Di Semarang, 70 Persen Pemohon Dispensasi Kawin Siswi SMK, Pernikahan Anak Meningkat, Mayoritas karena Hamil D

Di Semarang, 70 Persen Pemohon Dispensasi Kawin Siswi SMK, Pernikahan Anak Meningkat, Mayoritas karena Hamil D

Grafis: Ibnu Fiqri/Jawa Pos Radar Semarang Panitera Muda Pengadilan Agama Semarang Junaidi mengungkapkan, dari sekian banyak permohonan dispensasi kawin yang ditangani, mayoritas masih berstatus siswi SMK. Jumlahnya mencapai 70 persen. “Apa mungkin karena pendidikan agamanya kurang ya,” duganya kepada jawapos Radar Semarang. https://radarbanyumas.co.id/kasus-putus-sekolah-dan-perkawinan-anak-meningkat/ Junaidi menambahkan, setiap mengajukan permohonan dispensasi kawin, bukan hanya calon pengantin yang akan menjalani sidang. Namun wali dari kedua belah pihak juga dihadirkan dalam sidang. Sebab, memutuskan untuk memberikan persetujuan menikah bukan perkara mudah. Wali ikut bertanggungjawab dalam persoalan nafkah, keharmonisan, dan lain-lain. “Mereka kan masih anak-anak, pikirannya belum matang. Jadi harus didampingi. Makannya nanti bagaimana? Tinggalnya di mana? Suasana rumah tangganya seperti apa? Wali harus ikut bertanggungjawab, jangan sampai datang lagi ke sini mengurus perceraian,” tegasnya. Staf Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Ninik Jumonita menjelaskan, terdapat beberapa penyebab pernikahan dini. Pertama, kata dia, orangtua belum menjalankan fungsi dan peran keluarga secara maksimal. Hingga anak terlibat pergaulan bebas dan terjadi kehamilan. https://radarbanyumas.co.id/polisi-cari-pelaku-pembuang-bayi-di-pekaja-kalibagor-diduga-hasil-pacaran-usia-7-hari/ “Ketika sudah hamil bagaimana? Ketika balik ke lingkungan sosial akan mendapat stigma negatif, dan solusinya tidak lain adalah menikah dini,” katanya. Penyebab kedua, lanjut dia, alasan ekonomi. Ninik menjabarkan bagaimana faktor ekonomi bisa menjadi pemicu terjadinya pernikahan anak. “Orangtua mungkin ada, tapi ekonominya tidak mampu mencukupi kebutuhan anak, sehingga jalan satu-satunya ketika punya anak perempuan, yakni dengan dinikahkan dini. Tidak pandemi pun kasus seperti ini marak, apalagi saat pandemi di mana perekonomian juga sulit,” bebernya. Ia menemukan fakta di lapangan yang paling rentan terkena perkawinan anak adalah pihak perempuan. “Anak laki-laki itu baru mau menikah jika sudah telanjur menghamili si perempuan, itu pun kalau ketahuan dan tidak kabur,” katanya kesal. Sementara itu, data yang diperoleh dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, jumlah dispensasi pernikahan anak di bawah umur dalam tiga tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Pada 2018 ada 61 permohonan, kemudian pada 2019 ada 105, dan pada 2020 ada 235 permohonan. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Kota Semarang John Richard Latuihamallo mengaku miris dengan tingginya kasus pernikahan usia anak di Kota Semarang. Apalagi rata-rata calon pengantin anak ini masih berstatus siswa SMA/SMK. “Sesuai Undang-Undang No 16 Tahun 2019 batas minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan itu 19 tahun. Kalau di bawah itu masih terhitung anak-anak. Menurut saya, idealnya menikah itu kalau laki-laki ya minimal 25 tahun, dan perempuan 22 tahun. Itu baru matang,” kata John Richard Latuihamallo kepada Jawa Pos Radar Semarang, Minggu (21/2/2021). Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meski terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan. Apalagi kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, tentu akan menyebabkan kontrol orangtua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit. “Anak perempuan yang sudah kawin tidak boleh sekolah. Tentu akan membuat kesempatan berkreativitas menjadi terhambat. Maka bisa saja memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” bebernya. Disisi lain, Selama pandemi Covid-19, pernikahan usia anak cenderung meningkat. Rata-rata calon pengantin masih berstatus pelajar sekolah. Mereka terpaksa menikah kebanyakan karena hamil duluan. RB,16, tampak malu-malu saat ditemui Jawa Pos Radar Semarang di Pengadilan Agama (PA) Kota Semarang. Ia mencoba menyembunyikan perutnya yang membuncit dengan ditutupi tas. Ya, RB memang tengah mengandung lima bulan. Ia datang ke Pengadilan Agama untuk mengurus dispensasi kawin. Alasan RB mencari surat dispensasi ini, lantaran hamil duluan. Ia kebablasan dalam berpacaran. Harus beberapa kali, RB datang ke PA. Sebab, dispensasi kawin akan dikeluarkan lewat putusan hakim PA. Beruntung, permohonan RB dikabulkan. Siswi SMK ini pun bisa melangsungkan perkawinan secara sah dengan pria yang telah menghamilinya. “Saya sempat stres, bahkan gak keluar rumah lama karena malu. Tapi setelah nikah ya lega karena ada yang tanggungjawab,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang. Kasus menikah dini juga dialami Yanto (nama samaran), warga Semarang Selatan. Remaja 16 tahun ini terpaksa menikah di usia sangat muda karena sang kekasih hamil duluan alias married by accident (MBA). “Pacar saya teman sekolah. Kebetulan selama pandemi, dia belajar daring di rumah saya. Nah, saat rumah sepi, akhirnya saya kebablasan. Saya sempat pusing saat pacar saya itu ngasih tahu terlambat bulan,”cerita Yanto, yang masih sekolah di salah satu SMK swasta di Kota Semarang. Karena hamil itu, sang pacar, Santi (nama samaran), minta pertanggungjawaban. Kini, perut Santi sudah semakin membuncit. “Sekarang saya nikah siri dulu, nikah resminya masih mengurus permohonan dispensasi kawin di pengadilan,”ujarnya. Selama pandemi Covid-19, jumlah pernikahan dini di Kota Semarang memang cenderung tinggi. Tercatat, selama 2020 di mana Covid-19 mulai merebak, ada sebanyak 235 calon pengantin belia yang mengajukan dispensasi kawin. Jumlah itu naik tajam dibanding 2019, yang hanya 105 pengajuan dispensasi kawin. Sedangkan pada 2021, pada Januari sudah ada enam permohonan dispensasi kawin yang dikabulkan. Panitera Muda Pengadilan Agama Semarang Junaidi mengungkapkan, mayoritas yang mengajukan dispensasi kawin adalah calon pengantin wanita. Rata-rata mereka masih berusia 17-18 tahun atau masih berstatus siswi SMA ataupun SMK. Junaidi menjelaskan, sejak Peraturan Mahkamah Agung (MA) menaikkan batas usia menikah menjadi 19 tahun (laki-laki dan perempuan), permintaan dispensasi kawin semakin melonjak. “Saat batas usia 16 tahun saja sudah banyak (yang mengajukan dispensasi kawin), apalagi sekarang dinaikkan jadi 19 tahun,” katanya. Kendati demikian, tidak semua permohonan yang masuk diterima. Tentunya, harus memenuhi syarat. Selain administrasi, dikabulkannya permohonan dispensasi kawin harus dalam keadaan mendesak. “Seperti hamil duluan, itu pasti akan dikabulkan,” jelasnya. Selain hamil, permohonan karena penyebab lain juga akan dikabulkan dengan catatan harus mendesak. Misalnya, calon pengantin sudah berbuat kelewatan atau zina, berani berhubungan layaknya suami istri, atau sudah ubyang-ubyung ke mana-mana berdua. (ifa/cr2/jks/aro)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: