Warga Jakarta tengah diliputi kegembiraan, menyusul pengoperasian Moda Raya Terpadu (MRT) fase pertama, yang melayani rute Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia. Akhirnya, Ibu Kota punya MRT, seperti yang dimiliki Singapura, Seoul, Tokyo, dan kota-kota besar lain di dunia.
Total 13 stasiun tersedia di MRT fase I, yang terdiri dari tujuh stasiun layang dari ruas Lebak Bulus hingga Sisingamangaraja, dan selanjutnya dari Senayan hingga Bundaran HI, seluruhnya berada di bawah tanah.
MRT memang menjanjikan kenyamanan dengan kabin dan interior ruangan yang apik. Lebih dari itu, MRT menjanjikan kecepatan dan efisiensi waktu. Hanya butuh 30 menit dari Lebak Bulus untuk tiba di Bundaran HI.
Jauh sebelum Jakarta memiliki MRT, layanan serupa telah dimiliki oleh Serfaus, sebuah desa asri di lembah River Inn, Austria. Pada 1986, komunitas pedesaan damai di lereng Pegunungan Alpen Timur itu meresmikan jaringan kereta bawah tanah untuk mengakomdasi seribuan jumlah penduduknya.
Kota ini bukanlah bagian dari sebuah metropolitan, melainkan desa terpencil berjarak hampir 300 kilometer dari kota terbesar terdekat, Innsbruck. Melihat fakta tersebut, banyak orang mempertanyakan mengapa Serfaus memiliki MRT.
Serfaus sendiri merupakan salah satu kawasan resor ski terkenal di Jerman, yang memiliki lebih dari 50 hotel, sehingga membuat lalu lalang manusia yang datang berlibur di sana cukup tinggi, demikian sebagaimana dikutip dari Fascinating Maps pada Selasa (26/3).
Inilah yang mendasari pemerintah Desa Serfaus membangun sistem transportasi berjuluk 'Dorfbahn', yang diterjemahkan menjadi Jaringan Rel Desa Serfaus. Panjangnya hanya 1,3 kilometer, sehingga menjadikannya sebagai jalur MRT terpendek kedua di dunia, setelah kereta bawah tanah sepanjang 570 meter di Istanbul.
Jalur ini memiliki 4 stasiun, yakni Seilbahn (kereta gantung), Zentrum (pusat desa), Kirche (gereja), dan Parkplatz (tempat parkir). Hanya ada satu rangkaian MRT yang beroperasi berdasarkan rute antar jemput.
Kereta tunggal ini berjalan di atas bantalan udara dan ditarik oleh sistem yang digerakkan kabel. Terowongannya memiliki penampang persegi panjang dengan lebar sekitar tiga meter.
Seluruh rangkaian memiliki kapasitas 270 penumpang, di mana hal itu dinilai cukup banyak jika mempertimbangkan populasi desa terkait.
Dorfbahn pada awalnya adalah satu-satunya jalan yang tersedia untuk lalu lintas menuju terminal kereta gantung di Serfaus.
Tetapi, kenyataan bahwa jalan tersebut buntu, maka kerap memicu kemacetan yang semakin memburuk dari tahun ke tahun, terutama selama musim dingin yang dipenuhi oleh para turis.
Tidak hanya sampai di situ, kemacetan tersebut juga memicu gangguan kualitas hidup bagi penduduk lokal dan wisatawan.
Pada 1970, dewan desa memutuskan menutup Dorfbahn untuk lalu lintas kendaraan pribadi, dan membangun lahan parkir mobil di gerbang hilir.
Para turis ski diangkut ke terminal dengan bus. Tetapi, semakin meningkatnya jumlah wisatawan berarti bahwa kendaraan tersebut segera mencapai batas kapasitasnya.
Pada 1983, perusahaan teknik Lässer-Feizlmayer di Innsbruck diberi tugas merancang skema transportasi alternatif, dan kemudian datang dengan proposal untuk membangun jaringan kereta bawah tanah.
Sistem transportasi baru itu berjalan dengan suspensi bantalan udara dari tempat parkir ke terminal kereta kabel. Dewan desa menyetujui proyek tersebut pada Desember 1983, dan pekerjaan pembangunan dimulai pada Juli 1984.
Serfaus Dorfbahn berhasil diujicoba pada 14 Desember 1985, dan secara resmi dibuka pada 16 Januari 1986. (*/ttg)