Aritmia, Pembunuh Sunyi yang Sebabkan Henti Jantung

Aritmia, Pembunuh Sunyi yang Sebabkan Henti Jantung

Aritmia, pembunuh sunyi yang sebabkan henti jantung. Pernah dengar kasus yang biasanya dialami oleh para atlet yang tengah bertanding atau seseorang yang sedang melakukan olahraga berat. Mereka bisa mengalami henti jantung, jatuh, dan meninggal dunia secara singkat jika mengalami kesalahan penanganan. Pernah dengar kasus seseorang yang mengalami henti jantung secara tiba-tiba lalu meninggal dunia? Bisa jadi mereka terkena aritmia. Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Konsultan Aritmia dan Intervensi dari Mayapada Hospital Surabaya dr. Rerdin Julario, SpJP(K) mengatakan aritmia ialah gangguan sistem kelistrikan jantung. Seperti diketahui, denyut jantung dikendalikan oleh sistem kelistrikan sehingga dapat berdenyut dengan irama yang teratur. “Gangguan itu menyebabkan denyut jantung menjadi lebih lambat (bradikardi), lebih cepat (takikardi), atau tidak beraturan,” ujarnya, dilansir dari Antara, Selasa (31/5). Normalnya, jantung akan berdenyut 60-100 kali per menit. Ketika tidak berdenyut dengan normal, jantung tidak dapat memompa darah sebagaimana mestinya dan mengakibatkan gangguan asupan darah ke organ tubuh lainnya. https://radarbanyumas.co.id/thalasemia-mayor-banyumas-tertinggi-di-jateng/ Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan organ penting lainnya. Gejala aritmia dapat berbeda-beda untuk setiap orang tergantung dari jenis aritmia yang dialami. Aritmia, pembunuh sunyi yang sebabkan henti jantung. “Biasanya, gejala awal yang muncul ialah jantung berdebar (palpitasi), nyeri dada, sesak nafas, mudah lelah, keringat dingin, dan rasa akan pingsan,” ungkapnya. Menurut Rerdin, aritmia biasanya muncul saat olahraga, stress atau setelah terpapar kafein, nikotin dan obat-obatan tertentu. Aritmia juga dipengaruhi oleh faktor risiko lain seperti memiliki penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, hipo/hipertiroid, penyakit jantung bawaan, dan faktor genetik. “Selain itu, aritmia juga meningkatkan risiko seseorang mengalami stroke 4-5 kali lebih besar dibanding yang tidak mengalami,” tuturnya. Untuk mendiagnosa aritmia, dokter akan mengevaluasi gejala dan riwayat medis pasien melalui pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti Elektrokardiografi (EKG), Treadmill Test, Holter Monitor, dan Electrophysiology Study (EP Study). Rerdin memamaparkan EP Study merupakan golden standard untuk mendiagnosa aritmia. Dengan pemeriksaan itu, dapat dipetakan aktifitas listrik jantung sehingga titik penyebab gangguan kelistrikan jantung dapat diketahui. “Berdasarkan hasil EP Study dapat ditentukan jenis aritmia dan terapi yang dibutuhkan untuk mengembalikan irama jantung normal,” paparnya. (ant)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: