Oleh M Agung Miftahuddin SSE MSi
- Dosen FEB UMP
Bulan Ramadhan membentuk jiwa keagamaan seorang muslim dan sekaligus mendidik insan yang beriman untuk mensucikan diri dari berbagai kotoran maupun dosa yang mungkin telah dilakukan oleh seluruh organ tubuh dan panca inderanya.
Disyariatkannya Ibadah puasa adalah sebagai wahana untuk melatih diri setiap menahan dari godaan-godaan, seperti dilambangkan dengan makan dan minum serta hubungan biologis.
Namun demikian, pahala puasa tentunya tidak tergantung seberapa jauh kita lapar dan haus. Melainkan tergantung pada, apakah kita menjalankannya dengan iman dan ihtisab kepada Allah, serta penuh instrospeksi diri atau tidak.
Bahwa pahala puasa tidak tergantung pada seberapa jauh kita lapar dan haus adalah disunatkannya berbuka puasa sesegera mungkin yang dalam istilah agama disebut tajil.
Jadi semakin cepat kita berbuka puasa, makin besar pahalanya. Sedangkan sahur disunatkan seakhir mungkin, karena semakin akhir sahur kita semakin besar pula pahalanya.
Dan nabi Muhammad SAW tetap menganjurkan kita sahur, meskipun tidak ada nafsu makan karena merasa kenyang, karena menurut beliau dalam sahur ada berkah.
Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a., bahwa rosulullah bersabda: hendaklah kamu bersahur, karena dalam bersahur itu ada keberkahannya (Bukhori dan Muslim).
Manusia lahir dalam fitrah berarti kita hidup dalam kesucian. Namun karena kelemahan manusia, yang mudah tergoda, sehingga sedikit demi sedikit diri kita menumpuk debu-debu dosa dan menutup hati sehingga menjadi gelap.
Padahal semula hati kita itu terang sehingga mampu memantulkan sinar kebaikan. Itulah sebabnya hati kita itu disebut nurani yang berarti cahaya.
Tapi lama kelamaan menjadi gelap karena selalu dikotori dengan debu-debu dosa, sehingga menjadi zhulmani yang berasal dari zhulm berarti gelap.
Dalam bahasa al-Quran dosa disebut zhulm, sehingga orang yang berbuat dosa disebut zalim, artinya seseorang yang melakukan sesuatu yang membuat dirinya dan kesuciannya (fitrahnya) serta hati nuraninya menjadi gelap.
Imam al-Ghazali megemukakan bahwa kemuliaan martabat manusia disebabkan karena kesiapannya mencapai marifat kepada Allah, dan hal itu dimungkinkan karena adanya hati.
Dengan hati, manusia mengetahui Allah dan mendekati-Nya, sementara anggota badan yang lain berfungsi sebagai pelayannya Ia mengatakan bahwa hati mempunyai dua unit yaitu yang dapat dilihat dengan mata kepala dan yang satunya lagi hanya dapat dilihat dengan mata hati.
Yang pertama adalah anggota badan, sedang yang kedua adalah daya-daya seperti; daya penglihatan, daya pendengaran, daya khayal, daya pikir dan sebagainya.
Hati juga diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzawq) yang dapat menangkap sinyal-sinyal yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang berbeda-beda tergantung pada desain dan baterainya.
Hati yang telah lama dilatih melalui proses latihan (riyadhah) memiliki desain dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinyal yang jauh termasuk sinyal isyarat masa yang akan datang.
Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai cermin (cermin hati). Orang bersih dari dosa, hatinya bagaikan cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang terkena debu, jika digunakan kurang jelas hasilnya.
Orang yang suka melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin yang tersiram cat hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat digunakan.
Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan perbuatan dosa, hatinya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang jika digunakan akan menghasilkan gambar yang tidak benar. Apabila kita mencapai suatu titik dimana kita tidak lagi menyadari bahwa perbuatan kita itu jahat, maka inilah yang disebut dengan kebangkrutan rohani.
Problema terbesar dalam masyarakat adalah menghadapi orang yang menjalankan hal-hal yang sebetulnya tidak baik, akan tetapi justru merasa berbuat baik, Allah mengingatkan dalam Al Quran, yang artinya: Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupannya di dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (QS. Al-Kahfi: 103-104). Itulah sebabnya, Allah menyediakan bulan puasa, supaya kita dapat mensucikan diri, sehingga membuat diri kita kembali menjadi suci.
Oleh karena itu puasa bukan saja bulan suci tetapi bulan pensucian. Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman yaitu percaya kepada Allah swt dan ihtisab yang berarti mawas diri, menghitung diri sendiri atau instrospeksi, yaitu kesempatan bertanya dengan jujur siapa kita ini sebenarnya, maka Allah akan mengampuni dosa dan kesalahan kita, Rasulullah SAW bersabda Barang siapa berpuasa ramadhan karena iman dan ihtisab, niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu. Nabi Muhammad saw menjanjikan, kalau kita berhasil berpuasa dengan dasar iman dan ihtisab, maka seluruh dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah SWT.
Sebagai konsekwensinya pada waktu kita selesai berpuasa yaitu pada tanggal 1 Syawal nanti, kita ibarat dilahirkan kembali. Itulah yang kita rayakan dengan idul fitri (kembali suci).
Kembalinya fitrah kepada kita, dan kita pun harus tampil sebagai manusia suci dan baik, sebaik-baiknya kepada sesama manusia, juga sebaik-baiknya kepada sesama makhluk. Itulah sebetulnya semangat idul fitri yang kemudian kita ucapkan Taqobalallahu minna waminkum, minal aidin wal faizin, Semoga Allah menerima ibadah puasa kami dan ibadah anda, semoga pula kita semuanya termasuk orang yang kembali ke fitrahnya dan sukses serta memperoleh kebahagiaan. Amin ya Rabbal alamin. (*)