Doktrin Umat Terpilih dan Tanah yang Dijanjikan Tak Menarik Lagi
[caption id="attachment_103904" align="aligncenter" width="100%"] DUKUNG DAMAI: Wartawan Indonesia dan ibu-ibu dari Desa Netiv Haasara di samping tembok perdamaian yang memisahkan Israel dan wilayah Gaza.
Abdul Rokhim/Jawa Pos[/caption]
Melihat Perubahan Negara Yahudi Israel dari dalam Israel
Perjalanan plus transit 23,5 jam dari Jakarta hampir mencapai ujung saat dari atas terlihat bangunan besar dengan tulisan Ben Gurion Airport International. Sebuah perjalanan lain yang lebih menantang oleh wartawan Jawa Pos Abdul Rokhim dimulai. Yakni, melihat langsung kehidupan warga negeri Yahudi sekaligus penjajah Palestina, Israel.
Palestina memang alasan utama liputan ke Israel awal April lalu. Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan kepada segenap warga untuk membela Palestina yang sedang berjuang lepas dari penjajahan dan menjadi negara yang berdaulat.
Setiap melaksanakan tugas konstitusi itu, Indonesia selalu berhadap-hadapan dengan Israel. Posisi yang berseberangan tersebut membuat harapan mendapatkan informasi objektif tentang negara yang kini giat berkampanye sebagai start-up nation itu sulit terwujud.
Yang banyak beredar adalah berita serbaekstrem. Di satu kutub, informasi berasal dari kelompok yang menggambarkan Israel itu bengis dan maniak kekuasaan. Di kutub lain, informasi dipasok dari media Barat, yang selalu membenarkan aksi kekerasan dan represif Israel di daerah pendudukan. Tidak adanya hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia memperparah kondisi tersebut.
Namun, harapan yang nyaris padam karena mustahil terpenuhi itu kembali muncul pada 4 Januari lalu. Penyebabnya, sebuah e-mail dengan subjek Ambassador-Embassy of Israel in Singapore. Ajakan mengejutkan menjadi inti e-mail. "We are inviting you to come and learn more about Israel’s culture, economy, and history." Demikian bunyi surat yang di bawahnya tertulis nama Dubes Israel Yael Rubinstein tersebut.
Jalan seakan terbentang lapang ke Israel. Namun, butuh waktu hampir sebulan bagi Jawa Pos untuk memutuskan ikut dalam program kunjungan yang disponsori Kementerian Luar Negeri Israel tersebut. Kesediaan itu diambil setelah beberapa syarat, seperti bebas memilih topik liputan, mendapat akses ke narasumber dan target liputan, serta mendapat pengamanan, disetujui pihak Kemenlu Israel.
Selanjutnya, proses imigrasi dan verifikasi atas wartawan yang dikirim pun dilakukan.
Beberapa kali pihak Israel, melalui staf kedutaannya di Singapura, meminta konfirmasi tentang Jawa Pos, cara pandang atas beberapa isu, hingga pertanyaan yang sifatnya seperti tes pengetahuan umum hingga saat keberangkatan ke Israel. "Semua itu kami perlukan agar perjalanan ke Israel lancar," ujar Roni Lippmann, adviser for International Development Cooperation (Mashav), saat bertemu di Singapura. Di Negeri Singa, semua kebutuhan administrasi diserahkan. Mulai yang terpenting visa, buku perjalanan, sampai tip menghadapi pihak keamanan jika ada kondisi darurat. Karena tidak memiliki hubungan diplomatik, visa ke Israel hanya berupa secarik kertas dengan tulisan huruf ibrani seluruhnya. "Jika sudah darurat dan kepepet bilang saja Mokdan, mereka akan paham," ujar Councillor Deputy Chief of Mission Liat Lazimi Levi saat membagi tip keamanan. Apa itu Mokdan? "Katakan saja demikian, semoga kalian selamat," kata Levi dingin.
Saat di Israel selama empat hari dan lima malam, berdiri di checkpoint untuk menjalani verifikasi profil dan dokumen lama lambat laun semakin biasa. Sebagai negara yang pernah berperang dengan semua negara tetangganya, memang Israel harus selalu waspada. Belum lagi potensi serangan dari pejuang Palestina di daerah pendudukan memaksa Israel menempatkan tentara dan petugas sipil yang dipersenjatai di mana-mana.
Mengenal budaya, ekonomi, dan sejarah satu negara dalam empat hari, agenda pun harus dihitung cermat. Kami membuat agenda wawancara selang-seling dengan observasi mengunjungi satu tempat. Setiap hari rombongan harus berangkat dari hotel pada pukul 07.30 dan selalu sampai di hotel pukul 20.00. Satu-satunya waktu luang adalah di dalam bus, saat bergerak dari satu tempat menuju tempat lain. Namun, kesempatan istirahat satu-satunya itu selalu dipakai Oren Rozenblat, deputy spokesperson press bureau Kemenlu Israel, untuk memberikan preview tentang orang atau tempat yang akan dikunjungi.
Dari aspek geografis, Jawa Pos mendatangi semua titik penting di perbatasan Israel. Mulai pos pengamatan dataran tinggi Golan yang menghadap Syria, pos pantau di West Bank yang menghadap Lebanon, hingga Desa Netiv Haasara yang hanya berjarak 1,5 km dari desa Palestina di Jalur Gaza. Dari titik-titik tersebut, Jawa Pos mendengar langsung suara senapan menyalak dan lontaran roket dari wilayah seberang.
Jika ingin melihat siapa yang sedang adu tembak dan adu roket itu, kami bisa menggunakan teropong permanen. "Jangan khawatir, kami akan melindungi dan membawa ke tempat teraman jika ada serangan ke tempat ini," ujar Major Adam Avidan, komandan pasukan penjaga perbatasan Israel di Golan, saat melihat wajah khawatir Jawa Pos karena suara tembakan makin keras dari salah satu kota di wilayah Syria.
Berinteraksi dengan penduduk adalah momen yang sangat penting. Jawa Pos mendapat perspektif beragam soal konflik dengan Palestina, pemerintahan Benjamin Netanyahu, hingga kondisi perekonomian.Penduduk di sekitar perbatasan umumnya mengaku letih dengan kondisi konflik yang berkepanjangan. "Kami ingin seperti ibu-ibu di tempat lain, melepas anak ke sekolah, pergi ke ladang, dan menunggu suami pulang dengan tenang," ujar Hila Fenlon, ibu satu anak di Netiv Haasara.
Hila menceritakan, saat tentara Israel dan Hamas bentrok tahun lalu, desanya selalu menjadi sasaran roket pertama. Suasana yang sama diceritakan dokter Machiv, anggota tim medis Ziv Medical Center, yang kerap menjadi sasaran roket gerilyawan Hizbullah di Lebanon Selatan. "Jika perang pecah, rumah sakit selalu jadi sasaran. Padahal, seharusnya kami dilindungi," cerita dokter keturunan Rusia tersebut.
Namun, suasana darurat perang di Nativ Haasara dan dataran tinggi Golan lenyap saat memasuki Tel Aviv. Bahkan, jika gerombolan pemuda-pemuda berseragam militer dengan senjata laras panjang dihilangkan, Tel Aviv tak berbeda dengan Jakarta dan Surabaya, baik siang maupun malam.
Pembicaraan antarwarga didominasi urusan usaha, olahraga, pendidikan, dan perkembangan teknologi. Pantai dan pusat belanja dan kedai kopi ramai. Sedangkan saat malam, Tel Aviv juga kota 24 jam. Restoran dan pusat hiburan malam sesak oleh pengunjung. "Netanyahu masih bicara Israel Raya saat kami didesak oleh kenaikan harga apartemen," ujar Jareth Stark, penjaga kedai kopi di Pantai Mediterania, saat menemani Jawa Pos menunggu sunset.
Suasana agak berbeda ditemui di Jerusalem. Umumnya warga menghindar saat ditanya soal politik di ibu kota Israel dan kota suci tiga agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi tersebut. Mereka menyebut itu bukan topik yang menarik dan segera mengalihkan pembicaraan "Saya akan dampingi sepanjang hari jika kita membahas Al Aqsa dan keutamaan Al Quds (sebutan muslim untuk Kota Jerusalem). Kalau soal pemuda dan intifada, bukan saat yang tepat," ujar Umar Akdam, warga Arab di Israel, yang sehari-hari memandu turis muslim mengelilingi kompleks Al Aqsa.
Amir Waisbar, head of Center for Policy Research, lembaga kajian politik terkemuka di Tel Aviv, mengatakan, beragamnya opini warga Israel itu disebabkan permasalahan Israel-Palestina yang sudah berubah banyak dalam sepuluh tahun terakhir. "Saat ini sudah bukan lagi masalah tanah dan perbatasan, negosiasi di level grassroots lebih praktis, menyangkut kontinuitas suplai makanan dan kebutuhan hidup bagi warga Palestina, serta jaminan keamanan jangka panjang bagi warga Israel. Di luar itu sudah terlalu politis, masyarakat sudah tak peduli," ungkapnya dalam sebuah diskusi sebelum makan siang.
Tren itulah yang membuat dukungan terhadap partai berhaluan ultra kanan seperti Partai Likud yang sedang berkuasa terus merosot.
Waisbar mengungkapkan, di kalangan pemuda, sudah muncul gerakan untuk mewujudkan negara Israel dan Palestina bagi semua orang.
"Mereka menyerukan Israel bentuk baru yang melindungi orang Arab dan Yahudi. Begitu juga yang mereka kehendaki untuk negara Palestina," ujarnya. Di kelompok-kelompok pragmatis yang lagi naik daun tersebut, doktrin "umat terpilih (chosen people)" dan "tanah yang dijanjikan (the promised land)" dalam kitab suci Yahudi sudah tak relevan lagi. "Mereka menolak semua doktrin yang menutup mata dan merendahkan umat bangsa dan agama lain," sebut Waisbar. (*/hep/c7/kim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: