Identitas Panyandera Tujuh WNI Masih Misterius!
Pemerintah Bentuk Tim Pembebas ABK di Filipina JAKARTA- Pemerintah akhirnya memastikan adanya penyanderaan terhadap tujuh warga negara Indonesia (WNI) anak buah kapal (ABK) TB Charles 001 dan Kapal Robby 152. Tim crisis center pun dibentuk untuk membebaskan para sandera di Filipina selatan. Kemarin (24/6), Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) mengadakan rapat untuk membahas persoalan yang genting itu. Hadir dalam pertemuan itu Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. Luhut mengatakan, rapat menyepakati pembentukan tim crisis center yang akan bergerak menyelesaikan kasus penyanderaan tersebut. Tim tersebut akan dipimpin Sekretaris Menko Polhukam Letjen Eko Wiratmoko. "Yang pertama dilakukan adalah mengidentifikasi masalah ini,"terang dia setelah rapat. Menurut dia, pemerintah akan menelusuri lebih dulu siapa pelaku penyanderaan terhadap tujuh ABK tersebut. Apakah, kata dia, tindakan itu masih berkaitan dengan penyanderaan sebelumnya. "Sampai sekarang kami belum tahu apakah ada kaitannya dengan kasus sebelumnya," terang dia. Pihaknya juga akan melacak lokasi yang dijadikan tempat penyanderaan. Tim juga akan mencari informasi lain untuk menjadi pijakan opsi apa yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah darurat tersebut. Jadi, tutur dia, langkah yang akan dilakukan masih menunggu informasi tim yang akan bekerja. "Selasa (28/6) nanti akan ada rapat apa lagi untuk mendengarkan laporan dari tim crisis center," terang mantan Kepala Staf Kepresidenan itu. Saat ditanya kenapa awalnya TNI membantah adanya penyanderaan itu? Menurut Luhut, awalnya dia juga mendengar kabar itu, namun belum bisa memastikan kebenarannya. Dia masih membutuhkan verifikasi untuk mendapatkan informasi yang valid. Apalagi, pada Kamis (23/6) sore, pihak intelijen Filipina juga masih ragu dengan informasi penyanderaan itu. Untuk sekarang, pihaknya sudah bisa memastikan bahwa kabar penyanderaan itu benar adanya. Seperti sebelumnya, tutur dia, para penyandera menuntut uang tebusan. Namun, dia belum bersedia menyebutkan angka tebusan yang diminta pasukan bersenjatanya itu. Pejabat asal Toba Samosir itu mengatakan, pihaknya serius mengatasi masalah itu. Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Indonesia sudah bertemu dengan Menhan Filipina yang sekarang dan Menhan yang nanti akan menggantinya. Dia mendorong Menhan untuk terus menjalin komunikasi yang intens dengan Filipina untuk mencari solusi dalam menyelesaikan masalah yang membahayakan jiwa para WNI itu. Menurut dia, sebenarnya sudah sangat jelas bahwa pengamanan di laut Filipina menjadi tanggungjawab negara tersebut. Sebelumnya, Filipina juga berjanji mengawal kapal mulai dari perbatasan perairan Indonesia ke Filipina dan perbatasan Filipina ke Indonesia."Itu merupakan jalur pengangkutan batu bara," terang dia. Jadi, penyanderaan itu akan merugikan pihak Filipina. Indonesia, jelas Luhut, akan melanjutkan moratorium pengiriman batu bara ke Filipina. Padahal, kebutuhan batu bara di Filipina Selatan 96 persen bergantung pada ekspor dari Indonesia. Jadi, hal itu sangat berdampak pada perekonomian. Moratorium itu dilakukan, karena negara tersebut tidak bisa menjamin keamanan di perairan mereka. Bagaimana dengan nasib kesepakatan kerjasama antara Indonesia dan Filipina untuk melakukan patroli bersama? Luhut mengatakan, kerjasama itu belum bisa dilaksanakan karena ada ketentuan yang belum disepakati. Kerjasama antara negara itu masih menunggu pelantikan pemerintahan baru Filipina. "Kami harap pihak Filipina meresponsnya," jelasnya. Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla mengatakan, informasi panyenderaan tujuh ABK masih simpang siur. Informasi pertama yang dia dapatkan ada laporan detail. Bahkan, sempat hampir dipastikan kalau laporan penyanderaan itu tidak ada. "Mula-mula dikatakan belum ada laporan yang detail. Hingga kemarin (Rabu, red) masih simpang siur," kata JK di kantor Wakil Presiden, kemarin (24/6). Tapi, setelah berulangkali mengecek kembali laporan menyanderaan itu JK memastikan bahwa penyanderan itu memang ada. Dia sendiri mengakui kalau informasi di daerah itu cukup sulit dan kadang tidak akurat. "Sekarang ditegaskan memang ada (penyanderaan, red)," ungkap JK. Lantas apa tindakan pemerintah yang telah tiga kali ini warganya diculik di Filipina? JK menuturkan bahwa kementerian dan lembaga terkait sudah memulai berbagai upaya untuk penyelesaian itu. Tapi, dia memang tidak menjelaskan dengan detail upaya itu. "Kemenlu, BIN, dan TNI pasti sedang berusaha untuk menyelesaikan," tambah dia. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun ikut mengonfirmasi kasus tersebut. Menurutnya, konfirmasi tersebut diperoleh pada Kamis (23/6) sore dari berbagai pihak di Indonesia dan Filipina. Dari informasi yang ada, kapal tugboat Charles dan kapal tongkang Robby sedang berada di laut Sulu, Filipina Selatan, saat pembajakan terjadi. Dalam penyanderaan tersebut, kelompok bersenjata menyerang dan merusak alat komunikasi kapal. Setelah itu, tujuh ABK mulai diangkut dari kapal menuju kepulauan selatan Filipina. Namun, pengangkutan tersebut terjadi dalam dua tahap."Pertama, kelompok bersenjata mengakut tiga ABK sekitar pukul 11.30 waktu setempat. Kemudian, empat lagi dibawa pada 12.45 waktu setempat. Dua kejadian itu dilakukan oleh kelompok bersenjata yang berbeda," terangnya. Dengan dibawanya tujuh ABK, awak kapal yang selama hanya tersisa enam WNI. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan membawa kapal kapal TB Charles 001/ TK Robby 152 menuju ke Samarinda. Retno pun menegaskan, pihaknya mengecam keras kasus penyanderaan kali ini. Menurutnya, kasus penyanderaan ketiga kali tak dapat ditoleransi. Karena itu, pihaknya bakal menggunakan segala cara utnuk membebaskan para sandera. "Keselamatan ketujuh WNI merupakan prioritas," ungkapnya. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjelaskan sudah ada koordinasi dengan pemerintah Filipina untuk mengatasi penyanderaan itu. Sejauh ini yang dipakai adalah jalur diplomasi penuh. "Diplomasi total Kemenlu dan Kemenhan kerahkan daya upaya untuk bebaskan sandera," ujar Gatot di Istana Wakil Presiden, kemarin (24/6). Gatot menyebut motivasi utama para penculik itu berkaitan dengan uang tebusan. Meskipun sebenarnya pemerintah tidak mengkehendaki adanya tebusan itu. Tapi, bisa jadi ada fraksi-fraksi yang ingin membebaskan. "Dipastikan motifnya duit. Bukan motif politik ideologi," kata Gatot. Dia menjelaskan soal simpang siurnya kabar penyanderaan tujuh pelaut itu. Saat kabar pertama muncul, pihaknya langsung mengecek ke otoritas di Filipina. Mulai dari kepolisian hingga militer. Tapi, awalnya kabar penculikan itu dibantah. Pengecekan nomor telepon pun ternyata juga berada di wilayah Indonesia. "Sekarang kami komunikasi intens dengan filipina. Merek janji bantu," tambah Gatot. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan sebenarnya sudah melarang kapal-kapal asal Indonesia untuk melawati jalur di Filipina itu. Tapi, kapal tujuh pelaut itu rupanya bisa lewat begitu saja. "Ini yang dipertanyakan. Sudah ada moratorium tapi kenapa kapal ini boleh lewat sana?" kata Gatot. Ke depan, Indonesia dan Filipina sudah sepakat untuk menggelar patroli bersama di kawasan tersebut. Bahkan sudah ada penanandatanganan Memorandum of Understanding. Pemerintah Filipina juga punya kepentingan untuk mengamankan jalur itu. Lantaran, mayoritas pasokan batubara untuk pembangkit listrik itu berasal dari Indonesia. "Jelas nanti ada patroli bersama karena iti jalur ekonomi," ujar mantan Pangdam V/Brawijaya itu. (jun/bil/agm)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: