Syamsuhadi Irsyad: Menggerakkan Tanpa Memerintah

Syamsuhadi Irsyad: Menggerakkan Tanpa Memerintah

Oleh : Dr AnjarNugroho MSI MHI Rektor UMP (2019-2023) "Hanya ada satu cara ... untuk membuat setiap orang melakukan apapun. Dan cara itu adalah dengan membuat orang tersebut ingin melakukannya," Dale Carnegie Seorang pemikir dan penulis manajemen hebat, Peter Drucker, sebagaimana ditulis oleh Dale Carnegie, dalam bukunya, Enhance Your Life By Becoming an Effective Leader, menyatakan: "Sebagian besar dari apa yang kita sebut manajemen terdiri dari hal-hal yang membuat orang sulit mengerjakan pekerjaan mereka". Mengapa bisa demikian? Drucker menjelaskan, banyak orang pada posisi pemimpin atau manajer menghadapi karyawan seakan-akan mereka adalah robot atau alat otomatis, mengharap mereka mengikuti prosedur dengan tepat serta tidak menggunakan inisiatif, kreativitas, dan kekuatan otak mereka sendiri ketika bekerja. Para pemimpin begitu terpatok untuk mengikuti peraturan, regulasi, prosedur dan rutinitas, sehingga mereka mengabaikan potensi setiap orang yang bekerja di bawah kepemimpinan mereka. Inilah pemimpin yang akan sulit mengembangkan organisasi karena unsur-unsur dalam organisasi itu tidak berkembang secara humanistik, tapi cenderung mekanik. Akan ada banyak keterpaksaan yang dilakukan oleh sebagian orang dalam melaksanakan perintah-perintah kepemimpinan. Berbeda dengan apa yang dikatakan Dale Carnegie sebagai pemimpin sejati. Pemimpin yang demikian memberdayakan orang-orang mereka, bukan mematikan kreativitas mereka. Pemimpin mendorong krativitas dengan cara mengumpulkan gagasan-gagasan orang, baik secara informal melalui kontak sehari-hari maupun secara formal dalam rapat atau kegiatan serupa. Inilah pemimpin yang banyak mendengar daripada memerintah, pemimpin yang banyak mendorong orang untuk mengeluarkan banyak ide kreatif dan melaksanakan idenya sendiri itu dengan sukarela. Kurang lebih dua belas tahun bersama bapak Syamsuhadi Irsyad, delapan tahun diantaranya mendampingi beliau sebagai wakil Rektor memberikan cacatan tersendiri. Apa yang secara teoritik disampaikan Dale Carnegie di atas, secara faktual muncul dalam keseharian beliau sebagai Rektor. Pemimpin yang dituntut untuk menggerakkan seluruh potensi dan kekuatan dalam universitas, beliau lakukan dengan tidak memberi perintah langsung. Yang disentuh oleh beliau adalah kesadaran individu masing-masing komponen untuk bergerak, sehingga kami dalam melakukan sesuatu, apapun itu, merasa sangat ringan dan tanpa beban. Menggerakkan tanpa memberi perintah seolah telah menjadi bagian yang menyatu dalam gaya kepemimpinan beliau. Kata-kata "silakan saja" setiap kali kami memberi usulan dan saran kepada beliau bukan sekedar kata basa-basi, tapi secara tidak langsung inilah pendelegasian tugas yang efektif, sehingga siapapun yang mendapat arahan "silakan saja" dari beliau, memperoleh energi yang besar untuk melaksanakan tugas sesuai yang diusulkan atau disarankan. "Silakan saja" itu maknanya bagi kami adalah kami mendapat kepercayaan untuk melaksanakan tugas karena kami dianggap mampu dan bertanggungjawab. Sebagian orang mungkin awalnya salah faham dengan kebiasaan beliau mengatakan "silakan saja". Seolah beliau dianggap pimpinan yang selalu mengikuti usul apapun atau pimpinan yang tidak punya pendirian. Tapi di sinilah poin tertinggi dalam ranah kepemimpinan, banyak mendengarkan dan mendelegasikan. Siapapun orangnya akan melakukan apa saja dengan senang hati jika apa yang dilakukan itu adalah berasal dari usul dia. Berbeda keadaan jika yang terjadi adalah pimpinan banyak memberi perintah, hampir bisa dipastikan siapapun yang mendapat perintah, apalagi dengan kata-kata yang instruktif, akan melaksanakan perintah dengan setengah hati. Perintah yang dilaksanakan dengan setengah hati hasilnya tentu tidak maksimal. Mengutip pendapatseorang ahli tentang kemimpinan, Hildan Carol, bahwa seorang pemimpinan adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendorong sejumlah orang untukbekerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah (mencapai tujuan bersama). Dari pengertian ini dan berdasarkan implementasinya di lapangan akan terlihat dua dimensi fungsi yaitu: pertama, dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan dalam mengarahkan (direction ability), dan kedua, berkenaan tingkat dukungan atau support atau keterlibatan orang yang dipimpin. Dimensi dalam direction ability dapat dilihat pada kemampuan pemimpin untuk mendorong orang lain agar bekerja. Sementara dimensi support bawahan (dukungan dari orang yang dipimpin) sangat berguna dalam melaksanakan tugas pokok dan ini terlihat dari bentuk kerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah demi mencapai tujuan bersama. Dalam operasionalnya bahwa dimensi kepemimpinan akan terlihat dalam bentuk fungsi dari seorang pemimpin. Beberapa fungsi pokok dari kepemimpinan adalah: 1) fungsi instruktif (memberi perintah), 2) fungsi konsultatif(tempat bertukar pendapat), 3) fungsi partisipatif (pemberian kontribusi untuk mencapai tujuan), 4) fungsi delegasi (pelimpahan beberapa kewenangan kepada anggota) dan, 5) fungsi pengendalian. Strategi adalah langkah-langkah khusus untuk mencapai sasaran. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi untuk mencapai sasarannya. Sekali lagi menurut Carol, bahwa seorang pemimpin perlu peduli untukmembangun "keterpautan (jembatan) hati" antar sesama anggota. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi yang tepat untuk mewujudkan tujuan organisasi. Kesalahan dalam menempatkan strategi akan menimbulkan kegagalan dalam memimpin. Dari berbagai pengalaman kami sendiri dalam berorganisasi, baik semasa aktif di organisasi saat pelajar/mahasiswa maupun saat menjabat struktural di UMP mulai dari Pembantu Dekan, sampai Wakil Rektor, bahwa "pemimpin yang lebih dominan menggunakan" fungsi instruktif, yaitu serba gemar memerintah "tolong kerjakan ini", tolong kerjakan itu, jangan lakukan ini" dan jangan lakukan itu" ketimbang menggunakan fungsi konsultatif, fungsi partisipatif serta fungsi delegatif, cenderung membuat dia menjadi pemimpin bergaya otoriter. Dan ini adalahtipepemimpin yang tidak memberdayakan, tetapi pemimpin yang mengkerdilkan. Pak Syamsu mungkin saja belum pernah membaca teori kepemimpinannya Hildan Carol, tetapi apa yang ada dalam pikiran Carol sudah dilakukan oleh pak Syamsu dalam keseharian memimpin. Kepemimpinan yang nyaris tanpa memberi perintah. Tidak ada kata-kata "tolong kerjakan ini... kerjakan itu ...." Yang selalu ada hanya satu dan itu mengandung kekuatan magic yang luar biasa "silakan saja..." Apa yang saya tulis tentang beliau bukan kata-kata bualan, dan tidak ada dalam pikiran sekedar ingin membuat semacam pencitraan atas diri beliau. Tanpa perlu dicitra-citrakan beliau akan tetap punya citra positif, bukan dari pujian orang tapi muncul dari keluhuran beliau sendiri. Pengalaman kepemimpinan yang panjang, baik dari jalur perguruan tinggi maupun karir kehakiman menorehkan sejarah positif dalam setiap tahap kepemimpinan yang beliau lalui. Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang nampak seperti sekarang ini, dengan 13 ribu mahasiswa dan 41 program studi baik diploma, sarjana maupun pascasarjana yang sebagiannya terakreditasi A, menempatkan UMP sebagai perguruan tinggi swasta terkemuka paling tidak di Jawa Tengah adalah berkat tangan dingin beliau dalam memimpin. Kami sebagai bagian dari payung besar kepemimpinan beliau tanpa perlu kata-kata instruktif beliau, bergerak dan terus bergerak tanpa lelah karena bukan sesuatu yang melelahkan karena kami bergerak sejalan dengan keinginan hati kami masing-masing. Pernah suatu saat ketika proses pendirian 5 prodi S2 (Pendidikan Dasar, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Inggris, Magister Manajemen dan Farmasi) menghadapi kendala di kementerian Ristekdikti, kami menghadap beliau. Kalau melihat persoalan sepertinya kami sudah mentok karena yang menjadi kendala adalah sesuatu yang sangat krusial. Kami sebenarnya tidak menghadap dalam rangka meminta saran, tapi justru ingin melapor soal kendala dan berniat ingin mengurungkan niat untuk melanjutkan proses pendirian prodi-prodi itu, sekali lagi karena kendala yang dihadapi menurut kami "sangat krusial". Seperti biasa beliau menyimak dengan penuh perhatian penjelasan-penjelasan kami tanpa perlu memotong setiap kami berkata-kata. Pandangannya penuh perhatian seakan tidak ingin ada kata-kata kami yang tidak beliau dengar dan fahami. Sebenarnya tidak hanya kali ini beliau bersikap seperti itu, bertahun-tahun kami bersama beliau, sikap yang demikian itulah yang selalu beliau tunjukkan. Kebiasaan mendengar penuh perhatian dan tidak pernah memotong pembicaraan adalah ciri pemimpin sejati yang selalu memandang orang lain adalah "penting". Memotong pembicaraan adalah seolah ingin mengatakan bahwa apa yang akan dikatakan itu lebih penting daripada apa yang sedang disampaikan orang lain, dan ini tidak pernah dilakukan oleh beliau. Selesai kami memberi laporan beliau tidak segera menanggapi,tetapi diam sejenak.Mungkin beliau perlu waktu untuk mencerna dan menangapi apa yang kami sampaikan. Beliau pandang wajah kami satu-satu, dan kami pun larut dalam suasana yang cukup serius itu. Setelah menarik nafas panjang kemudian beliau berkata, "Terima kasih kepada Pak Anjar dan tim yang telah bekerja. Kendala itu bisa muncul dalam setiap pekerjaan. Yang penting jangan putus asa. Silakan saja Pak Anjar lanjutkan atau tidak pekerjaan ini. Kalau mau lanjut saya yakin Pak Anjar dan tim bisa melakukannya...". Tidak ada kata perintah melanjutkan atau menghentikan, tetapi yang muncul kata ampuh "silakan saja". Kata itu ibarat sebuah energi yang sangat besar untuk kami kembali bekerja dan berusaha sampai cita-cita pendirian 5 prodi S2 itu terwujud. Tidak sekedar energi yang muncul tetapi pikiran yang sebelumnya mentok menjadi encer kembali dan menemukan titik-titik terang jalan keluar. Alhamdulillah dalam beberapa bulan kemudian 4 prodi turun SK pendiriannya (Pendidikan Dasar, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Inggris, Magister Manajemen), kemudian menyusul satu tahun kemudian SK pendirian S2 farmasi turun. Sungguh kata "silakan saja" yang sangat ampuh. Itulah beliau, bapak Syamsuhadi Irsyad, orang tua kami, guru kami, mentor kami, dan pemimpin kami. Filosofi "silakan saja" telah menggerakkan seluruh potensi UMP untuk maju tanpa ada satu pun kata perintah. Beliaulah sosok pemimpin sejati sebagaimana gambaran Peter Drucker, Dale Carnegie maupun Hildan Carol, MENGGERAKKAN TANPA MEMERINTAH. (*) Tegal Sari Indah, Mei 2019

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: