Berbuka Puasa di Masjid di Nice yang Terkena Teror Paris
Dilarang Pakai Kamera, Pulang Diberi Bekal Sahur Menu berbuka puasa di Masjid Al Wahda Nice beragam. Mulai roti khas Prancis sampai gulai kambing. Sisa trauma karena pernah jadi target operasi aparat keamanan masih terasa. BASKORO YUDHO, Nice SENYUM mengembang di wajah Burhan Abdullah saat menyambut kedatangan Jawa Pos. Pria berwajah Timur Tengah itu lalu mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. "Oh...Anda dari Indonesia? Assalamualaikum," ucap Burhan Kamis lalu (23/6). "Silakan masuk. Saudara-saudara kita sudah ada di dalam," tambahnya. Saudara, itulah sebutan Burhan, pengurus I’Association des Musulmans de Nice-Centre (AMNC) atau Asosiasi Muslim Nice, bagi mereka yang mampir ke Masjid Al Wahda di Kota Nice. Masjid di kawasan Vieux Nice atau kota lama tersebut hanya seluas 160 meter persegi. Jadi terlihat sesak dan berjubel saat ada acara buka bersama. "Maaf, saya mau menyiapkan buka bersama. Anda silakan bergabung dengan mereka," ujar Burhan sambil menunjuk deretan jamaah yang tengah duduk bersila di karpet. "Tapi, tolong jangan keluarkan kamera. Biar tidak mengganggu mereka yang sedang salat dan mengkhatamkan Alquran," lanjut pria yang juga salah seorang pengurus Masjid Al Wahda tersebut. Agar tetap mendapatkan gambar suasana di dalam masjid, Jawa Pos pun akhirnya memotret menggunakan telepon seluler (ponsel). Tidak ada yang terganggu atau mencurigai karena di dalam masjid juga banyak yang mengaji dengan membaca ayat-ayat Alquran yang tersimpan di dalam ponsel. Saat itu jam menunjukkan pukul setengah delapan malam waktu setempat. Artinya, Burhan dan pengurus lain hanya punya waktu kurang dari dua jam untuk menyiapkan menu takjil buat jamaah. Satu per satu menu pun lantas dihidangkan. Di antaranya baguette atau roti panjang dan keras khas Prancis. Lalu gulai kambing, seiris semangka, lima butir kurma, apel, dan susu. Cukup mengenyangkan. Semakin mendekati waktu berbuka, jamaah yang datang ke masjid pun kian banyak. Otomatis, Burhan dan kolega juga tambah sibuk. Tepat pukul 21.19 waktu setempat, bilal mulai mengumandangkan azan Magrib. Suara azan itu memang hanya terdengar di ruangan masjid. Tak heran jika kaum muslim di Prancis banyak bergantung pada kalender dan aplikasi di smartphone untuk mengetahui jadwal berbuka puasa. Acara santap menu takjil hanya dibatasi lima menit. Setelah itu bilal mengumandangkan iqamah untuk mengajak salat Magrib berjamaah. Tak ada zikir dan doa bersama setelah salat tiga rakaat itu dilaksanakan. Begitu mengucapkan salam, jamaah kembali menyantap menu buka bersama. Saat pulang, para jamaah masih "disangoni" bungkusan dari pengurus masjid. "Itu buat sahur," ucap Burhan. "Soalnya, habis salat Tarawih, empat jam kemudian mereka harus sahur. Jadi, Anda beruntung menjadi muslim di Indonesia. Di sini jam puasanya memang panjang," jelasnya merujuk waktu 18 jam yang harus dilakoni muslim di Prancis untuk berpuasa pada bulan Ramadan. Burhan mengakui, biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan menu takjil dan bingkisan sahur sangat besar. Semua biaya itu ditanggung AMNC. "Saya tak bisa sebutkan biayanya. Pokoknya besar dan kami ikhlas,"lanjutnya. Burhan juga meminta maaf atas larangan mengeluarkan kamera di masjid. Pasalnya, pengurus dan jamaah Al Wahda masih trauma atas kejadian Desember silam. Ya, setelah teror bom Paris yang terjadi pada 13 November 2015, sejumlah masjid di Nice menjadi target operasi intelijen pihak keamanan. Bahkan, ada dua masjid yang sempat ditutup. Al Wahda termasuk salah satu tempat ibadah yang dicurigai sebagai sarang teroris. Polisi menempatkan Al Wahda dalam daftar pengawasan. "Padahal, tak ada aktivitas makar di sini. Kami di sini murni ibadah," katanya. Teror Paris itu berupa serangan menggunakan senjata api dan bom bunuh diri di sejumlah titik di Paris dan Saint-Denis. Teror yang dirancang dari Belgia tersebut mengakibatkan 130 orang tewas dan 368 lainnya luka-luka. Prancis untuk kali pertama sejak 2005 menyatakan keadaan darurat. Perbatasan untuk sementara ditutup. Menurut Burhan, Al Wahda bahkan sebenarnya bisa menjadi contoh pluralisme dan toleransi beragama di Nice. Sebab, hanya 100 meter sebelah timur Al Wahda, terdapat Katedral Sainte-Reparate. Kawasan Vieux Nice juga termasuk heterogen. Berbagai entitas budaya ada di sana. Ada kawasan pecinan, Arab, Afrika, dan tentunya Eropa. Ada restoran yang menyajikan masakan Tiongkok. Ada juga bar yang khusus menyediakan minuman beralkohol. Al Wahda yang terletak di Rue Suisse sendiri masuk wilayah "kampung" Arab. Sebab, selain masjid Al Wahda, di Rue Suisse banyak toko yang menjual keperluan ibadah kaum muslim. Pasar buah, daging, dan sayuran berlabel halal pun berada di kawasan tersebut. "Tapi, bukan isu teroris yang menjadi kekhawatiran kami," ucapnya. Burhan mengungkapkan, pihaknya belum tenang karena belum bisa menyediakan area yang lebih luas untuk beribadah. Sebab, banyak yang tak tertampung saat salat jamaah. Terutama salat Jumat. Saat salat Jumat, Burhan mengingatkan, sebaiknya jamaah datang sebelum khatib naik mimbar. Sebab, jika datang saat khotbah berlangsung, dipastikan jamaah tak akan mendapat tempat. Begitu berjubelnya, lorong menuju tempat wudu pun harus digelari karpet untuk menampung jamaah. "Wudu sebaiknya juga dari rumah. Kalau di sini airnya terbatas," tutur Burhan menunjuk tempat wudu yang hanya disediakan satu gayung air untuk setiap jamaah itu. Nah, karena tempat terbatas dan banyak yang baru datang menjelang pelaksanaan salat Jumat, jamaah pun harus rela menunggu di trotoar seberang Masjid Al Wahda. Mereka baru bisa masuk setelah jamaah salat Jumat bubar. Tentu mereka hanya bisa melaksanakan salat Duhur...(*/c9/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: