Revisi yang Supercepat

Revisi yang Supercepat

fin/radarmas.co.id SAH: Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjabat tangan Menteri Hukum dan HAM Yossana Laoly usai pengesahan revisi UU KPK di Gedung DPR Selasa siang kemarin. RUU KPK Selesai Dalam 13 Hari JAKARTA - Rapat paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (17/9). Revisi ini terbilang supercepat. Waktunya cuma 13 hari. Terhitung sejak DPR menggelar rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK yang menjadi RUU inisiatif dewan, pada 5 September 2019 lalu. Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang (UU). "Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri, Selasa (17/9). "Setuju," jawab anggota dewan secara serentak. Setidaknya ada tujuh poin revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. Yaitu kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan, serta mekanisme penghentian penyidikan dan atau penuntutan. Kemudian, soal koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi, mekanisme penggeledahan dan penyitaan, serta sistem kepegawaian KPK. Meski banyak penolakan, DPR dan pemerintah sepakat merevisi sejumlah pasal dalam UU KPK. Sejumlah kalangan memprotes revisi UU tersebut. Alasannya, akan memperlemah posisi KPK. Banyak kejanggalan selama proses revisi. Antara lain Revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Namun, oleh DPR tetap diprioritaskan. Selain itu, pimpinan KPK tidak dilibatkan dalam proses revisi. Belum lagi rapat-rapat yang digelar selalu tertutup. Yang paling mencurigakan adalah DPR seolah-olah mengejar target. Sebab, masa jabatan DPR periode 2014-2019 akan berakhir pada 30 September 2019. Karena itu, mau tidak mau, revisi UU KPK harus selesai sebelum akhir jabatan. Dan pemerintah pun setuju. Meski ada beberapa poin yang berbeda dari keinginan DPR. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, poin-poin pokok Revisi UU KPK yang telah disahkan DPR RI. Poin pertama terkait kelembagaan KPK. Hal ini tercantum dalam pasal 1 Revisi UU KPK, yang menyatakan KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang dan dalam pelaksanannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kedua, menyangkut penghentian penyidikan dan penuntutan. Dalam pasal 40 dijelaskan KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka paling lama dua tahun. "Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas. Waktunya paling lambat satu minggu sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Selain itu, penghentian harus diumumkan KPK kepada publik," kata Yasonna, Selasa (17/9). Penghentian bisa dicabut apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan. Menurut Yasonna, hal ini untuk memberikan kepastian hukum terhadap seseorang. Ketiga menyangkut penyadapan. Di dalam pasal 12B disebutkan penyadapan dapat dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas.Izin itu harus diberikan Dewan Pengawas paling lambat 1x24 jam. "Penyadapan dapat dilakukan selama enam bulan dan dapat diperpanjang. Ketentuan ini untuk lebih menjunjung hak asasi manusia," imbuhnya. Keempat, terkait status kepegawaian KPK. Berdasarkan pasal 24, disebutkan pegawai KPK merupakan anggota Korps Profesi pegawai ASN seusai dengan ketentuan perundang-undangan. "Ketentuan tata cara pengangkatan pegawai KPK dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," paparnya. Adapun poin lain yang cukup menjadi perhatian adalah keberadaan Dewan Pengawas KPK. Dalam pasal 37A disebutkan dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, maka dibentuk Dewan Pengawas yang merupakan lembaga nonstruktural. Anggota Dewan Pengawas berjumlah lima orang dan memegang jabatan selama empat tahun. Mereka dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Dalam Pasal 37B dijelaskan tugas Dewan Pengawas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi atau tidak memberi izin atas kerja penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan oleh KPK termasuk mengevaluasi kinerja pimpinan KPK setiap satu tahun. Sementara dalam pasal 37E disebutkan Ketua dan anggota Dewan Pengawas dipilih DPR RI berdasarkan calon yang diusulkan Presiden. Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas, Presiden membentuk panitia seleksi yang terdiri atas unsur pemerintah pusat dan masyarakat. "Presiden akan menyampaikan nama calon Dewan Pengawas sebanyak dua kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada DPR. Selanjutnya DPR memilih dan menetapkan lima calon," terangnya. Anggota Badan Legislatif DPR RI Taufiqulhadi menyatakan, mayoritas fraksi sepakat terkait konsep keberadaan Dewan Pengawas KPK. "Dalam keputusan Dewas KPK beranggotakan lima orang. Semuanya dipilih oleh Presiden dengan periode selama empat tahun," kata Taufiqulhadi. Kriteria Dewas KPK tidak boleh berasal dari parpol, memiliki rekam jejak yang baik, usia minimal 55 tahun. "Jadi untuk pertama diangkat oleh Presiden di periode ini. Kami sudah setuju. Namun yang akan datang melalui Panitia Seleksi seperti yang dilakukan untuk calon pimpinan KPK," imbuhnya. Dia menjelaskan Dewas KPK akan memiliki kewenangan seperti memberikan izin untuk penyadapan, membuat kode etik pegawai KPK, dan mengawasi kinerja pimpinan KPK. Namun, Dewas KPK tidak punya wewenang mengeksekusi sebuah kebijakan. Sebab, hal itu merupakan ranah pimpinan KPK. KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah, diawasi oleh DPR dan juga terkait persetujuan anggaran lembaga tersebut. Politisi Partai NasDem itu meyakini keberadaan Dewas bisa menjaga independensi KPK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. (yah/rh/fin/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: