Kejari Bisa Hentikan Perkara Kecil, Ini Kriterianya

Kejari Bisa Hentikan Perkara Kecil, Ini Kriterianya

Kasi Tindak Pidana Umum (Pidum) Kejari Kota Semarang, Edy Budianto. (Nur Chamim/Jawa Pos Radar Semarang) SEMARANG– Mekanisme Keadilan Restoratif mulai diberlakukan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang. Artinya, perkara bisa diselesaikan di tingkat penuntutan. Tidak semua perkara pidana harus diselesaikan sampai ke pengadilan. Kasi Tindak Pidana Umum (Pidum) Kejari Kota Semarang Edy Budianto mengatakan, penghentian perkara melalui mekanisme Keadilan Restoratif tersebut diatur dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. “Perja penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tersebut sudah mulai diberlakukan, termasuk di Kota Semarang, sejak diundangkan pada akhir Juli 2020 kemarin,” kata Edy Jumat (21/8/2020). Dijelaskannya, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan mekanisme Keadilan Restoratif bisa dilakukan jika memenuhi persyaratan. Yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, serta ancaman pidana kurang dari 5 tahun dan kerugian yang timbul tak lebih dari Rp 2,5 juta. Dalam artian perkara yang dapat dihentikan di Kejaksaan tersebut merupakan perkara kecil. Hanya saja perkara tersebut bisa menjadi perhatian masyarakat. “Contohnya, kasus pencurian sendal jepit yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah dan kasus pencurian getah karet seberat 1,9 kg,” imbuhnya. Meski begitu, tak semua perkara pidana dengan kerugian yang kecil dapat dihentikan sebelum masuk pengadilan. https://radarbanyumas.co.id/9-pejabat-pemkot-tegal-di-deadline-kembalikan-tpp-tak-kembalikan-kajari-ancam-masuk-bui/ Beberapa kasus yang tak dapat diselesaikan dengan mekanisme Keadilan Restoratif di antaranya tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya, ketertiban umum dan kesusilaan. Kemudian, lanjutnya, tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup serta tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. “Mekanisme keadilan restoratif bisa diterapkan jika memenuhi syarat. Yaitu ada pemulihan kembali pada keadaan semula oleh tersangka,” jelasnya. Pemulihan kembali pada keadaan semula tersebut, misalnya tersangka mengganti kerugian kepada korban atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Selain itu, telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dengan tersangka. Dalam penggantian kerusakan tidak boleh ada unsur pemerasan. Dengan penerapan keadilan restoratif tersebut diharapkan hukum benar-benar memberikan keadilan secara substantif bagi masyarakat. Hukum bukan menjadi alat untuk memidanakan seseorang, tapi justru memanusiakan manusia. (ifa/zal/bas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: