Kebijakan Full Day School Tidak Bisa Disamakan di Semua Sekolah

Kebijakan Full Day School Tidak Bisa Disamakan di Semua Sekolah

PURWOKERTO - Lemparan wacana full day school oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memantik beragam tanggapan. Namun satu yang mengemuka, tak semua sekolah siap melaksanakan jam sekolah mulai pukul 07.00-17.00 itu. Pakar pendidikan dari IAIN Purwokerto, Dr Fauzi MAg mengatakan, ada tiga realita yang perlu dikaji jika full day school itu diterapkan di Indonesia. Ketiganya yakni soal realitas sosiologis, realitas geografis, dan realitas ekonomi. siswa-SD Dari realitas sosiologis, Indonesia memiliki aneka ragam dan budaya. Sementara pada sisi ekonomi, kebijakan sekolah seharian itu berdampak kepada peningkatan kebutuhan. Sedangkan dari segi geografis, sekolah Indonesia, khususnya di Banyumas itu keberadaannya tersebar di desa dan di kota. "Ada siswa yang rumahnya jauh dari sekolah, bahkan ada yang harus jalan kaki berjam-jam," kata Fauzi, Selasa (9/8). Menurut dia, kebijakan tersebut tidak bisa disamakan di semua daerah. Untuk kota besar seperti Jakarta, mungkin bisa seperti itu, tapi kalau untuk daerah-daerah ada model lain yang bisa dikembangkan untuk pembentukan karakter anak. "Saya setuju dengan pembentukan karakter, tetapi karakter itu tidak boleh diseragamkan modelnya. Karena tantangan dan problemnya beda. Sama halnya di Banyumas, ada Lumbir, Tambak, Sumpiuh, Ajibarang, Kedungbanteng. Bagaimana anak-anak yang sekolah di Purwokerto? Banyak pertimbangan seperti, angkutannya, keamananan di jalannya, haruskah mereka kos di Purwokerto semua," ujar Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan itu. Selain itu, dari sisi agama juga perlu dipertimbangkan. Ada anak-anak yang sore harus ngaji di TPQ. Dan jika ini diterapkan, dipastikan banyak lembaga pendidikan agama yang mati. "Jika jadi diterapkan di SD dan SMP, ini nanti TPQ bisa sepi," katanya. Kemudian dari sisi psikologis, lanjut dia, ini yang paling mendasar. Anak-anak membutuhkan waktu untuk istirahat dalam suasana yang rileks dan tenang. Bagaimana kalau dari pagi sampai sore harus berada di sekolah? Lalu kapan dia santai dan bersosialisasi di lingkungan? "Mungkin kalau di kota-kota besar dengan ruang publik dan bermain yang terbatas, bisa saja diterapkan. Tetapi kalau orang-orang desa atau kampung, justru bermainnya di lapangan, sawah dan kebun. Full day school bagi mereka akan merampas keriangan di masa kanak-kanak," ungkapnya. Dia juga mengkritisi dari dari sisi fasilitas pendidikan. Pemerintah perlu melihat apakah sekolah-sekolah di Indonesia sudah memiliki fasilitas dan sumber daya yang memadai atau belum. Selain itu, apakah ada ruang untuk istirahat siang dengan baik atau tidak. Termasuk juga tempat bermain dan tempat olah raga yang memadai untuk relaksasi agar anak tidak jenuh. HL wajah---Foto Pakar Pendidikan Dr. Fauzi M.Ag Pakar Pendidikan Dr. Fauzi M.Ag "Belum lagi soal guru, coba bayangkan kapan mereka punya waktu dengan keluarganya? Kapan dia punya waktu untuk beraktivitas sosial di masyarakat kalau harus mengajar dari pagi sampai sore? Harus menyiapkan materi untuk ngajar dan mengembangkan profesinya," ujarnya. Untuk itu, dia mengatakan, pemerintah tidak harus membuat penyeragaman tentang sistem layanan pendidikan. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat model-model yang bisa dipilih oleh satuan pendidikan untuk diterapkan dan yang menurutnya paling tepat. "Solusi terbaik pemerintah tidak usah mengatur harus seragam. Tetapi membangun pilihan model pendidikan untuk membangun generasi masa depan yang berkarakter. Jadi full day school adalah alternatif pendidikan yang ditawarkan. Bisa diterapkan jika kondisinya memungkinkan," sarannya. Sementara, Kepala SMAN 2 Purwokerto, Tohar mengatakan, pihaknya belum memahami betul konsep wacana full day school tersebut. Dia menyatakan belum dapat memberikan komentar baik dan buruknya full day school itu untuk siswa. "Perlu dipelajari lagi konsepnya, dan istilah full day school juga bukan berarti seharian belajar di sekolah, kan bisa saja diselingi dengan kegiatan lainnya," kata Tohar. Sedangkan dari SD Al Irsyad I Purwokerto yang sudah menerapkan full day school sejak tahun 2000, tentu tidak merasa keberatan dengan wacana Mendikbud tersebut. Kepala SD Al Irsyad 1 Purwokerto Sudrajat mengatakan, dengan adanya full day school, akan banyak manfaat yang diperoleh siswa seperti melatih kemandirian, perilaku siswa terpantau baik oleh guru, dan menumbuhkan jiwa sosial antar teman. "Seharian di sekolah juga menggunakan metode pembelajaran yang tidak serius. Saat proses kegiatan belajar mengajar, guru juga selalu mengajak siswa untuk aktif," ujarnya. Dalam waktu pembelajaran, tidak diseragamkan pulangnya. Untuk siswa kelas satu dan dua hanya setengah hari hingga pukul 13.00, dan kelas tiga hingga enam mengakhiri kegiatan belajar hingga 14.30. "Dan sebelum melakukan kegiatan belajar, para siswa ditanamkan perasaan senang terlebih dahulu," pungkasnya. Full day school itu juga mengundang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) buka suara. Ketua KPAI Asrorun Ni'am Sholeh meminta wacana tersebut dikaji kembali sebelum diimplementasiskan. Banyak alasan yang mendasari permintaan kaji ulang tersebut. Pertama, tentunya soal kajian program full day school ini. Menurutnya, hingga kini belum ada kajian matang soal konsep pendidikan tersebut. Sehingga, bila langsung diterapkan dikhawatirkan justru merugikan anak. Asrorun mengaku paham betul bila rencana kebijakan ini mencuat atas pertimbangan kondisi orang tua yang sibuk bekerja. Namun, menurutnya, hal itu tidak bisa digeneralisasikan hingga akhirnya harus merubah jadwal aktivitas anak. Karena, pada kenyataannya tidak semua orang tua bekerja di luar rumah. Selain itu, penerapan suatu program sejatinya harus diikuti dengan perbaikan yang memadai. Bukan hanya dengan "mengandangkan" anak di sekolah tanpa perbaikan sistem pendidikan, yang menjadikan lingkungan sekolah ramah anak. Bila tidak, kebijakan ini malah akan menyebabkan potensi timbulnya kekerasan di lingkungan sekolah. "Karenanya kebijakan pendidikan apalagi yang bersifat nasional tidak bisa didasarkan pengalaman orang perorang. Tidak boleh hanya berdasar kepada pengalaman pribadi. Selain itu, setiap anak memiliki kondisi berbeda-beda yang tidak bisa disamaratakan,” ujarnya di Jakarta, kemarin (9/8). Kedua, terkait interaksi sosial anak. Menurutnya, menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah bisa jadi malah mengganggu intensitas interaksi anak. Bahkan, dikhawatirkan bisa berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak. Pasalnya, anak yang butuh interaksi dengan lingkungan rumah dan keluarga justru berada lebih lama di sekolah. "Kondisi anak tidak bisa disamaratkan.Ddalam kondisi tertentu, anak jangan lama-lama di sekolah. Seperti anak kelas 1 SD, harus segera pulang agar cepat berinteraksi dengan orang tua," ujarnya. Diakui Asrorun, soal waktu belajar seharian di sekolah ini memang ada sisi positifnya. Pihaknya pun mendukung, asal ini tidak dipaksakan pada semua sekolah. Sehingga orang tua diberi keleluasaan untuk memilih. "Intinya, untuk menjawab permasalahan anak, perbaikan kebijakan harus berporos pada anak," tegasnya. (why/ely/wan/via/dis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: