Masyarakat Bisa Gugat ke MK

Masyarakat Bisa Gugat ke MK

fin/radar.co.id MENOLAK:Aksi massa menolak revisi UU KPK di halaman gedung DPR Selasa siang kemarin. Meski aksi penolakan marak dari berbagai kalangan, revisi UU KPK berjalan mulus. JAKARTA - Meski mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, DPR dan pemerintah tetap mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Penolakan tersebut tertuang dalam bentuk aksi-aksi demo di berbagai daerah. Mereka menilai revisi UU KPK berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Masyarakat yang tidak setuju dengan revisi UU KPK, dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Dia mempersilakan masyarakat yang ingin menggugat hasil revisi UU KPK ke MK. Menurutnya, DPR tidak masalah apabila hal itu dilakukan. "Rakyat punya legal standing dan dapat melakukan gugatan terhadap UU KPK. Tidak ada masalah, silakan saja," tegas Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9). Dia mengatakan, DPR sudah sering menghadiri gugatan masyarakat terhadap beragam produk legislasi yang dihasilkan. Mengajukan gugatan ke MK terhadap hasil revisi sebuah regulasi merupakan mekanisme sebuah negara yang menganut paham demokrasi. "DPR sudah menghadiri gugatan ratusan kali. Saya saja sudah hadir berkali-kali, tidak ada masalah kok," imbuhnya. Selain itu, Fahri juga tidak mempermasalahkan banyak kelompok masyarakat yang melakukan aksi demo menolak revisi UU KPK. Menurutnya, aksi demo tersebut merupakan kebebasan berpendapat. "Nggak masalah orang demo, kan menyatakan pernyataan pendapat. Boleh-boleh saja. Semua harus didengar," jelasnya. Dia mengaku DPR memang sengaja mempercepat Revisi UU KPK. Alasannya, masa jabatan anggota dewan hanya sampai akhir bulan ini. "Dipercepat karena mendesak. Karena ini sudah di ujung," imbuhnya. Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil membantah pembahasan revisi UU KPK sengaja digelar secara senyap dan tertutup. Menurutnya, pembahasan revisi di tingkat Panja (panitia kerja) berlangsung tertutup sesuai dengan Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. "Sebenarnya tingkat Panja itu setahu saya tertutup. Kecuali diminta anggota dan disetujui seluruh anggotanya baru dibuka. Kita punya UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Semua pembahasan merujuk pada UU itu," jelas Nasir Djamil, Selasa (17/9). Menurutnya, pembahasan RUU harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena jika tidak, rentan dibatalkan MK. "Karena selain substansi, SOP itu juga dinilai oleh MK. Apakah sudah merujuk pada UU atau tidak, Kalau DPR sudah merujuk pada UU ya ngga ada permasalahan," terangnya. Hal senada diungkapkan anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Dia mengakui rencana revisi UU KPK sudah mengantung sejak tahun 2010. Sehingga perlu disahkan segera karena mendesak. Karena itu, tidak perlu menunggu DPR periode yang baru. "Pada zaman pemerintahan SBY para anggota dewan juga menerima draft soal revisi UU KPK. Tapi pada tahun 2015 hingga 2016, draft ini mulai menggelinding. Bahkan tertunda hingga 2017," papar Arsul. Selain itu, kontroversi dan penolakan dari masyarakat saat itu yang membuat akhirnya pemerintah sepakat dengan DPR agar revisi ditunda. "Kalau proses yang sekarang terlihat terburu-buru karena faktornya DPR periode ini akan selesai pada 30 September 2019. Jadi faktor mendesaknya itu. Ini tu jadi pilihan politik DPR, dan presiden untuk mengesahkannya pada periode sekarang," tuturnya. Terkait ruang diskusi soal revisi UU KPK yang tidak mengundang pimpinan KPK, Arsul mengatakan pihaknya sudah membahasnya dalam rapat-rapat dengar pendapat. "Saya ingat dalam rapat dengar pendapat antara DPR dan KPK di bulan November 2015 juga dibahas soal revisi. Dalam fit and proper test oleh para pejabat KPK yang saat itu masih capim juga membahas soal revisi UU KPK," paparnya. Terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, menilai DPR sengaja membahas secara diam-diam untuk merevisi UU KPK. "Mereka DPR secara sengaja membahas diam-diam, sengaja menutup partisipasi masyarakat. Ini inkonstitusional," ucap Asfina kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (17/9). Menurut Asfina, dalam pembahasan RUU yang lain DPR selalu melibatkan instansi terkait RUU yang dibahas. "Kalau mereka mau, nggak akan sampai disahkan. Ini kekuatan oligarki sudah menguasai DPR dan Presiden/pemerintah. Karena kan mereka tidak lagi bekerja untuk rakyat sesuai konstitusi dan UU. Tapi keuntungan untuk diri dan kelompoknya," tegasnya. Terkait pernyataan DPR jika tidak setuju bisa mengggugat ke MK, dinilai Asfina sebagai pernyataan orang yang tidak bertanggung jawab. "Ini kan pernyataan tidak bertanggung jawab. DPR ini seakan-akan orang nggak tahu apa-apa tentang MK. Tidak bisa begitu," pungkasnya. (yah/fin/rh/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: