Inggris Pilih Keluar dari Uni Eropa
LONDON - Hubungan Inggris dan Uni Eropa (UE) tidak akan sama lagi. Lewat referendum 23 Juni, rakyat Inggris memutuskan untuk hengkang dari organisasi terbesar Eropa tersebut. Kemarin (24/6), sebanyak 51,9 persen pemilih atau sekitar 17.410.742 suara mendukung Brexit (British Exit) dengan memilih leave. "Rakyat telah menunjukkan keberanian mereka dengan memilih untuk mengubah sejarah Inggris dan seluruh negara di Eropa," kata Liam Fox, politikus Partai Konservatif yang duduk di majelis rendah. Kamis lalu, dia memilih leave. Maka, kemenangan tipis kubu pro-Brexit itu membuat Fox bangga. Seperti para tokoh yang mengampanyekan leave, dia menyebut hasil referendum sebagai bukti kemenangan demokrasi. Sebaliknya, Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn yang mengampanyekan remain menanggapi hasil referendum dengan datar. "Kita akan dihadapkan pada masa sulit selama beberapa hari ke depan. Yang pasti, semua ini akan berdampak besar pada sektor ketenagakerjaan," paparnya. Selama kampanye, politikus 67 tahun itu memang tidak terlalu ngoyo memperjuangkan remain. Media pun sempat menyebutnya plin-plan. Tak hanya menimbulkan gejolak di dalam negeri, hasil referendum Brexit juga membuat UE gonjang-ganjing. Sedikitnya empat negara anggota UE pun tergiur menggelar referendum yang sama. Yakni, Italia, Denmark, Belanda dan Prancis. Sedangkan, Swedia sudah lebih dulu mengungkapkan "keinginan" untuk mengekor Brexit dengan menggelar referendum Swedia Exit yang oleh media disebut Swexit. Ketua Parlemen UE Martin Schulz khawatir kegemparan pasca kemenangan Brexit itu akan berlanjut. Maka, dia berharap, Inggris bisa segera memproses keputusan rakyatnya untuk meninggalkan UE. Rencananya, parlemen UE akan menggelar rapat darurat untuk membahas hasil referendum Inggris pada Selasa mendatang (28/6). Dalam pertemuan itu, UE akan bernegosiasi dengan Inggris tentang Brexit. "Saya harap, negosiasi akan berjalan lancar dan tidak makan banyak waktu," tandas Schulz. Inggris merupakan negara UE pertama yang menanggalkan keanggotaannya. Sejak UE terbentuk pada 1993 (berdasar Treaty of Maastricht), tidak pernah ada anggota yang keluar. Sebaliknya, keanggotaan UE selalu bertambah secara bertahap hingga jumlahnya menjadi 28 seperti sekarang. Schulz mengatakan, Brexit memang tidak akan serta-merta mencoret keanggotaan Inggris dari UE. Sesuai kesepakatan awal, anggota yang hendak meninggalkan UE harus menjalani proses "perceraian" yang makan waktu sampai dua tahun. "Inggris tidak akan benar-benar meninggalkan UE sebelum 2020," tulis BBC mengutip keterangan parlemen Eropa.Dalam negosiasi dengan UE nanti, Inggris harus menetapkan tanggal "perceraian". Berdasar aturan Partai Konservatif, Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron yang telah mengajukan pengunduran dirinya pasca kekalahan kubu remain tidak bisa langsung meninggalkan Downing Street 10. Dia harus bertahan sampai partai menunjuk penggantinya lewat serangkaian proses internal. Diperkirakan, partai baru akan menyelesaikan proses internal pada Oktober mendatang. Aturan yang berlaku di Inggris itu membuat Manfred Weber gelisah. Seperti Schulz, dia tidak mau dampak Brexit membuat UE lemah. "Kita harus segera berunding dengan Inggris. Yang paling penting, semuanya harus dilakukan dalam waktu singkat," harap ketua European People's Party, blok politik terbesar dalam parlemen UE. Dia menambahkan bahwa UE tidak akan sabar bisa menunggu sampai Inggris punya PM baru. "UE tidak bisa dibiarkan dalam ketidakpastian terlalu lama hanya karena masalah politik internal (Inggris), tentang siapa yang berhak menjadi PM atau ketua partai (konservatif)," terang Weber kemarin. Pendapat yang sama dipaparkan beberapa tokoh politik UE lainnya. Sementara itu, Belanda menganggap Brexit sebagai pertanda bahwa UE harus melakukan reformasi. "Ini hasil yang mengecewakan saya. Tapi, ini juga rangsangan yang bagus bagi UE untuk segera berbenah," kata PM Belanda Mark Rutte. Dia berharap, negara-negara yang masih tersisa di blok UE bisa tetap kompak. Sebagai pemimpin, dia tidak ingin Belanda mengekor Inggris lewat referendum senada. Kamis lalu (23/6), angka kehadiran referendum Brexit mencapai 72,2 persen dari total 46.501.241 jumlah pemilih yang sah. Hingga tempat pemungutan suara (TPS) tutup pada pukul 22.00 waktu setempat, sebanyak 33.578.016 kertas suara terkumpul dari sekitar 41.000 TPS yang tersebar di seluruh penjuru Inggris. Selanjutnya, bukti otentik aspirasi rakyat itu dibawa ke 382 pusat penghitungan suara. Kemarin, BBC melaporkan bahwa sebanyak 26.033 kertas suara yang masuk tidak sah. Oleh karena itu, suara sebanyak itu tidak ikut dihitung. "Sebanyak 48,1 persen pemilih mendukung kubu remain," terang panitia penghitungan suara. Angka itu setara dengan 16.141.241 suara. Secara umum, kubu remain panen dukungan di Kota London serta di wilayah Skotlandia dan Irlandia Utara. (AFP/Reuters/BBC/hep)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: