The Able Art, Bangun Akses untuk Seniman Penyandang Disabilitas, Lengan Makin Lemah, Tapi Motivasi Makin Menya

The Able Art, Bangun Akses untuk Seniman Penyandang Disabilitas, Lengan Makin Lemah, Tapi Motivasi Makin Menya

PANTANG MENYERAH: Winda di antara karya-karya lukisannya. THE ABLE ART FOR JAWA POS Menjadi penerang bagi sesama. Untuk tujuan itu The Able Art hadir. Tommy Budianto motor di balik gerakan tersebut. Dia membuka jalan agar karya para seniman penyandang disabilitas bisa menembus pasar, menjangkau lebih banyak orang, dan menambah sumber penghasilan bagi pembuatnya. SAHRUL YUNIZAR, Jakarta TUJUH tahun lalu, Winda Karunadhita mencoba mengambil alih tanggung jawab ayahnya. Menjadi tulang punggung keluarga. Pada Juni 2014, Ketut Punia, ayah Winda, meninggal. Meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Winda sebagai anak kedua, kakak laki-lakinya yang juga penyandang disabilitas, dan adik perempuan dari gadis kelahiran 1990 tersebut. Dengan kelainan genetik muscular dystrophy, Winda yang kala itu masih berusia 24 tahun harus menghidupi keluarganya. Melukis adalah jalan yang dia pilih. Winda mulai melukis pada 2015. Yang paling kuat menggerakkan dia untuk mendalami seni lukis adalah kepergian ayahnya. Lukisan menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan yang paling memungkinkan bagi dia kala itu. ”Namun, saat itu saya tidak memiliki cukup modal untuk membeli alat-alat lukis yang lengkap dan berkualitas,” ungkapnya. Adalah Nyoman Santiawan, seorang pengusaha asal Bali, yang membantu Winda untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan alat lukis pemberian Santiawan, Winda mulai belajar melukis. Dia tidak punya guru. Namun, dia tak menyerah. Di rumah, Winda melatih keterampilannya. Setiap hari dia menggores kanvas. Menuangkan kreativitas. Melukis apa saja. ”Kesulitan ada pada tangan saya,” imbuhnya. Kelainan genetik yang dia alami adalah penyebabnya. Kelainan itu membuat otot lengan Winda terus melemah. Karena itu, kemampuan lengannya untuk bergerak semakin hari kian terbatas. ”Saat melukis, saya harus memegangi tangan kanan dengan tangan kiri,” tambahnya. Keterbatasan itu memang membikin Winda kesulitan. Namun, dia tak lantas kehilangan semangat. Motivasilah yang mendorongnya terus bergerak menuntun Winda menemukan jalan keluar. Seiring berjalannya waktu, namanya kian bersinar. Lukisannya pun semakin dikenal. Kini dia menjadi salah seorang pelukis yang melahirkan lukisan beraliran Chinese style dan Balinese style. Dia juga menjadi salah seorang seniman yang digaet untuk bekerja sama dengan The Able Art besutan Tommy. Persis tiga tahun lalu, dia bergabung dalam gerakan tersebut. Pertemuan Winda dan Tommy terjadi dalam dua babak. Pertama, saat Winda hadir sebagai narasumber dalam salah satu program televisi swasta nasional pada 2016. Tommy yang kala itu masih fokus bekerja di bidang teknologi informasi menyaksikan Winda dari balik layar kaca. Dalam acara yang sama, seniman penyandang disabilitas lainnya juga hadir. Dia adalah Sadikin Pard. Dari sana, bibit-bibit The Able Art mulai muncul. Tommy ingin membantu Sadikin dan Winda agar punya askes lebih luas untuk menjual karya-karya mereka. Apalagi setelah dia tahu masih banyak seniman penyandang disabilitas yang sulit memasarkan karya mereka. Keinginan itu lantas direalisasikan Tommy dengan mendatangi beberapa seniman penyandang disabilitas yang berdomisili di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Dia juga berkali-kali mendatangi yayasan-yayasan penyandang disabilitas di berbagai daerah. Dari satu pintu ke pintu lain. Menawarkan kerja sama untuk mengkreasi dan memproduksi barang harian dari lukisan para seniman difabel. ”Dari lukisan kami repro jadi hijab, tote bag, kalender, dan macam-macam,” jelas dia saat dihubungi Jawa Pos (Radar Banyumas Group). Sadikin termasuk salah seorang seniman yang ditemui Tommy secara langsung. Demikian juga Winda. Pertemuan kedua antara Tommy dan Winda terjadi pada 2018. Saat itu Winda ingin membeli salah satu produk yang dijual The Able Art. ”Saya hubungi nomor handphone yang tertera, ternyata yang membalas founder-nya sendiri, Kak Tommy,” jelas Winda. Mereka kemudian lebih intens berkomunikasi. Tommy lantas mengajak Winda bekerja sama dengan The Able Art. Tawaran itu disambut baik oleh Winda. ”Saya tentu sangat bersedia join karena The Able Art menghasilkan produk-produk yang bagus dari lukisan saya dan teman-teman (seniman penyandang disabilitas, Red),” terangnya. Dari produk-produk itu, Winda mendapat tambahan penghasilan. Tambahan itu dipakai untuk membeli alat-alat lukis. Juga membantu sesama seniman penyandang disabilitas. Winda memang dikenal senang berbagi. Sesulit apa pun keadaannya, dia tidak pernah sayang untuk memberi. Sampai kini, sebagian penghasilannya disisihkan untuk proyek amal dan misi filantropi. Minimal 17 persen dari penghasilan yang dia peroleh disumbangkan. ”Untuk membantu penyandang disabilitas yang kurang mampu,” kata dia. Sikap itu pula yang membuat Tommy kagum kepada Winda. Ketika berbincang, Tommy mengaku belajar banyak dari Winda. Padahal, niat awal mendirikan The Able Art adalah membantu seniman penyandang disabilitas. Kini justru dia yang merasa terbantu. Dari Winda, Tommy menyadari bahwa memberi bisa dilakukan kapan saja. Bahkan di waktu dan situasi yang tidak mudah sekalipun. Serupa dengan kata-kata Andy F. Noya yang dipajang di laman milik The Able Art. Tidak perlu menunggu untuk bisa menjadi cahaya bagi orang-orang di sekelilingmu. Lakukan kebaikan, sekecil apa pun, sekarang juga. Begitulah The Able Art saat ini. Menjadi lilin kecil untuk para seniman penyandang disabilitas. Sejak awal, Tommy menyadari bahwa dirinya bukan seniman. Tidak mengerti cara menjual karya seni. Apalagi lukisan yang pasarnya khusus. Peminatnya pun orang-orang tertentu. Namun, keinginan membantu seniman penyandang disabilitas membuat dia menemukan jalan sendiri. Kemampuan di bidang teknologi informasi dimaksimalkan betul oleh Tommy. Dia membuat laman khusus The Able Art: theableart.com. https://radarbanyumas.co.id/rmt-pameran-lukisan-ibu-berkarya/ Dia juga membuat akun media sosial untuk gerakan itu. Juga membikin akun marketplace untuk memasarkan produk-produk yang dibuat dari lukisan para seniman penyandang disabilitas. Tommy tidak bergerak sendiri. Dia dibantu sang istri, Siane. Keduanya berbagi peran untuk membesarkan The Able Art. Tommy mengurus penjualan dan pemasaran produk, Siane memproduksi barang-barang yang dijual The Able Art. Semua barang itu diproduksi berdasar lukisan dari seniman penyandang disabilitas yang bekerja sama dengan mereka. Di The Able Art, setiap seniman dijamin memiliki hak cipta. Karena itu, dijadikan apa pun lukisan mereka, para seniman itu pasti mendapat bagian dari hasil penjualan. Rumusnya, 55 persen untuk seniman, 40 persen untuk operasional The Able Art, dan 5 persen untuk kegiatan amal. ”Untuk men-support teman-teman difabel lain yang baru mau belajar,” kata Tommy. Mereka tidak diberi uang. Namun, mereka mendapat alat lukis untuk mulai belajar, kemudian dipakai membuat karya yang dapat menambah penghasilan. Dengan cara itu, The Able Art berusaha membantu lebih banyak penyandang disabilitas yang memiliki keinginan untuk berkarya sebagai pelukis. Lewat jalan itu pula, Tommy yang sama sekali tidak paham lukisan membantu mereka. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: