Magister FH Unsoed Soal RUU KUHAP: Perlu Ditinjau dan Dicermati Kembali
Koordinator Program Magister Hukum Unsoed Dr. Budiyono, SH., M.Hum. -DOK PRIBADI-
PURWOKERTO, RADARBANYUMAS.CO.ID – Berkaitan dengan fungsi penyidikan dari Polri yang diatur dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), terdapat ketentuan baru yang dinilai akan menimbulkan hal kontraproduktif antara fungsi penyidikan oleh Polri dengan fungsi penuntutan oleh Kejaksaan. Pandangan ini disampaikan oleh Kordinator Program Magister Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr. Budiyono, SH.,M.Hum.
Menurutnya, akan terjadi tumpang tindih kewenangan, yang selama ini dalam praktik penerapan KUHAP sudah berjalan cukup harmonis. Ketentuan dlm RUU KUHAP dimaksud adalah ketentuan dlm Pasal 12 ayat (8) sampai dengan ayat (12).
"Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (8) sd ayat (12) RUU KUHAP, sangat berpontensi adanya tumpang tindih kewenangan antara fungsi penyidikan oleh Polri dengan fungsi penuntutan oleh Kejaksaan," jelasnya, saat dihubungi Radarmas, Minggu (26/1/2025).
Ia menerangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ke-2 RUU KUHAP (Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan). Pasal 1 ke-4 RUU KUHAP (Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan atau penetapan hakim).
Dari kedua kentuan dalam Pasal 1 ke-2 dan ke-4 RUU KUHAP tersebut sudah jelas dan tegas diatur tentang kewenangan penyidikan oleh Polri dan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan. Sehingga adanya ketentuan baru dalam RUU KUHAP, akan menggangu praktik dan terwujudnya tujuan integrated criminal justice system dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang selama ini telah terlaksana dan terjalin dengan baik.
Di samping itu, ketentuan dalam Pasal 111 ayat (2) RUU KUHAP bertentangan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yg menganut adversarial system atau sistem pertarungan.
Dimana dalam sistem tersebut terdapat dua pihak yang berlawanan, yaitu Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan Terdakwa. Dalam sistem peradilan adversarial, kedua belah pihak ini berhadapan di depan pengadilan, menyajikan bukti dan argumen untuk mendukung klaim mereka. Kemudian Hakim bertindak sebagai wasit yang netral, bebas dan tidak memihak, dengan tugas untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah berdasarkan bukti yang disajikan.
Dalam sistem adversari ini, Penuntut Umum mewakili negara termasuk korban tindak pidana, untuk membuktikan perbuatan dan kesalahan terdakwa. Sedangkan pihak Terdakwa sebagai pihak yg dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk membela diri utk membuktikan dirinya tidak bersalah atas tuduhan itu.
"Jadi dalam adversarial system tersebut jelas sekali bahwa pihak penuntut umum berhadapan/bertarung dengan pihak terdakwa. Kepentingan Penuntut Umum adalah mewakili kepentingan negara untuk melindungi korban kejahatan, bukan melindungi pelaku kejahatan," lanjutnya.
Budiyono menjelaskan apabila dilihat ketentuan Pasal 111 ayat (2) RUU KUHAP, dimana Penuntut Umum diberi hak untuk mengajukan permohonan kepada Hakim Pemeriksa, Pendahuluan tentang Pasal 111 huruf a: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau penyadapan sampai dengan Pasal 111 huruf j. Maka terlihat bahwa Penuntut Umum juga berfungsi membela kepentingan Terdakwa/Terduga Pelaku Kejahatan. Sehingga sudah tidak lagi berhadap-hadapan dengan pelaku kehahatan sebagaimna yang dikehendaki dalam adversary system.
"Hal ini tentunya akan berpengaruh negatif terhadap terwujudnya tujuan integrated criminal justice system. Sehingga menurut saya, ketentuan Pasal 111 ayat (2) RUU KUHAP perlu ditinjau dan dicermati kembali pengaturannya," pungkasnya. (alw)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: