ULET : Salah satu karyawan di di pabrik sepatu Vistrand sedang melakukan pengeleman beberapa waktu lalu.
Keluar Zona Nyaman Dengan Bank Jateng
Tak pernah ada yang menyangka, Bandi sang pemilik pabrik sepatu Vistrand dulunya seorang sopir truk. Kini, ia menjelma menjai pengsuaha dengan omset ratusan juta. Tidak mudah memang, namun ternyata perbankan sebagai pihak yang mendorong pertumbuhan ekonomi melihat kesungguhan pada diri nasabahnya.
Adalah Bank Jateng Purwokerto yang bersikap bijak, bermitra dengan orang yang tepat. Mensuport Bandi, sopir truk yang berani melompat, banting stir meninggalkan zona nyamannya.
Saat Radarmas melakukan hunting jurnalistik ke pabrik sepatu Vistrand miliknya, di Kelurahan Arcawiangun, Kecamatan Purwokerto Timur, Jumat (23/11). Terlihat jelas, bukan sembarang pabrik sepatu lokal yang ia miliki. Puluhan karyawan hari itu sibuk dengan bagiannya masing masing. Sebagian sedang membuat desain sepatu dan sandal. Lainnya lagi menjahit, mengelem, hingga proses akhir pembuatan.
Rupanya mereka tak terganggu dengan kedatangan tim Hunting Jurnalistik 2018 yang merupakan hasil kerja sama Bagian Humas Kabupaten Banyumas, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Purwokerto dan Bank Jateng Purwokerto.
Yongki (56), karyawan Vistrand dibagian pelipatan kulit, bahkan mengajak kami bercerita panjang.
"Sudah lebih dari 5 tahun kerja bareng pak Bandi. Saya bisa lebih dekat dengan anak cucu di rumah sekarang, tak perlu lagi marantau jauh di Jakarta," kata Yongki mensyukuri bekerja di Vistrand yang membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat.
Ia setiap harinya melipat bahan sepatu dari kulit sapi. Membentuk pola yang sudah ditentukan dan mengantongi lebih dari Rp 100 ribu per harinya.
“Karena sistemnya borongan, jadi pendapatan yang diterima sesuai banyaknya unit yang dikerjakan. Semisal bisa mengerjakan sekodi, maka bisa mendapatkan Rp 140 ribu,” kata dia.
Adapun, kisah panjang pemilik pabrik sepatu ini dimulai dari tahun 2008. Bandi awalnya tidak memiliki pengalaman membuat sepatu dan sandal. Bahkan tanpa pengalaman kerja yang sebidang. Sebab, ia hanya sebagai sopir truk waktu itu. Pendidikan bisnis dan kerajinan juga tak ada dalam riwayat hidupnya.
"Saya bekerja menjadi sopir truk sejak usia 16 tahun. Selama menjadi sopir truk, hidup saya tidak ada perubahan. Begitu-begitu saja hasilnya," kata dia.
Tak ragu, demi kehidupan yang lebih layak. Sebagai seorang sopir, ia pun banting stir. Di tahun 2007 ia berjualan sepatu sandal berkeliling, bermodal Rp 130 ribu. Bandi mulai membeli sepatu dari toko sepatu, dan ia jual kembali menggunakan sepeda motor.
"Saya mengambil di toko satu pasang hingga dua pasang untuk dijual lagi. Tapi lama kelamaan barang dagangannya terus bertambah. Itu saya jalani selama satu tahun," ujarnya.
Ia melihat pemasaran sepatu dan sandal kulit sangat potensial. Apalagi, pendapatan dari hasil penjualan keliling cukup menjanjikan. Ini mendorong Bandi untuk mencoba tantangan baru. Membuka usaha sendiri. Memproduksi sepatu dan sandal kulit sendiri. Modalnya pinjam bank. Ia optimis bisa mengangsur pinjaman bank.
Hingga pada 20 Maret 2008, ia pun memberanikan diri kembali. Membuka usaha produksi sepatu dengan merek Vistrand Shoes. Pinjam bank Rp 4 juta untuk modal usaha. Ia kemudian merekrut dua pekerja dari daerah Tegal. Dua pekerja yang memiliki pengalaman bekerja pada bagian produksi sepatu kulit. Satu orang bekerja mengelem sepatu, satunya lagi bagian menjahit.
Bandi bekerja di finishingnya. Model sepatu yang diproduksi terinspirasi dengan sepatu-sepatu yang dijual di toko-toko. Bahan baku kulit sepatu dibeli dari Magetan, sedangkan bahan baku lain, seperti lem dan lain-lain dari Bandung.
"Awalnya saya sengsara sekali karena semua dikerjakan dari nol. Tantangan utama berwirausaha yang pasti pusingnya luar biasa karena dari orang kerja kemudian punya karyawan 'kan pusing," katanya.
"Dipermodalan juga, karena di sini harus ada bahan baku yang dibeli, tapi belum bisa langsung dijual," kata dia.
Meski tak cepat, usahanya barunya mulai membuahkan hasil. Produksi sepatu dan sandal kulit terus berkembang. Strategipun diubah. Ia menawarkan produk dengan cara kredit dan tunai. Pembayaran kredit tidak mengenakan bunga. Bahkan, Bandi berani memberi garansi 1 tahun terhadap produk yang dijual konsumen.
Volume produksi sepatu kulit yang pada awal memproduksi puluhan pasang dan omzet per bulan mencapai Rp 2 juta terus meningkat. Ini memantik Bandi meminjam modal usaha dari bank untuk menunjang usahanya. Ia terpacu untuk terus mengembangkan usahanya.
Ia kemudian meminjam ke Bank Jateng Koordinator Purwokerto. Ia meminjam Rp 2 miliar. Nominal digunakan untuk membeli tambahan unit peralatan pendukung produksi, bahan baku serta merenovasi tempat produksi. Tempat produksi yang nyaman dilengkapi dengan mess membuat pekerja betah menjalani pekerjaan di Vistrand Shoes.
"Saya sudah menjalin hubungan dengan Bank Jateng sudah lama. Pinjam di Bank Jateng pas sesuai dengan kebutuhan. Tidak kurang dan tidak lebih. Saya sangat terbantu sekali dengan Bank Jateng," kata dia.
Suntikan dana Bank Jateng ini semakin mempercepat putaran roda usahanya. Saat ini, ia telah memiliki pekerja bagian produksi 40 orang, sedangkan tenaga pemasaran sekitar 30 orang. Kapasitas produksi sebulan rata-rata 5000 pasang. Harga per pasang sepatu dan sandal kulit mulai Rp 210 ribu hingga Rp 600 ribu.
Vistrand memproduksi sepatu pantofel, kasual dan sepatu offroad serta sandal kult. Ada sekitar seratus lebih model yang telah diproduksi. Pemasaran produk di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagian wilayah Jawa Barat. Dengan volume produksi itu, Bandi mampu mendulang omzet mencapai Rp 200 juta per bulan.
Bandi kini terus berinovasi untuk mengembangkan usahanya. Baru-baru ini, ia mengajukan modal usaha lagi sebesar Rp 6 miliar ke Bank Jateng untuk membangun tempat produksi dan pengadaan spon untuk membuat sandal jepit. Rencananya sandal jepit ini dijual ke warung-warung, pasar tradisional serta memenuhi permintaan pasar di Kalimantan.
Pemimpin Bidang Pemasaran Bank Jateng Koordinator Purwokerto, Siti Nafisah mengatakan, untuk mendukung perkembangan UMKM, Bank Jateng memiliki beberapa jenis kredit dengan syarat mudah dan proses cepat.
Untuk pinjaman modal usaha sampai dengan Rp 100 juta misalnya, pelaku usaha hanya cukup melampirkan surat keterangan usaha. Jadi tidak perlu menggunakan SIUP. Kemudian, bagi industri rumahan yang usahanya baru berjalan minimal enam bulan, bisa didanai dengan kredit Mitra Jateng 25. Kredit ini tanpa jaminan dengan plafon Rp 25 juta.
Ketika usahanya semakin berkembang dan memiliki aset yang dapat dijaminkan di bank, maka pelaku usaha itu akan dibiayai menggunakan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR ini menawarkan pinjaman dengan plafon hingga Rp 500 juta.
"Dan Vistrand Shoes ini berangkat dari kredit usaha rakyat. Jadi sejak 2008, ia sudah bergabung dengan Bank Jateng sampai dengan 2018. Nanti Vistrand Shoes akan menambah pinjaman lagi dengan plafon sampai dengan Rp 6 miliar untuk pengembangan usaha. Saat ini sedang proses pengajuan," kata dia
Selain memberikan kredit, Bank Jateng juga memiliki program trainer of trainer. Pelaku UMKM diberi pendidikan dan pelatihan tentang kewirausahaan, meliputi penyusunan laporan keuangan hingga pemasaran.
"Kita didik dengan simulasi-simulasi usaha yang bekerja sama dengan Jerman. Itu diaplikasikan dengan UMKM nasabah kita," kata Siti Nafisah.
Dengan dukungan fasilitasi permodalan bagi UMKM melalui kredit Mitra Jateng 25 maupun KUR, serta pelatihan dan pendidikan kewirausahaan, bank milik pemerintah daerah itu telah memberi kontribusi terhadap perkembangan UMKM di Jateng untuk naik kelas. Seperti Bandi Setiawan yang menapakkan asa pada usaha sepatu dan sandal kulit. Dari pemasar kelilingan, kini ia menjelma menjadi pengusaha sukses.
Ia menjelaskan, Bank Jateng sebagai perusahaan milik daerah sejak tahun 1993 dan telah menjadi Perseroan Terbatas (PT) di Tahun 1999 terus memaksimalkan pendanaan bagi usaha produktif. “Bagi UMKM, selain mendapatkan pendanaan juga akan mendapatkan fasilitas pendampingan sehingga bisa terus mengembangkan usahanya. Jadi kita akan mengawali dengan memberikan KUR kemudian jika usaha terus berkembang maka akan meningkat ke kredit usaha produktif (KUP) dengan besaran nilai pinjaman ratusan juta sampai miliar,” kata dia.
Untuk penyaluran kredit di Banyumas, kata dia, pertumbuhan kredit usaha sangat signifikan, dari tahun 2013 yang hanya Rp 21,267 miliar, pada Desember lalu mencapai Rp 42,449 miliar.
“Kredit produktif yang kita biayai totalnya mencapai Rp 836 miliar dengan pertumbuhan kredit produktif sebesar 21,29 persen sampai Juni 2018,” kata dia.
Semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pembangunan daerah, Bank Jateng, kata dia, sebagai pemegang kas daerah atau pengelola keuangan daerah juga menjadi satu di antara sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Untuk perkembangan modal Pemkab Banyumas, ia mengatakan dari modal yang disetorkan ke Bank Jateng terus meningkat tiap tahunnya. Berawal dari hanya sekitar Rp 4 miliar di tahun 2006, saat ini Pemkab Banyumas menyetorkan modal sebesar Rp 22.679.000.000.(aulia el hakim)