Letjen TNI Doni Monardo
JAKARTA - Ketua Satgas Penanganan COVID-19, Letjen TNI Doni Monardo menyebut masih ada sekitar 44,9 juta warga Indonesia yang tak percaya adanya COVID-19.
Angka itu dinilai sangat tinggi. Diperlukan sosialisasi perubahan perilaku untuk meyakinkan masyarakat bahwa COVID-19 tersebut benar-benar nyata.
https://radarbanyumas.co.id/123-medis-di-ujung-maut-tebaran-kian-menggila-corona-makin-subur/
"Selaku Ketua Satgas, saya ingin memberikan apresiasi kepada BKKBN, yang menyelenggarakan program perubahan perilaku. Program ini sangat strategis. Karena ternyata masih 44,9 juta atau 17 persen warga negara kita yang masih belum percaya dan merasa yakin tidak akan terpapar COVID," kata Doni dalam Sosialisasi Strategi Perubahan Perilaku Protokol Kesehatan Pencegahan COVID-19 di Jakarta, Jumat (2/10).
Menurutnya, hal itu menjadi tantangan semua pihak. Terutama bagaimana menjelaskan dan menyakinkan kepada masyarakat bahwa COVID adalah nyata dan bukan rekayasa.
"COVID ini benar-benar ada dan bukan konspirasi," lanjut mantan Danjen Kopassus ini.
Buktinya, sudah ada jutaan korban meninggal dunia jiwa akibat COVID-19 di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia pasien yang meninggal angkanya sudah mencapai 10 ribu orang lebih.
"Korban jiwa di tingkat global telah mencapai lebih dari 1 juta orang. Yang terpapar lebih dari 33 juta orang. Di Indonesia, yang sudah terpapar lebih dari 280 ribu orang. Sedangkan yang wafat mencapai 10 ribu orang. Ini angka yang sangat besar," tuturnya.
Dia mengingatkan bahaya penularan COVID dari orang terdekat. Karena itu, ketentuan protokol kesehatan harus wajib dipatuhi setiap saat dan di mana pun.
Penerapan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) harus terus disosialisasikan kepada masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat menyadari pentingnya 3M dalam kehidupan sehari-hari.
"COVID ini ditularkan oleh manusia. Bukan hewan, seperti flu burung dan flu babi. Sehingga orang terdekat dari kita yang mengancam satu sama lain. Mereka berada di sekitar kita. Bisa keluarga, teman dekat, teman kerja, teman belajar, dan semua yang ada di sekitar kita. Karena itu, strateginya adalah harus mematuhi ketentuan yang ada," tegas Doni.
Mantan Danpaspampres ini mengungkap beberapa alasan kenapa masih banyak warga yang tak mematuhi protokol kesehatan. Sebab, sebagian masyarakat beralasan karena tidak ada sanksi.
Berdasarkan data survei Badan Pusat Statistik (BPS) dari 90 ribu responden yang dilakukan pada 14-21 September 2020, ketergantungan masyarakat dengan sanksi masih tinggi. Sehingga tingkat kesadaran pribadi belum optimal.
"Seseorang tidak mengikuti ketentuan protokol kesehatan ternyata karena tidak ada sanksi. Jadi tingkat kesadaran pribadi dan kesadaran kolektif ini masih belum optimal. Ini yang harus terus disosialisasikan," papar Doni.
Data BPS tersebut, bisa menjadi bahan untuk menentukan suatu kebijakan. Dia meminta pemerintah daerah atau unsur aparat penegak hukum setempat memikirkan sanksi yang bisa diterapkan.
"Data ini sangat valid. Sanksi di sini, bukan hanya sanksi yang diberikan pemerintah. Tetapi perlu ada sanksi sosial, saksi adat, ada banyak sanksi lainnya. Targetnya untuk bisa mengunggah masyarakat agar patuh dan taat pada protokol kesehatan," pungkasnya.(rh/fin)