Ramadan dan Pendakian Spiritual

Ramadan dan Pendakian Spiritual

Oleh: Dr. Darodjat, M.Ag. Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta mendesain sedemikian rupa perintah puasa di bulan ramadan (saum ramadan) mengandung hikmah dan tujuan yang luar biasa banyaknya, terlebih lagi bagi orang yang mengimani dan melaksanakannya dengan i?tisab (mengharap pahala dari Allah SWT). Dalam hadis yang disahihkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi bersabda yang artinya barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan i'tisab (mengharapkan pahala dari Allah), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu (Kitab Sahih Bukhari, No. 2014, dan Kitab Sahih Muslim, No. 760). Pada hakikatnya, semua bentuk ibadah dalam ajaran Islam, termasuk saum ramadan dan amalan ibadah utama lainnya yang dikerjakan oleh orang yang beriman bukan untuk kepentingan Allah SWT. Sebab Allah itu bersifat Al-Ganiyyu, salah satu dari 99 nama-nama Allah Yang Mahamulia atau al-asma al-husna. Sifat Al-Ganiyyu dalam Al-Quran terulang lebih dari 10 kali, misalnya tercantum dalam surat Al-‘Ankabut (29) ayat 6. Seorang pakar tafsir yang sangat masyhur, yaitu Imam Ibnu Kasir (wafat th.1373 M/774 H) menjelaskan kata Al-Ganiyyu dalam konteks ayat tersebut dengan kalimat sebagai berikut: man ‘amila 'ali'a fainnama ya’udu naf’u ‘amalihi ‘ala nafsih, fainnallaha ganiyyun ‘an af’alil ‘ibad, walau kanu kulluhum ‘ala atqa qalbi rajulin wahidin: artinya: barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya manfaat dari amal tersebut adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk Allah, karena sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan) amal perbuatan hamba-hamba-Nya, sekalipun manusia semuanya bertakwa kepada Allah, sebagaimana bertakwanya diri seseorang dari mereka, maka ketakwaan tersebut tidak akan menambah sesuatu apa pun terhadap kebesaran Allah. Keterangan Imam Ibnu Kasir di atas sejalan dengan hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut, artinya: … “wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak dapat menimpakan mudarat kepada-Ku hingga memudaratkan-Ku dan kalian tidak dapat menyampaikan manfaat kepada-Ku hingga memberi-Ku manfaat. Wahai para hamba-Ku, sekiranya kalian dari yang pertama sampai yang terakhir, baik dari kalangan manusia maupun jin, hati mereka seperti hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah hal itu menambah kekuasaan-Ku sedikitpun”. (Sahih Muslim, nomor 2577). Mencermati dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis sahih tersebut di atas, eksistensi Allah rabbul’alamin (Allah sebagai Dzat Yang Maha Mendidik seluruh alam semesta, termasuk di dalamnya manusia) memberikan penekanan bahwa melalui ibadah ramadan sebagai madrasah khusus sedang mendidik dan menempa orang beriman menjadi orang yang ikhlas, yaitu bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah semata-mata karena Allah, dan mendidik agar diri manusia yang sangat lemah ini benar-benar butuh Allah. Jika manusia telah menjalani ibadah dengan kesungguhan, keikhlasan, maka harapan dari ibadah ramadan yang secara jelas tercantum dalam ayat saum pada surat Al-Baqarah ayat 183 yaitu untuk menggapai martabat takwa dapat tercapai. Jika tempaan dan didikan ramadan benar-benar terpatri dalam setiap pribadi muslim, maka pasca ramadan akan lahir pribadi yang merdeka, selalu menggantungkan harapan kepada Allah SWT, menebar kebaikan dan kemaslahatan bukan karena mencari reputasi dan ingin dikenal masyarakatnya. Ada pujian atau tidak, maka tidak menjadi masalah baginya, karena ia telah mendaki mencapai tahapan orang-orang yang ikhlas. (* /Kaprodi Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: