Tiap Hari Turun Kampung 2 Km untuk Ketemu Listrik dan Internet

Tiap Hari Turun Kampung 2 Km untuk Ketemu Listrik dan Internet

Kiprah Narman, Pria Baduy yang "Mendayung" di Antara Dua Sisi: Adat dan Modernitas Berkenalan dengan internet saat menemani sang ayah berdagang, jualan online Narman berupa kerajinan tangan Baduy kini bisa ditemui di berbagai marketplace. Dia juga mengajari membaca anak-anak di kampungnya. ANISATUL UMAH, Lebak SARAN itu sungguh membuat Narman gamang. Antara tertarik dan khawatir. Tak ubahnya menghitung bunyi tokek: boleh, tidak, boleh, tidak... "Ada pembeli yang menyarankan saya berjualan secara online ketika itu," kata pria 28 tahun tersebut. Itu terjadi saat Narman berjualan berbagai hasil kerajinan tangan di Festival Kampung Baduy. Yang diadakan Pemerintah Provinsi Banten di Lebak. Dia khawatir bukan karena tak mengenal internet. Sejak 2009 dia sudah belajar membuat surel, berselancar, dan membuat akun media sosial. Yang diawali "pertemuan" tak sengaja dengan sebuah warnet di Rangkasbitung, 50 kilometer dari kampungnya. Kala menemani ayahnya kulakan barang kebutuhan sehari-hari. Yang memicu kekhawatirannya adalah penolakan dari pemuka adat Baduy. Narman memang lahir dan besar di Kampung Baduy Luar, Lebak. Dengan segala keketatan aturan adat dan tradisi. Namun, ketertarikan akhirnya mengalahkan kekhawatiran. Dia pun belajar cara menjual produk secara online. Setelah menguasai seluk-beluknya, dengan merek Baduy Craft, Narman pun akhirnya mulai berjualan di media sosial. Kemudian membuat website sendiri, www.baduycraft.com. Produk Baduy Craft pun kini bisa dijumpai di berbagai marketplace seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, hingga Blanja.com. Produknya juga beragam. Mulai kain tenun, syal tenun, tas koja, tas jarog, tas kepek, gelang handam, gelang teureup, hingga cangkir bambu. ’’Dengan online ini, misi saya hanya satu, memajukan ekonomi warga Baduy,’’ katanya. Tentu dengan segala kendala dan tantangan yang tak mudah... *** Berjualan adalah pilihan paling cocok bagi warga Baduy saat ini untuk menambah penghasilan. Sebab, jumlah lahan untuk bercocok tanam makin sempit karena populasi masyarakat yang juga terus meningkat. Kebetulan, hasil kerajinan tangan warga Baduy sangat terkenal. Persoalannya adalah cara memasarkannya. Kalau mau jemput bola, ke Jakarta yang berjarak 130 kilometer, misalnya, harus ditempuh dalam empat hari. Dengan berjalan kaki. ’’Biasanya singgah di beberapa tempat dulu untuk istirahat dan jualan,’’ ungkap Narman saat ditemui Jawa Pos di Kampung Baduy Luar pada Senin pekan lalu (12/11). Pilihan lain, menunggu kedatangan wisatawan. Tapi, tentu tak tiap hari ada yang berkunjung. Berjualan secara daring menawarkan solusi atas berbagai permasalahan tersebut. Narman hanya perlu turun 2 kilometer. Dari kampungnya, Marengo, ke Dusun Ciboleger, Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar, Lebak. Sebab, kampungnya tak dialiri listrik. Apalagi internet. Tiap hari Narman harus turun kampung untuk mengecek apakah ada order untuk barang-barang yang dia jual secara daring. Sekaligus membawa barang yang sudah dipesan sebelumnya buat dikirim melalui jasa kurir/pos. Kian hari, jumlah pemesan kian banyak. Saat ini, tiap bulan omzet Narman sudah mencapai puluhan juta rupiah. ’’Pernah omzet tertinggi dalam satu bulan dapat Rp 50 juta,’’ ujarnya dengan mata berbinar. Tentu saja, langkah Narman yang memasukkan teknologi ke dalam jantung masyarakat Baduy itu tak mulus. Dia sempat ditentang masyarakat dan dianggap aneh karena berjualan online. Namun, melihat keberhasilan Narman, para pemuka Baduy Luar akhirnya luluh juga. Mereka memberikan izin. Dengan catatan, internet dan handphone/laptop hanya dipakai untuk keperluan berjualan online, tidak untuk hal lain. ’’Jangan sampai adat turun-temurun berubah gara-gara main teknologi,’’ katanya menirukan pesan yang disampaikan kepadanya. Saat ini jumlah warga Baduy sekitar 12 ribu orang. Sekitar 2 ribu warganya berdomisili di Baduy Dalam, sedangkan 10 ribu lainnya berdomisili di Baduy Luar. Hingga saat ini, Narman masih menyembunyikan kegiatan jualannya dari pihak Baduy Dalam. Sebab, para pemuka adat Baduy Dalam pasti tidak memberikan izin. Risiko jika diketahui pemuka Baduy Dalam pun besar. Narman bisa saja disuruh memilih. Jika ingin melanjutkan, silakan keluar dari adat. Dan, jika ingin balik ke adat, silakan berhenti. Meski demikian, menurut dia, sebagian warga Baduy Dalam sebenarnya sudah tahu kegiatannya. Dan, mereka tidak mempermasalahkannya. ’’Nggak tahu kalau Ketua Adat,’’ katanya sembari mengerutkan dahi. *** Iis termasuk yang sangat berterima kasih atas apa yang telah dikerjakan Narman. Sebelum menitipkan barang untuk dijualkan secara daring, perempuan 35 tahun warga Baduy Luar itu mengaku sangat susah menjual tenun. ’’Adanya online sangat membantu,’’ ujarnya sembari menenun di teras rumah. Di luar urusan jual barang, Narman juga mengajari anak-anak di kampungnya untuk membaca. Tapi, itu juga harus secara ’’gerilya’’ karena adat sebenarnya tak mengizinkan. Meski dia sendiri, seperti juga warga Baduy yang lain, tak pernah mengenyam bangku pendidikan. Keterampilan membaca itu diperolehnya secara otodidak. Koleksi bukunya juga banyak. ’’Saya hobi baca,’’ ungkapnya. Tapi, pada sore itu, sebagian bukunya dia simpan. ’’Karena sedang ada razia adat,’’ katanya sambil menunjukkan beberapa koleksi bukunya di rumahnya yang gelap lantaran ditutup mendung dan hujan sore itu. Sekali lagi, seperti kegiatannya berjualan secara daring, Narman harus ’’mendayung’’ di antara dua sisi: menghormati adat dan tradisi yang berlaku sekaligus tak sepenuhnya mengelak dari terpaan modernitas. (*/c5/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: