FOMO Lari: Olahraga atau Sekadar Ikut Tren?
Humaira Naila Farafisha--
Humaira Naila Farafisha
Mahasiswi Prodi Teknologi Sains Data
Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin
Universitas Airlangga Surabaya
Event lari seperti fun run tengah ramai diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan di berbagai kota. Saat ini hampir setiap bulannya dapat kita jumpai event fun run yang diselenggarakan, entah oleh lembaga pemerintahan, perusahaan, kampus, maupun komunitas. Antusiasme masyarakat dalam mengikuti event fun run pun terlihat dari banyaknya orang mengikuti event lari yang diselenggarakan. Dengan berbagai benefit seperti medali bagi beberapa orang yang memenuhi kriteria, jersey, serta merchandise yang didapatkan menambah daya tarik masyarakat untuk mengikutinya.
Fear of Missing Out atau yang biasa kita kenal dengan sebutan FOMO merupakan perasaaan takut tertinggal dari tren, kegiatan, informasi, ataupun momen momen yang sedang ramai di lingkungan sosial. Fenomena ini juga terlihat dalam dunia olahraga, khususnya lari. Media sosial kini tengah dipenuhi dengan unggahan tentang kegiatan lari mulai dari foto ketika mengikuti event lari hingga catatan jarak dan waktu tempuh yang dibagikan lewat aplikasi seperti strava dan sejenisnya. Berdasarkan pengamatan umum di berbagai komunitas dan tren di platform seperti Instagram serta TikTok, konten bertema lari meningkat dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa aktivitas ini memang sedang naik daun. Meskipun tidak semua orang lari karena FOMO, kondisi tersebut tetap menciptakan dorongan tersendiri bagi sebagian orang untuk ikut berlari agar tidak merasa tertinggal.
Bahkan kini muncul jasa joki Strava, yaitu layanan di mana seseorang berlari (penjoki) menggantikan pemilik akun agar si pemilik akun tersebut dapat mengunggah capaian Stravanya supaya tampak produktif, meski capaian tersebut bukan hasil dirinya sendiri. Munculnya jasa seperti ini menunjukkan bahwa sebagian orang lebih memedulikan bagaimana aktivitas mereka terlihat di dunia digital, sehingga aspek keaslian usaha fisik kadang kurang diperhatikan. Selain itu, semakin banyak pula orang yang menonjolkan perlengkapan lari bernilai mahal, seperti sepatu premium, smartwatch terbaru, atau pakaian olahraga bermerek, yang terkadang lebih berorientasi pada pencitraan dibandingkan fungsi.
Meskipun tren menjadi salah satu pemicunya, maraknya FOMO lari juga memberikan sejumlah dampak positif. Banyak orang yang akhirnya terdorong untuk mulai berolahraga, bergerak lebih rutin, dan memperhatikan kesehatan tubuh mereka. Berbagai acara fun run yang semakin sering diadakan pun menjadi wadah berkumpulnya peserta, memperluas pertemanan, dan menciptakan pengalaman berlari yang lebih menyenangkan. Konten lari di media sosial meski kadang bernuansa pencitraan sering kali berhasil memotivasi orang lain untuk mencoba membangun kebiasaan hidup sehat.
Namun, tren ini juga membawa sejumlah konsekuensi yang perlu diperhatikan. Ketika seseorang berlari semata-mata untuk terlihat mengikuti tren atau tampak produktif, tujuan utama berolahraga bisa menjadi hilang. Kehadiran jasa joki Strava menunjukkan bahwa dorongan untuk membangun citra kadang membuat sebagian orang memilih cara instan, hingga aspek keaslian usahanya kurang diprioritaskan. Selain itu, gaya hidup hedon dalam lari juga dapat menimbulkan tekanan sosial dan gaya hidup konsumtif.
Fenomena FOMO lari menunjukkan bagaimana mudahnya kita terbawa arus tren tanpa sadar mempertanyakan apakah itu benar-benar selaras dengan kebutuhan diri. Karena itu, penting untuk sesekali berhenti sejenak dan menilai apakah kita berlari karena benar-benar menikmati prosesnya, atau sekadar ingin terlihat mengikuti perkembangan?
Lari tidak harus menjadi ajang pembuktian. Setiap orang punya ritme, tujuan, dan kenyamanan masing-masing. Tidak ada yang salah jika seseorang berlari untuk kesehatan, untuk melepas stres, atau bahkan hanya untuk bersenang-senang. (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

