Puasa dan Kepedulian Sosial
Oleh : Ir. HM. Romahurmuziy, MT “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) Orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfāl; 2-4). Ayat di atas seperti hendak memberi isyarat bahwa orang yang mengaku beriman belum dianggap beriman, kecuali orang tersebut mampu mewujudkan imannya ke dalam perbuatan atau amal saleh. Dalam ayat yang lain, Allah SWT mengecam orang-orang yang hanya berhenti pada ibadah ritual saja, melupakan hal-hal yang mampumenumbuhkan kepedulian sosial kepada sesama. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat Al-Mā’un ayat 4-7; “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai dalam sholat mereka, yang hanya ingin dilihat (orang), tetapi menolak (memberi) bantuan.”(Qs. Al-Mā’un ayat 4-7). Puasa Ramadan selama satu bulan penuh, yang datang hanya sekali dalam setahun, dalam konteks ini, sejatinya dijadikan momentum sebagai peringatan bahwa kepedulian sosial merupakan salah satu dimensi yang melekat pada tindak tanduk prilaku orang beriman. Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial Dalam Islam, antara Hablumminallah (hubungan langsung antara manusia dengan Allah) dan Hablumminnās (hubungan langsung sesama manusia) harus berjalan seimbang. Pada konteks pemenuhan Hablumminallah dan Hablumminnāsini, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mempopulerkannya dengandua macam istilah kesalehan. Pertama, kesalehan ritual yang merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam konteks Hablumminallah seperti shalat, puasa, haji, dan ritual lainnya. Kedua, kesalehan sosial yang merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam rangka memenuhi Hablumminannās. Keduanya saling terkait dan harus berjalan seimbang. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menginginkan kebaikan terhadap sesama, mengikutsertakan orang lain merasakan nikmat, dan menghindarkannya dari hal-hal yang ditakutkan. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang tiap individunya peduli terhadap lingkungan sosialnya. Nabi Muhammad SAW telah bersabda tentang masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sosialnya: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. (HR. Bukhari-Muslim). Puasa, Nafsu dan Kepedulian Sosial Sewaktu menjalankan ibadah puasa di Ramadan, seseorang tidak hanya dituntut untuk menahan diri dari tidak makan, tidak minum, dan tidak pula berhubungan seks, melainkan juga menahan segala bentuk perilaku nafsu amarah serta nafsu lawwamah (keinsyafan dalam kebimbangan). Sejak manusia diciptakan, Allah telah melengkapinya dengan berbagai macam nafsu, diantaranya adalah nafsu amarah, lawwanah dan muthmainnah (jiwa suci penuh ketenangan dalam keridhaan Allah). Melalui puasa maka seseorang akan bisa meredam nafsunya amarah dan lawwamahnya dan kemudian mengarahkannya kepada perilaku yang didasari oleh nafsu muthmainnah. Jika seseorang bisa memasuki arena nafsu muthmainnah, maka orientasi hidupnya akan berjuang untuk meniru sifat-sifat Allah. Bukankah Allah juga tidak makan, tidak minum, dan tidak pula berhubungan seks. Bahkan sebaliknya, Allah-lah yang memberi makan, memberi minum dan membuat aturan agar setiap orang dapat melakukan aktifitas seksualnya secara halal. Dalam ungkapan yang indah, Quraisy Shihab, Guru Besar Ilmu Alquran, menyatakan agar perjuangan untuk meniru sifat-sifat Allah berhasil dengan sempurna, maka ibadah puasa tidak hanya dengan sekedar menahan lapar, dahaga, dan kenikmatan seksual semata. Namun lebih dari itu, yaitu menyempurnakannya dengan banyak memberi makan orang lemah dan orang miskin. Caranya tentulah dengan banyak bersedekah dan berinfak yang didasari dengan rasa kepedulian sosial yang sangat peka. Inilah rahasia mengapa pada bulan Ramadan dianjurkan untuk banyak bersedekah dan berinfak, agar sikap kepeduliaan menjadi urat nadi amaliah seorang muslin dalam menjalani kehidupan sehari-hari. (*) Penulis adalah Anggota DPR RI Komisi XI Dapil VII Jawa Tengah, Ketua Umum DPP PPP dan Mahasiswa Program Doktor di UNPAD dan IPDN Bandung Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: