Oleh: Jarot C. Setyoko
Pada mulanya, seperti kebanyakan orang, saya mengikuti berita pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat ini karena kejanggalan yang terlampau ‘ngegla’. Juga karena rasa empati pada Pak Samuel Hutabarat, ayah Joshua, sebagai sesama ayah yang anaknya sama-sama menyabung nasib sebagai aparat negara hingga merantau ke ibukota.
Ketika si bapak ini berkata, dirinya siap berdarah-darah demi mendapatkan keadilan atas pendzaliman yang menimpa putranya, hati saya sungguh tergetar. Di ujung bumi manapun, seorang ayah yang telah membesarkan anaknya dengan seutuh cinta dan kehormatan, pasti akan melakukan hal yang sama.
Saya berharap -- seperti biasanya, dua-tiga hari perhatian saya pada suatu kasus akan berlalu. Toh pembunuhan dan kekejian yang lain adalah uap kopi yang kita seruput setiap hari, di jaman yang semakin mengagungkan kemanusiaan ini. Namun nyatanya tidak bisa. Sebab dari hari ke hari, pernyataan polisi atas peristiwa tragis ini justru semakin ‘merguyokkan’ dan ‘nagih’ betul untuk terus diikuti.
BACA JUGA:Ini Profil Ferdy Sambo, Dalang Pembunuhan Brigadir J, Pernah Jadi Kapolres Purbalingga
Hingga dua pekan setelah kasus ini menggelinding di depan mata publik, Pak Aryanto Sutadi yang mantan Kadivkum Polri itu mencatat ada 30 kejanggalan dalam narasi yang disampaikan kepolisian. Misalnya menembak lima kali tetapi kenanya tujuh kali, atau petir yang tak tahu apa-apa tapi ikut-ikutan difitnah menyambar CCTV.
Tentu kolom ini tak perlu menulis ulang semua kejanggalan itu. Sebab layar aplikasi digital dari YouTube hingga TikTok, telah memuatnya sebagai konten tragedis sekaligus satire yang lagi-lagi ‘merguyokkan’. Maka disertai emosi yang meluap, menjelmalah saya layaknya ibu-ibu yang keranjingan pada drama Korea.
Lalu klimak-klimak kecil dari upaya mengungkap kasus yang ‘mbulet’ ini dilampaui. Aplaus dukungan berserak di berbagai platform digital, bersulih dengan keraguan khalayak pada kesungguhan polisi. Toh perlahan titik terang memendar semakin nyata. Bermula dari Kapolri membentuk Timsus, dilakukannya autopsi ulang, Bharada Eliezer ditetapkan sebagai tersangka, 25 aparat dari pati hingga tamtama dikotakkan, lalu Ferdy Sambo di-tempat khusus-kan di Mako Brimob.
Searas penilaian dominan di ruang publik, saya setuju setiap tahap kemajuan mengurai kemelut kasus ini, kerja kepolisian harus diapresiasi. Apalagi ‘wudun’ telah pecah setelah Ferdy Sambo dinyatakan sebagai tersangka. Tetapi mohon ijin, komandan, tanpa niat meremehkan kegemilangan Timsus Polri yang telah ‘menang besar’ setelah menaklukkan tipu daya Sambo, di mata saya justeru muncul penampakan persoalan yang lebih besar dibanding sekedar kasus pembunuhan. Yakni munculnya gejala klik dengan perilaku samar: insubordinasi!
BACA JUGA:Presiden Jokowi Minta Polri Jangan Tutupi Kasus Pembunuhan Brigadir J
Mari kita konstruksi ulang proses polisi mengurai kasus ini. Setelah upaya rekayasa kasus ini konangan mata khalayak pada 12 Juli lalu, jalan membuat perkara ini benderang sungguh berlarat-larat. Bahkan meski Presiden Jokowi telah tiga kali meminta agar diungkap secara terbuka, namun hingga tiga pekan lamanya kasus ini masih berada di ruang gelap.
Padahal seperti yang dinyatakan para mantan petinggi polisi -- misalnya Pak Susno Duaji, secara teknis kasus ini cukup mudah dan untuk penanganannya hanya berkelas Polsek. Setidaknya sudah ada pelaku yang mengaku, barang bukti dan tempat kejadian perkaranya jelas. Lantas apa yang membuat tindak pembunuhan sempat mogok di lorong gelap?
Psikolog Reza Indragiri menjelaskan kebuntuan kala itu dengan perilaku ‘code of silent’ yang lazim berlaku di institusi dengan ‘in group’ yang kuat. Secara sederhana perilaku ini bisa diartikan sebagai sikap kolektif untuk menutupi perbuatan negatif personal yang dianggap berdampak pada citra buruk institusi. Dengan konsep berbeda namun menghasilkan perilaku yang nyaris sama, dalam kasus penembakan Lapas Cebongan pada 2013 silam media menyebutnya dengan istilah ‘jiwa korsa’ yang melampaui takaran. Konsep kode senyap dan jiwa korsa, keduanya adalah sikap kolektif yang bertujuan melindungi kehormatan korps.
BACA JUGA:Tersangka RR yang Terlibat Pembunuhan Brigadir J Asal Sumpiuh, Dikenal Sebagai Pribadi Santun
Lantas Menkopolkam Pak Machfud M.D. menerangkan kebuntuan saat itu dengan istilah psiko-hirarki dan psiko-politik. Soal psiko-hirarki, tak perlu kita cemaskan, sebab adalah hal wajar ketika seorang bawahan merasa canggung memeriksa orang yang berpangkat lebih tinggi. Tetapi soal psiko-politik, yang secara tersirat Pak Machfud menyebutnya geng-gengan yang menjalar hingga Gedung Senayan, inilah yang layak kita khawatirkan.