Pemkab Banjarnegara Terapkan Lima Langkah Pemulihan Korban KDRT Anak di Desa Kutawuluh

Minggu 13-04-2025,17:44 WIB
Reporter : Pujud Andriastanto
Editor : Susi Dwi Apriani

BANJARNEGARA, RADARBANYUMAS.CO.ID - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berdarah yang menimpa seorang anak di Desa Kutawuluh, Kecamatan Purwanegara, Banjarnegara, mendorong pemerintah daerah untuk mengambil tindakan cepat dan terukur.

Melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA), Pemkab Banjarnegara menerapkan lima langkah pendampingan korban KDRT untuk memastikan pemulihan menyeluruh secara psikologis, sosial, dan hukum.

“Pendampingan tidak bisa setengah-setengah. Harus menyeluruh, mulai dari psikologi, hukum, pendidikan, rehabilitasi sosial, hingga reunifikasi keluarga,” kata Kepala Dinsos PPPA Banjarnegara, Aditya Agus Satria, Sabtu (12/4/2025).

Tahap pertama, jelas Aditya, adalah pendampingan psikologis. Anak korban kekerasan biasanya mengalami trauma mendalam yang, jika tidak segera ditangani, bisa memperparah kondisi psikis dan menghambat pemulihan lainnya.

BACA JUGA:Seorang Ayah di Banjarnegara Nyaris Habisi Nyawa Anak Kandungnya

BACA JUGA:Polres Banjarnegara Ungkap Kasus Pria Tega Tikam Anak Kandung Sendiri di Banjarnegara

“Kami libatkan tenaga psikolog sejak awal. Trauma pada anak bisa jadi luka yang membekas seumur hidup,” katanya.

Langkah kedua adalah pendampingan hukum, dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mengawal proses peradilan. Menurut Aditya, banyak korban kekerasan enggan bersuara karena tidak tahu harus mengadu ke mana atau merasa tidak punya kuasa secara hukum.

“Pendampingan hukum ini penting. Korban harus tahu, dia tidak sendiri,” tegasnya.

Langkah ketiga di bidang pendidikan, pemerintah menyiapkan opsi pendidikan berbasis asrama (boarding school) yang pembiayaannya ditanggung negara. Tujuannya adalah menjamin keberlanjutan pendidikan korban sekaligus menjauhkannya dari lingkungan yang berpotensi memunculkan trauma ulang.

“Kami ingin memastikan korban tetap bisa menata masa depan. Anak-anak tidak boleh kehilangan haknya karena menjadi korban,” lanjut Aditya.

Tahap keempat adalah rehabilitasi sosial, yaitu proses pengembalian korban ke masyarakat secara aman dan bebas stigma. Proses ini dianggap penting untuk menghindari pengucilan atau penolakan dari lingkungan sekitar.

Jika seluruh tahapan telah dilalui dengan baik, tahap terakhir adalah reunifikasi keluarga. Namun, kata Aditya, hal ini hanya dilakukan jika keluarga terbukti aman dan mendukung proses pemulihan.

“Kami tak ingin korban kembali ke lingkar kekerasan. Jika tidak aman, reunifikasi tidak akan dilakukan,” ujarnya.

Aditya juga menekankan pentingnya peran masyarakat untuk turut serta menjadi pelapor. Ia menyebut laporan masyarakat adalah titik awal intervensi.

Kategori :