Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, juga mendukung usulan ini dengan mempertanyakan efektivitas SKCK sebagai alat seleksi. Ia menilai bahwa manfaat SKCK tidak terlalu signifikan dalam proses rekrutmen dan lebih sering menjadi formalitas administratif.
Menurutnya, penerbitan SKCK juga tidak menghasilkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang besar, sehingga urgensi mempertahankannya perlu dipertanyakan. Ia mendorong Polri dan KemenHAM untuk duduk bersama dan meninjau kembali relevansi SKCK di masa kini.
BACA JUGA:Maju Pilkada Banjarnegara, Sejumlah Kandidat Bakal Calon Wakil Bupati Urus SKCK
BACA JUGA:Musim Nyaleg, Permintaan SKCK di Polres Purbalingga Meningkat
Pro dan Kontra dari Masyarakat
Tentu saja, usulan ini tidak diterima secara bulat oleh semua pihak. Di tengah dukungan terhadap penghapusan SKCK, muncul juga kekhawatiran dari masyarakat dan praktisi industri mengenai keamanan dan transparansi rekrutmen.
Sebagian berpendapat bahwa SKCK masih dibutuhkan untuk menilai latar belakang calon pekerja, terutama untuk posisi yang sensitif seperti di sektor pendidikan, perbankan, atau pemerintahan. Tanpa SKCK, mereka khawatir risiko perekrutan bisa meningkat.
Namun, pihak pendukung penghapusan menyarankan agar latar belakang calon pekerja tetap bisa diverifikasi dengan cara lain yang lebih manusiawi dan tidak mendiskriminasi. Misalnya dengan sistem evaluasi kompetensi, tes psikologi, atau referensi pengalaman kerja.
Ada pula masukan agar penghapusan SKCK hanya berlaku dalam konteks tertentu, seperti untuk pekerjaan informal atau sektor swasta yang tidak memerlukan keamanan tingkat tinggi. Sementara untuk sektor kritis, sistem verifikasi tetap diperlukan namun dilakukan secara lebih adil.
BACA JUGA:Pemohon SKCK Membludak
BACA JUGA:Ini Cara dan Syarat Pembuatan Sekaligus Penerbitan SKCK di Polresta Banyumas, Simak Alurnya
Apa Langkah Selanjutnya?
KemenHAM telah secara resmi mengirimkan surat kepada Kapolri untuk mempertimbangkan usulan ini. Surat tersebut diharapkan menjadi dasar pembahasan lebih lanjut antar lembaga negara terkait.
Polri belum memberikan pernyataan resmi mengenai respons terhadap usulan tersebut. Namun, mereka diharapkan membuka ruang dialog agar tercapai solusi terbaik yang mengakomodasi hak individu tanpa mengabaikan aspek keamanan publik.
Pemerintah juga berencana untuk melibatkan masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (NGO) dalam diskusi ini. Hal ini bertujuan agar suara eks-narapidana dan korban kejahatan sama-sama didengar, sehingga kebijakan yang dihasilkan bersifat inklusif.
Ke depan, jika usulan ini disetujui, maka akan ada revisi regulasi yang mengatur tentang keharusan melampirkan SKCK dalam proses administratif. Revisi ini juga bisa membuka peluang reformasi dalam sistem perekrutan tenaga kerja di Indonesia.
Usulan penghapusan SKCK oleh KemenHAM membuka ruang diskusi penting tentang keadilan, hak asasi manusia, dan peluang kerja yang setara. Bagi sebagian besar orang, SKCK mungkin hanya dokumen formalitas, tapi bagi mantan narapidana, itu bisa menjadi tembok besar penghalang kehidupan baru.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak-hak individu, penting bagi negara untuk mengkaji kembali kebijakan yang bisa menimbulkan diskriminasi sistemik. Langkah ini bukan berarti mengabaikan keamanan, melainkan mencari titik tengah antara keadilan dan perlindungan masyarakat.