PURBALINGGA, RADARBANYUMAS.CO.ID - Kondisi angkutan kota (angkot) di Kabupaten Purbalingga kian terpuruk. Setelah sempat lesu akibat pandemi Covid-19, kini para sopir kembali menghadapi tantangan berat dengan hadirnya Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng yang menawarkan tarif lebih murah.
Pengurus Organisasi Supir dan Awak Angkutan Kota (Osaka) Purbalingga, Wasis Prayitno, mengatakan masa paling sulit bagi sopir angkot terjadi saat pandemi Covid-19 pada 2020. Saat itu, tiga jalur angkot terpaksa berhenti beroperasi, salah satunya jalur Padamara.
"Sekolah-sekolah melarang siswanya naik angkutan umum, dampaknya terasa sampai sekarang," ujarnya.
Setelah pandemi mereda, pukulan baru datang dari BRT Trans Jateng. Menurut Wasis, angkot jalur Bukateja dan Jompo menjadi yang paling terdampak.
BACA JUGA:Awak Angkutan Kota Pertanyakan Tarif Penumpang Karyawan
"Dulu di Bukateja ada empat angkot yang ngetem, sekarang tinggal satu," ungkapnya.
Tarif BRT yang hanya Rp1.000 untuk karyawan dan lansia dinilai terlalu rendah dan tidak seimbang dengan tarif angkot sebesar Rp5.000.
"Dulu masih mending BRT Rp4.000, angkot Rp5.000. Sekarang sangat jomplang. Karyawan PT cukup bayar seribu, ini bikin supir susah dapat penumpang," keluhnya.
Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub), Organda, dan Polres Purbalingga, namun hingga kini belum ada tindak lanjut. Pihaknya berharap tarif BRT bisa dikembalikan ke awal, yakni Rp2.000 untuk karyawan, agar ada keseimbangan.
BACA JUGA:Dinhub Purbalingga: 12 Trayek Sudah Ditutup, Usulkan Jalur Angkutan Perintis ke Bandara JBS
Meski begitu, Wasis menyebut masih ada trayek yang stabil seperti Kaligondang-Slinga dan Bobotsari. Sementara trayek yang sudah tidak beroperasi meliputi Padamara, Wirasana, dan Karangtengah-Jompo.
Dari total 203 unit angkot, saat ini hanya 160 yang masih beroperasi. Itupun sebagian besar hanya aktif pada pagi hari, sementara siang hari tersisa sekitar 100 armada.
"Sekarang dari 12 jalur, yang masih produktif tinggal delapan," ucapnya. (alw)