memperkaya pengalaman belajar di sekolah.
Digitalisasi juga membuka peluang kolaborasi antara sekolah, guru, dan siswa lintas daerah. Melalui platform digital, guru dapat saling berbagi praktik baik, sedangkan siswa bisa berinteraksi dalam proyek kolaboratif yang menumbuhkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Ini merupakan langkah maju menuju ekosistem pendidikan yang kolaboratif dan adaptif.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa program ini juga menghadapi sejumlah tantangan dan dampak negatif. Kesenjangan digital antara sekolah di perkotaan dan pedesaan masih menjadi persoalan serius. Di beberapa daerah, keterbatasan infrastruktur membuat proses digitalisasi berjalan lambat. Akibatnya, pemerataan kualitas pendidikan belum sepenuhnya tercapai.
Selain itu, muncul risiko ketergantungan terhadap perangkat digital tanpa diimbangi peningkatan kualitas pedagogis. Pembelajaran berbasis teknologi harus tetap menekankan aspek humanistik, agar siswa tidak sekadar menjadi pengguna pasif teknologi. Tantangan lain adalah keamanan siber dan privasi data siswa yang perlu mendapatkan perhatian serius di tengah maraknya aktivitas daring.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

