Teroris Ancam Bali

Teroris Ancam Bali

Pemerintah dan DPR Sepakat Rombak UU Teroris JAKARTA – Pasca aksi teror berdarah di Plasa Sarinah, terjadi ekskalasi ancaman aksi terorisme di Pulau Dewa, Bali. Pelaku teror juga mengancam akan meledakkan pusat perbelanjaan di Bali. Namun, Polri tidak tinggal diam dan berupaya menggagalkan aksi teror di pulau dewata tersebut. Ancaman teror itu bermula pada Senin (18/1), ancaman yang diterima berupa surat yang dikirim ke kantor Kecamatan Kubutambahan Buleleng dan kantor Desa Kalibukbuk Singaraja. Seorang lelaki menggunakan sepeda motor mengantarkan sebuah surat yang isinya akan meledakkan pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan, dan tempat wisata. Kadivhumas Polri Irjen Anton Charliyan menuturkan, dalam surat ancaman tersebut, pengancam mengaku juga terlibat dalam aksi yang terjadi di Plasa Sarinah. ”Isi suratnya begini, kami jaringan yang beraksi di Plasa Sarinah Jalan Thamrin sudah sampai ke Bali,” paparnya. Dalam kondisi pasca aksi teror, ancaman semacam itu tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, kalau ada yang main-main dengan ancaman teror saat kondisi pasca aksi teror mengerikan, tentunya orang itu tergolong sangat nekat. ”Kondisi ini tentunya membuat kami menduga ancaman ini serius,’ jelasnya. Di luar kemungkinan ancaman itu hanya main-main, Polri berupaya sekuat tenaga untuk mengagalkan rencana aksi teror. Penyelidikan mendalam telah dilakukan untuk mengetahui siapa orang yang mengantar surat ancaman tersebut. ”Belum diketahui dengan pasti siapa pengirim surat, namun pasti secepatnya akan diketahui,” paparnya. Keseriusan Polri mencegah aksi teror kian kuat, pasalnya korps Bhayangkara itu menerjunkan tim khusus untuk rencana aksi teror di Bali. ”Tim khusus ini untuk membongkar secepat-cepatnya siapa yang mengancam dan apakah benar ancaman ini serius. Kami pastikan akan menggagalkan aksi teror tersebut,” tuturnya. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti juga telah berupaya melakukan teleconference untuk memberikan instruksi dalam menangani ancaman aksi teror tersebut.  Anton menjelaskan bahwa Kapolri telah menginstruksikan agar setiap sektor meningkatkan kewaspadaan. Polda, Polres, hingga Polsek harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk mendeteksi adanya aksi teror. ”Masalah terorisme tidak bisa hanya dibebankan pada pundak Densus 88 Anti Teror, semua harus terlibat,” ujarnya. Anton mengatakan, rencana aksi teror tidak akan bisa digagalkan bila tanpa bantuan masyarakat. Tentunya, bila masyarakat mengetahui ada hal yang mencurigakan bisa segera melapor. ”Tanpa keaktifan masyarakat, memerangi terorisme akan sia-sia,” papar jenderal berbintang empat tersebut. Sementara Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menuturkan hingga kini pihaknya masih memeriksa  belasan orang yang telah ditangkap karena diduga terlibat aksi teror Plasa Sarinah. Namun, untuk membuktikan bahwa para terduga pelaku teror itu terlibat cukup sulit. ”Selama belum ada bukti yang kuat, kami belum bisa menjelaskan secara detil,” ujarnya. Yang pasti, indikasi bahwa para terduga pelaku teror ini memang terlibat aksi di Plaza Sarinah. Ada beberapa yang terkait langsung dengan aksi teror, ada pula yang tidak terkait langsung. Namun, ada hubungannya dengan aksi teror tersebut. ”Memang banyak yang tidak terkait, tapi setidaknya mengetahui,” jelasnya. Langkah konkrit lain agar pemberantasan terorisme kian digdaya, Polri meminta agar revisi undang-undang antiterorisme yang dipercepat memuat sejumlah masalah. Di antaranya, penambahan masa penahanan, kewenangan menangkap orang yang angkat senjata di luar negeri dan laporan intelijen yang bisa digunakan sebagai barang bukti. ”Harapannya, kekurangan ini bisa ditutupi dalam revisi tersebut,” ujarnya. Untuk penambahan masa penahanan, saat ini seorang terduga pelaku teror hanya bisa ditahan selama tujuh hari untuk bisa menentukan apakah terlibat atau tidak dengan sebuah aksi teror. ”Waktu tujuh hari itu terbilang sangat minim dibanding dengan kompleksitas atau kerumitan  kasus terorisme,” jelasnya. Penangkapan terhadap orang Indonesia yang berperang di luar negeri juga sangat diperlukan. Saat ini Polri belum bsia berbuat apa-apa bila ada orang yang pulang ke Indonesia, setelah berperang. ”Padahal, potensi untuk melakukan aksi teror di Indonesia tinggi untuk yang seperti ini,” terangnya. Terakhir soal data intelijen menjadi bukti, tentu juga diperlukan. Jika, perlu aturan ini bisa diuji terlebih dahulu untuk memastikan keefektifitasannya. ”Kalau data intelijen efektif menjerat pelaku, tentu diperlukan,” paparnya. Niat pemerintah merevisi Undang-Undang Terorisme sudah bulat. Kemarin (19/1), upaya untuk semakin mengefektifkan penanganan tindak terorisme di tanah air itu, telah secara formal dimulai. Yaitu, dengan mengundang para pimpinan lembaga negara untuk diajak ikut urun rembug menyelesaikan salah satu masalah fundamental terkini yang dihadapi Indonesia. ”Alhamdulillah semua pimpinan-pimpinan lembaga negara menyambut baik,” tutur Presiden Jokowi, setelah pertemuan, di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Meski demikian, presiden menegaskan, bahwa pembicaraan menyangkut rencana revisi UU Terorisme tersebut baru awal. ”Di semua lembaga negara kan ada proses, pada saat kami bertemu lagi sudah bisa memutuskan,” ujar Jokowi. Presiden menambahkan sejumlah poin agenda revisi sempat muncul dalam pertemuan. Salah satunya, dia mengakui, menyangkut langkah preventif yang bisa dilakukan pemerintah dan aparat, atas fakta tentang kelompok masyarakat yang telah pulang kembali ke tanah air dari Suriah. Hingga saat ini, belum ada payung hukum untuk menangani mereka-mereka yang diduga telah bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) tersebut. Misalnya, tentang wacana perlunya mencabut kewarganegaraan dan paspor mereka sebagaimana yang kerap digulirkan kementerian hukum dan HAM selama ini. ”Tadi poin-poinnya sudah dirangkum semuanya, tetapi akan diolah di lembaga-lembaga negara yang terkait dengan itu dulu. Sehingga, nanti betul-betul detil dan tidak ada yang tercecer satupun,” tegas Presiden Jokowi. Pertemuan tersebut di antaranya diikuti Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Ade Komarudin, dan Ketua DPD Irman Gusman. Hadir pula, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis, dan Wakil Ketua MA Suwardi. Jika jadi bergulir, rencana revisi UU Terorisme tersebut akan bersinggungan langsung dengan kalangan DPR. Ketua DPR Ade Komarudin salah satu yang sempat mengusulkan agar pemerintah tidak perlu mengambil jalan panjang dengan mengajukan revisi UU Terorisme. Dengan pertimbangan kepentingan yang memaksa. Menurut dia, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Ditemui usai pertemuan, Ade masih cenderung pada opsi perppu. Meski, dia juga tiga berkeberatan opsi revisi UU yang dipilih pemerintah. ”Yang jelas, dewan dua-duanya (revisi atau perpu, Red) oke,” kata Ade. Menyangkut poin-poin yang akan dan perlu direvisi, dia menolak membeberkan. Dia hanya menyatakan kalau pertemuan belum membahasnya secara detil. Pertemuan baru sebatas menemukan pemahaman bersama agar ada perluasan terkait upaya pencegahan tindak terorisme.  ”Detailnya nanti, tidak dibahas di situ,” tambah politikus Partai Golkar tersebut. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan kalau agenda revisi sebatas untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan langkah pencegahan dan penindakan terorisme saja. Karena itu salah satu yang terpenting, menurut dia, adalah penyempurnaan aturan terkait koordinasi pihak-pihak terkait. Mulai dari Badan Intelijen Negara (BIN), intelijen kepolisian, Badan Intelijen Strategis TNI, imigrasi, bea cukai, hingga kejaksaan. ”Jangan nanti BIN punya pasukan sendiri, atau BIN punya senjata lengkap dan bisa turun ke jalan, saya kira tidak begitu,” beber Tjahjo. Terkait perdebatan perppu atau revisi UU, menurut dia, revisi UU masih menjadi pilihan yang logis untuk ditempuh. Dia meyakinkan kalau revisi UU Terorisme hanya akan mengubah atau menambah sejumlah kecil pasal. ”Menurut saya, perppu itu jangan diobral, kalau mau serius, dua atau tiga hari selesai,” tandas mantan sekjen DPP PDIP tersebut. Rencana pemerintah merevisi UU Terorisme ditanggapi positif Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Ma’ruf Amin menyatakan, jika semangatnya adalah memperkuat pencegahan atau antisipasi tindak terorisme, maka MUI mendukung. ”Kalau seperti itu, kami setuju,” ujarnya saat ditemui di Kantor Wakil Presiden kemarin (19/1). Ma’ruf yang datang untuk melaporkan hasil Munas dan Rakernas MUI kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah memang perlu memperkuat upaya pencegahan, bukan mengedepankan kekerasan dalam menangangi kelompok yang diduga terlibat jaringan teroris. ”Jadi jangan sampai baru terduga (teroris) sudah ditembak. Kalau seperti itu, kami tidak setuju,” katanya. Terkait permintaan pemerintah agar tokoh agama ikut terlibat dalam penanganan terorisme, Ma’ruf menyatakan pihaknya siap menindaklanjuti permintaan Wapres agar MUI menghidupkan kembali Tim Penanggulangan Terorisme yang sudah lama tidak aktif. ”Tujuannya untuk deradikalisasi,” ucapnya. Menurut Ma’ruf, MUI sebenarnya sudah mengeluarkan fatwa terkait kegiatan terorisme yang menjadi landasan pembentukan Tim Penanggulangan Terorisme. ”Namun ketika pemerintah membentuk badan khusus yang menanggulangi terorisme (BNPT, Red), MUI tidak dilibatkan lagi secara institusi,” katanya. Selama ini, kata dia, MUI tetap melakukan kegiatan dalam konteks pencegahan terorisme seperti melalui penerbitan buku, edukasi ke pesantren atau kelompok pengajian, hingga diskusi dengan pihak-pihak yang paham jihad diduga terkontaminasi dengan radikalisme. ”Untuk itu, MUI akan mencetak 500 -1.000 dai untuk mendukung gerakan deradikalisasi,” ucapnya. (dyn/owi/idr/end)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: