PGOT Geruduk Dewan

PGOT Geruduk Dewan

[caption id="attachment_96135" align="aligncenter" width="100%"] DEMO : Paguyuban Pekerja Jalanan Banyumas melakukan aksi menuntut pencabutan Perda Nomor 16 Tahun 2015. DIMAS PRABOWO/RADARMAS[/caption] Minta Perda Dicabut PURWOKERTO - Perda Nomor 16 Tahun 2015 tentang penanggulangan penyakit masyarakat yang baru diundangkan akhir tahun 2015, sudah menuai protes dari Paguyuban Pekerja Jalanan Banyumas (PPJB). Padahal perda tersebut masih tahap sosialisasi. Rencananya, perda efektif setelah ada rumah singgah. Selasa (19/1) kemarin, ratusan massa yang tergabung dalam PPJB menggelar aksi demo di Kantor Kabupaten Banyumas. Mereka menuntut pencabutan Perda Nomor 16 Tahun 2015. Massa yang terdiri dari pengamen, pengemis dan gelandangan memaksa menerobos masuk ke kantor DPRD Banyumas, yang dijaga ketat oleh petugas kepolisian dan Satpol PP. Mereka juga minta adanya audiensi dengan Komisi D. Setelah sempat adu mulut dengan petugas, mereka akhirnya diperbolehkan masuk ke halaman DPRD Banyumas. Anggota dewan dari Komisi D antara lain Shinta laela, Didi Rudianto dan Dodet Suryondaru Maduranto, mencoba menemui massa. Namun merasa belum membuahkan hasil, massa mencoba masuk ke dalam ruang DPRD. Akhirnya mereka diizinkan masuk dan hanya ditemui oleh Dodet Suryondaru Maduranto. Dalam audiensi tersebut, Koordinator Aksi dari PPJB, Sapto Septiadi menyampaikan tuntutan mereka. Salah satunya adanya plang pelanggaran terkait perda Nomor 16 Tahun 2015, yang menyatakan jika ada seseorang yang memberikan uang akan terkena pasal serta didenda Rp 50 juta. Hal ini membuat PPJB merasa gerah, karena selama ini mereka menggantungkan hidupnya dari jalanan. "Jika tidak, pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan sebagai bentuk pengentasan kemiskinan, serta menyediakan sekolah gratis hingga jenjang perguruan tinggi. Karena fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara," kata Sapto. Lebih lanjut Sapto mengungkapkan, saat ini baik orang yang ingin memberi kepada pengamen ataupun pengemis, merasa takut dengan adanya perda. Terlebih lagi adanya plang larangan memberi yang ditempatkan di perempatan perkotaan Purwokerto. "Kita ingin plang ancaman pemidanaan pekerja jalanan dicabut, serta adanya transparasi dalam penyusunan dan pelaksanaan perda," ujarnya. Namun yang paling diinginkan yakni pencabutan perda, karena perda dianggap melanggar Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara. Selain itu, dalam pasal tersebut juga menerangkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, dan memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesui dengan martabat kemanusiaan. Audiensi yang berlangsung sekitar satu jam tetap tidak menemukan titik temu. Dodet menyarankan perwakilan untuk bertemu lain hari, dan berjanji akan membawakan beberapa anggota dewan yang lain. "Jadi silahkan ditulis keluh kesahnya, kemudian serahkan. Saya berjanji akan mengawal dan mempertemukan perwakilan dengan anggota Komisi D sekaligus dengan Ketua Komisi D," ujarnya. Terpisah, Wakil Ketua Komisi D Shinta Laela mengatakan, Selasa (19/1) kemarin pihaknya sudah berencana akan ada pertemuan antara Komisi D dengan dinas terkait untuk membahas Perda Nomor 16 Tahun 2015. Namun pertemuan batal karena adanya aksi demo. "Sebelum ada demo kita sudah memikirkan cara penanganan para gelandangan, pengamen dan pengemis. Kita mencoba mencarikan solusi dengan mengajak dinas terkait bertemu kami. Tapi malah ada demo seperti ini, akhirnya tidak jadi ada pertemuan," kata Shinta. Rencana pertemuan, menurut Shinta, untuk membahas persoalan yang berdampak terhadap perda baru. Komisi D menginginkan adanya solusi yang tepat untuk dampak yang disebabkan. "Dari Pemda seharusnya tidak hanya membuat peraturan saja, tapi juga memberi solusi yang tepat," tandasnya. (why/sus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: