JAKARTA- Pengawasan dan penindakan warga asing nakal yang dilakukan pemerintah terkesan setengah hati. Sebab, di awal tahun ini, operasi yang dilakukan belum masif. Bahkan, cenderung hanya menyasar kelompok WNA skala kecil. Padahal, WNA bandel dalam jumlah besar lebih banyak berada di kawasan industri atau pembangunan pabrik investasi asing.
Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mencatat selama satu pekan pertama di 2017 baru 34 WNA yang diamankan. Perinciannya, 5 di Batam, 5 di Sukabumi, 4 di Cirebon, dan 20 WNA di Jakarta Barat. Khusus di Jakbar, para WNA berprofesi sebagai penari, pemandu lagu dan pekerja seks komersial (PSK) di tempat hiburan malam. Usianya 19-35 tahun.
Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Agung Sampurno menyebut jumlah WNA pelanggar aturan keimigrasian masih akan terus bertambah. Itu menyusul belum semua kantor imigrasi daerah melaporkan hasil operasinya ke pusat. Misal kantor imigrasi kelas II Madiun yang beberapa waktu lalu menangkap dua WNA. "Jumlah pastinya belum kami dapatkan," ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (8/1).
Agung mengatakan, para WNA yang diamankan mayoritas tidak memiliki dokumen yang sesuai dengan kepentingannya di Indonesia. Para WNA yang menjadi pemandu lagu, penari dan PSK, misalnya, hanya memiliki izin tinggal untuk kunjungan. Bukan izin tinggal terbatas (itas) atau izin tinggal tetap (itap) yang notabene lebih menunjukan para WNA itu bekerja di Indonesia. "Ada juga yang tidak memiliki dokumen (keimigrasian)," ujarnya.
Para warga asing yang ditangkap kantor imigrasi berasal dari sejumlah negara. Diantaranya, Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Sebagian besar para warga asing itu memang menggunakan dokumen keimigrasian untuk menjadi tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Mereka bekerja di perusahaan-perusahaan kecil-menengah dan perseorangan. Bukan industri besar.
Dikritik soal minimnya hasil penindakan dan pengawasan warga asing itu, Agung menyebut operasi keimigrasian dilakukan atas dasar informasi intelijen. Artinya, petugas kantor imigrasi baru akan bertindak bila informasi di lapangan benar-benar valid (A1) dan bisa dipertanggungjawabkan. "Seperti kasus pabrik pengolahan baja di Bogor akhir Desember lalu," bebernya.
Soal operasi yang sejauh ini belum masif menyentuh para WNA yang tinggal di kawasan pabrik dan industri permodalan asing, Agung mengatakan semua itu butuh persiapan matang dan strategi berbeda. Padahal, di komplek-komplek itu jumlah WNA-nya diperkirakan mencapai ribuan. "Saat ini sudah ada informasi yang masuk (ke imigrasi) dan sudah dianalisa," ucap mantan kepala kantor imigrasi kelas IIA Bengkalis ini.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyatakan, selama ini pemerintah hanya membantah jumlah TKA yang masuk di Indonesia dan menganggap bahwa berita tentang tenaga asing sebagai kabar hoax. Padahal, sudah banyak berita yang memaparkan adanya pekerja yang melanggar aturan ketenagakerjaan.
Menurut dia, pemerintah tidak cukup hanya membantah, tapi juga harus memamarkan data pasti berapa tenaga asing yang melakukan pelanggaran dan berapa perusahaan yang dikenakan sanksi. "Kalau sudah disanksi, sanksinya apa. Itu yang harus dijelaskan," ucap dia kemarin (8/1). Dengan cara seperti itu masyarakat akan mengetahui langkah yang sudah dilakukan pemerintah dalam menegakkan aturan.
Legislator asal Sumbawa, NTB itu menyatakan, adanya perusahaan yang mengerjakan tenaga kasar dari luar, hal itu jelas melanggar aturan. Yang boleh bekerja di Indonesia hanya mereka yang masuk kategori tenaga ahli. Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing sudah menjelaskan secara detail.
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan, pemerintah harus serius dalam menyelesaikan maraknya tenaga asing. Seharusnya, pemerintah menggunakan data yang dipaparkan media untuk bahan evaluasi dan penindakkan di lapangan. "Bukan malah dibantah dan ditolak," terang dia.
Data yang diberitakan media menjadi informasi yang sangat penting dan sangat membantu pemerintah. Mungkin selama ini informasi itu tidak terekspos, karena tenaga asing itu berada di pelosok Indonesia, Misalnya, maraknya TKA di Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Pemerintah harus gerak cepat merespon pemberitaan itu.
Dahnil menyatakan, perusahaan asing yang sengaja menggunakan tenaga kasar harus ditindak tegas. Bila perlu perusahaan itu ditutup, karena sudah melanggar aturan Indonesia. Jangan sampai malah dilindungi oleh aparat. Siapa pun yang melanggar harus diberi hukuman agar tidak terjadi hal yang serupa.
Menurut dia, maraknya TKA menjadi ancaman bagi angkatan tenaga kerja Indonesia. Perusahaan asing cenderung memprioritaskan pekerja kasar dari luar dan menolak pekerja lokal. Maka pengangguran akan menjadi ancaman bagi bangsa ini. Sangat ironis jika di suatu daerah ada industri atau pabrik, tapi jumlah pengangguran tinggi. "Ini harus disikapi pemerintah. Jangan sampai dibiarkan," tutur pria kelahiran Aceh Timur itu.
Dia menambahkan, banyaknya tenaga asing ilegal membuktikan adanya persoalan dalam pengawasan keimigrasian. Sebelum muncul permasalahan yang lebih besar dan menganggu stabilitas politik jangka panjang, maka pemerintah harus segera memperbaiki masalah keimigrasian. "Termasuk meninjau ulang kebijakan bebas visa untuk warga negara tertentu," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pemerintah tak perlu kebanyakan alasan terkait kondisi TKA Ilegal. Nyatanya, pemerintah dinilai kecolongan dalam penanganan buruh asing. Said pun mengkritisi pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang membandingkan jumlah TKA asing dengan TKI di luar negeri.
"Jelas ini miskonsepsi. Meski TKI di Luar Negeri ada 6,5 juta dan kebanyakan pekerja kasar, mereka memang ditempatkan kepada negara yang membutuhkan. Negara-negara penempatan TKI tersebut mengizinkan adanya perekrutan pekerja kasar asing di negara mereka," ujarnya.
Sedangkan, lanjut dia, undang-undang tentang ketenagakerjaan sudah jelas melarang adanya TKA asing unskilled bekerja di Indonesia. Secara logika, karena masih banyak juga tenaga kerja dengan spesifikasi rendah yang belum mendapatkan kesempatan kerja. "Karena itulah, kami kukuh ingin melakukan gugatan hukum citizen law suit terkiat TKA Tiongkok. Dari survei kami, 93 persen responden setuju adanya tuntutan tersebut," tegasnya. (tyo/lum/bil)