RADARBANYUMAS.DISWAY.ID - Jika Anda melancong ke Banjarnegara, perjalanan Anda tidak akan lengkap tanpa mencoba Dawet Ayu khas daerah tersebut. Minuman yang digemari oleh para wisatawan ini berasal dari campuran santan, air gula Jawa, dan dawet yang terbuat dari tepung beras dengan sedikit tepung pohon aren.
Dalam proses pembuatannya, Dawet Ayu menggunakan air perasan daun pandan atau daun suji, memberikan minuman ini warna hijau yang khas. Dengan aroma khas yang wangi dan alami, Dawet Ayu semakin memikat penikmatnya.
Beberapa penjual Dawet Ayu sering menambahkan potongan buah nangka atau durian untuk meningkatkan kelezatan rasa Dawet Ayu.
Meskipun telah terkenal di seluruh Indonesia, masih banyak yang bertanya mengapa minuman ini dinamakan Dawet Ayu. Tentang asal usul nama Dawet Ayu, terdapat beberapa versi yang berkembang di masyarakat.
BACA JUGA:Sejarah Dawet Ayu, Minuman Khas Banjarnegara yang Sangat Populer
BACA JUGA:Resep Bir Pletok, Minuman Menghangatkan Khas Purwokerto
Versi pertama, menurut cerita dari seniman Banyumasan Ahmad Tohari, bermula dari sebuah keluarga yang menjual dawet pada awal abad ke-20. Generasi ketiga dari penjual dawet tersebut terkenal karena kecantikannya.
Sejak itu, dawet yang dijual oleh keluarga tersebut dikenal oleh banyak orang sebagai Dawet Ayu.
Menurut versi lain, yang hampir serupa dengan cerita yang disampaikan oleh seniman Ahmad Tohari, ada keterangan dari tokoh masyarakat Banyumas, yaitu KH Khatibul Umam Wiranu.
Menurutnya, asal usul nama Dawet Ayu muncul ketika seorang penjual dawet bernama Munardjo. Istrinya memiliki wajah yang cantik sehingga dawet yang dijualnya disebut sebagai Dawet Ayu. Pasangan tersebut telah meninggal sekitar tahun 1960-an.
BACA JUGA:Inilah Resep Minuman Menyegarkan Khas Banyumas
BACA JUGA:6 Rekomendasi Minuman Rendah Kalori yang Mendukung Kesehatan Tubuh Anda
Selain namanya yang unik, terdapat keunikan lain pada bagian atas pikulan atau gerobak untuk berjualan Dawet Ayu. Jika diperhatikan, gerobak penjual Dawet Ayu selalu memiliki dua tokoh pewayangan, yaitu punakawan yang sering muncul dalam pertunjukan wayang kulit.
Dua tokoh itu adalah Semar dan Gareng. Jika nama mereka digabung atau disingkat, akan membentuk sebuah nama baru, yaitu Mareng. Dalam bahasa Jawa khususnya Jawa Tengah, kata "mareng" memiliki makna peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau.