Kalau Ada Yang Sakit, ya Harus Nungguin Siang-Malam
[caption id="attachment_94695" align="aligncenter" width="100%"] PERHATIAN: Diah Esti Anggraini (kiri) dan pawing Khamdani bersama Sugeng, gajah yang tengah diinfus di RSG Way Kambas (6/1).
IMAM HUSEIN/Jawa Pos[/caption]
Ke Rumah Sakit Gajah Pertama di Indonesia di Way Kambas
Karena kendala listrik, baru ruang perawatan RSG Way Kambas yang sejauh ini sudah berfungsi normal. Kelak sampel darah dan gen semua gajah Taman Nasional Way Kambas akan didokumentasikan di sini.
LUSIA ARUMINGTYAS, Lampung
BEGITU melihat jarum di tangan Diah Esti Anggraini, Sugeng dan Queen serta-merta berontak. Sekadar dipegang pun tak mau. Keduanya memilih berputar-putar di dalam ruang rawat.
Jadilah Khambali dan Rekadin yang sehari-hari merawat mereka harus bekerja keras untuk menenangkan.
"Sugeng..Sugeng, ayo dikasih vitamin dulu," kata Khambali sembari perlahan mengelus Sugeng.
Barulah Sugeng tenang. Dia pun manut saat Khambali memasangkan tali ke lehernya. Esti lantas perlahan memasangkan jarum infus ke telinga "bocah" berbobot lebih dari 500 kilogram tersebut.
Di ruang rawat Rumah Sakit Gajah (RSG) Prof Dr Ir Rubini Atmawidjaja pada Selasa siang lalu (6/1) itu, Sugeng dan Queen sebenarnya tidak sakit. Dua anak gajah yang sama-sama berusia empat tahun tersebut hanya menjalani general checkup dan mengonsumsi vitamin.
Vitamin itulah yang dimasukkan melalui infus yang dipasang di telinga. Telinga dipilih karena itulah bagian tubuh gajah yang paling minim risiko. Dengan kapas, telinga gampang dibersihkan dengan cairan alkohol agar tetap steril.
RSG di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, itu merupakan rumah sakit gajah dan satwa liar pertama dan satu-satunya di Indonesia. Di seluruh Asia Tenggara, rumah sakit tersebut menjadi yang kedua setelah Thailand.
Diresmikan pada 5 November tahun lalu, hingga kini RSG itu sudah beroperasi dalam hal perawatan dan pemeriksaan berkala. RSG tersebut dilengkapi peralatan ultrasonografi (USG), peralatan pemeriksaan darah, laboratorium, dan tempat perawatan.
Di lantai dasar, RSG memiliki ruang laboratorium, farmasi, gudang peralatan, pantri, ruang pakan basah, serta empat kandang dan tempat perawatan. Sedangkan di lantai 1 ada ruang kerja, aula pertemuan, dua kamar penginapan penjaga, serta gudang pakan kering.
Rumah sakit yang berdiri di atas lahan 1.615 meter persegi itu merupakan kerja sama antara Kementerian Kehutanan, Taman Safari Indonesia, dan Australia Zoo. Nama Prof Rubini Atmawidjaja diambil untuk mengenang mantan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Kementerian Kehutanan.
Faedah rumah sakit itu kelak tak sebatas sebagai sebuah tempat perawatan. Tapi, juga menyimpan rekam jejak setiap gajah di TNWK. "Mulai sampel darah hingga gennya akan didokumentasikan lengkap di sini," jelas Dedi Candra, satu di antara dua dokter hewan yang bertugas di rumah sakit tersebut selain Esti.
Cikal bakal RSG Prof Dr Ir Rubini Atmawidjaja adalah sebuah klinik di Pusat Latihan Gajah Way Kambas. Tentu saja daya tampungnya juga menjadi berlipat. Jika dahulu hanya satu gajah yang bisa dirawat di klinik, kini empat sekaligus. "Jika dipaksakan, bahkan bisa menampung delapan pasien," jelas Dedi yang bertugas di Way Kambas sejak 2000 itu sambil menunjukkan ruang rawat yang masing-masing memiliki ukuran 20 x 20 meter.
Sayang, pengoperasian RSG Way Kambas masih terkendala listrik. Jadilah, sejauh ini hanya empat ruang perawatan yang sudah berfungsi normal. Peralatan dan fasilitas lain yang mereka miliki belum bisa dimaksimalkan.
Memang ada genset, tapi tentu saja kemampuannya terbatas. Hanya digunakan untuk menyalakan lampu saat malam. Kepastian masuknya listrik hingga ke dalam TNWK pun masih sebatas tiang listrik yang telah beberapa tahun belakangan terpasang.
"Kami belum bisa memastikan (kapan listriknya menyala, Red), bergantung PLN. Tapi, terus kami kejar," ungkap Dulhadi, kepala TNWK.
Padahal, RSG itu berperan penting dalam "Perang Badar" melawan ancaman merosotnya populasi gajah di tanah air. Berdasar data WWF-Indonesia, populasi gajah di Indonesia sampai akhir 2014 hanya sekitar 1.700.
Taman Nasional Way Kambas sendiri menampung 63 gajah yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang ditemukan karena tersesat, masuk perangkap, konflik dengan manusia, dan sebagainya.
Mayoritas penyebab kematian gajah adalah perburuan liar dan konflik dengan masyarakat. Namun, faktor lingkungan tempat tinggal yang rusak atau berubah fungsi juga turut menjadi kontributor penting.
Kendati masih banyak kendala, semangat Esti, Dedi, dan empat paramedis yang bertugas di RSG Way Kambas tak pernah surut. Selasa siang lalu itu, misalnya, kendati sempat "bertepuk sebelah tangan" karena Sugeng dan Queen trauma dengan jarum, Esti dan Dedi tetap telaten dan penuh kasih sayang merawat keduanya.
Esti dengan sangat hati-hati memasukkan jarum ke pembuluh darah di telinga. Selanjutnya, disambungkan pada tabung infus Aminovel yang berisi cairan asam amino.
Tak jarang pula keduanya malam-malam harus meninggalkan kenyamanan tempat tinggal karena ada gajah yang membutuhkan perawatan sesegera mungkin. Padahal, jarak kediaman masing-masing menuju TNWK 15-16 kilometer.
Pengabdian itu pun akhirnya membawa kepada kedekatan secara emosional dengan pasien-pasien mereka.
"Kalau lagi sakit, biasanya kita tungguin siang-malam. Gak tega kalau mesti ditinggal," ungkap Esti, alumnus Universitas Airlangga Surabaya, itu.
Esti mengenang, dirinya pernah begitu sedih saat kesulitan obat ketika akan mengoperasi seekor gajah bernama Rini yang menderita tumor. Rini yang sekarang sudah mati waktu itu harus menjalani rawat inap hingga berminggu-minggu.
Minimnya kajian terhadap satwa liar juga menjadi keluhan Esti dan Dedi. "Namun bahagia, merasa senang sekali, jika ada yang sembuh dari penyakit," tutur perempuan yang telah mengabdi di TNWK sejak 1997 itu.
Selama ini, prinsip manajemen kesehatan berupa tindakan preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), dan rehabilitatif (pengembalian ke kondisi sehat) telah diterapkan. Idealnya, setiap hari tiap gajah mendapatkan pemeriksaan berkala dan setiap bulan mendapatkan vitamin. Namun, karena keterbatasan, baru bisa dilakukan tiga bulan sekali.
Penyakit cacinglah yang sering menyerang gajah. Menurut Esti, gajah paling sering bermasalah dengan saluran pencernaan. Selain itu, penyakit tumor dan abses (pembengkakan pembuluh darah) merupakan penyakit yang umumnya menghinggapi hewan berbobot jumbo itu. Jika tumor sudah menyerang bagian organ dalam, biasanya penanganan akan sulit dilakukan.
Ke depan RSG memang butuh tambahan tenaga kerja. Selain itu, dibutuhkan sebuah manajemen pengelolaan dana secara profesional. Baik berbentuk koperasi maupun lembaga.
"Ya, kenyataannya konservasi harus berbicara dengan uang. Biaya perawatan seekor gajah itu bisa mencapai Rp 1-2 juta per ekor tiap bulan," jelas Dulhadi.
Tanpa pendanaan yang kuat, konservasi tidak lebih hanya omongan belaka. Sekalipun itu mengikuti kearifan lokal. Karena itu, lanjut Dulhadi, pihaknya pun berusaha mencari donor dari berbagai negara. Sebab, anggaran dari negara terbatas.
Salah satu rencana yang akan ditempuh adalah program adopsi gajah. Yang mengadopsi kelak akan dipasok informasi secara kontinu tentang perkembangan anak angkat mereka. Informasi itu berupa foto, video, dan rekam kesehatan.
"Siapa tahu barangkali Pak (Presiden) Jokowi mau menjadi adopter sepuluh anak gajah," ujar dokter Dedi, lantas tersenyum. (*/c10/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: