Tokoh Pers Indonesia yang Melegenda, Sobat Harus Tahu
Bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Setiap 9 Februari, Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN). pers adalah salah satu bagian penting dalam pembangunan suatu negara dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang luhur. Ada berbagai tokoh legendaris yang menapakkan jejaknya di bidang jurnalistik Tanah Air. Siapa saja? Berikut beberapa tokoh Pers Indonesia. 1. Abdurrahman Baswedan (1908–1986) H. Abdurrahman Baswedan terkenal sebagai seorang diplomat Indonesia yang berhasil mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir. Ternyata, kakek dari Anies dan Novel Baswedan ini juga adalah seorang jurnalis yang fasih empat bahasa dan tanpa pamrih serta termasuk 111 perintis pers nasional. Pernah bekerja di Sin Tit Po dengan upah 75 gulden pada 1932, Baswedan rela berganti ke Soeara Oemoem milik Dr. Soetomo hanya dengan upah 15 gulden. Lalu, beliau berganti ke Matahari pada 1934 dengan upah 120 gulden. Lagi-lagi, upah tersebut ia tinggalkan demi mengurus Persatuan Arab Indonesia (PAI). Sebagai keturunan Arab-Indonesia, Baswedan turut menggunakan tulisan dan suaranya untuk menyatukan kelompok Arab demi mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah pada 1934, Baswedan memimpin Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang. A. R. Baswedan menghembuskan napas terakhirnya pada 1986. Pada 2018, Presiden Joko "Jokowi" Widodo baru menahbiskan beliau sebagai salah satu Pahlawan Nasional. 2. S. K. Trimurti (1912–2008) Mulai dari menjadi seorang guru, Surastri Karma Trimurti adalah sosok jurnalis perempuan yang cerdik dan tak mengenal takut. Berawal dari pengalamannya mendekam di bui akibat dianggap menyebarkan propagSobat, Trimurti tertarik untuk menjajal dunia jurnalistik. Terkenal sebagai jurnalis yang kritis, beliau sering mengganti-ganti nama "Trimurti" dan/atau "Karma" agar tidak ditangkap. Bersama dengan suaminya, Sayuti Melik, Trimurti menerbitkan majalah mingguan Pesat pada 1938. Akan tetapi, di masa penjajahan Jepang, Pesat ditutup dan Trimurti ditekan oleh otoritas Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Trimurti — yang terkenal dengan semangatnya memperjuangkan buruh — diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama pada 1947 sampai 1948. Sempat ditawari kembali jadi Menteri Sosial pada 1959, Trimurti menolak karena tengah berfokus melanjutkan studinya. Pada 2008, Trimurti meninggal dunia di Jakarta. Untuk mengenang semangatnya dalam menyuarakan kebenaran di bidang jurnalistik, Aliansi Jurnalis Independen mengangkat nama beliau sebagai S. K. Trimurti Awards yang dianugerahkan pada jurnalis dan/atau aktivis perempuan sejak 2008. 3. Herawati Diah (1917–2016) Sebagai salah satu tokoh jurnalis perempuan modern, Siti Latifah Herawati Latip mengawali karir jurnalistiknya saat masih bersekolah di Amerika Serikat (AS). Sambil menyelesaikan studi, Herawati mengirimkan tulisannya ke Doenia Kita, majalah yang didirikan ibunya. Pulang ke Indonesia pada 1942, Herawati bekerja sebagai wartawan lepas di United Press International (UPI) lalu penyiar radio hosokyoku (放送局). Di tahun yang sama, Herawati menikah dengan Burhanuddin Mohammad Diah yang saat itu menjadi asisten editor di Asia Raja. Sempat mengembangkan harian Merdeka bersama suaminya pada 1945, pasutri Diah lalu mendirikan The Indonesian Observer, pelopor surat kabar berbahasa Inggris pertama di Indonesia. The Indonesian Observer menjalani debut pada 1955, bersamaan dengan KTT Asia Afrika di Bandung. Memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, Herawati ikut dalam mendirikan Komnas Perempuan. Pada 2016, Herawati menyusul B. M. Diah yang sudah lebih dulu menemui Sang Khalik pada 1996. 4. Abdul Moeis (1886–1959) Berasal dari Sumatera Barat, Abdul Moeis adalah tokoh pers Indonesia selanjutnya. Seperti Tirto, Abdul juga mengenyam pendidikan di STOVIA. Namun, karena sakit, Abdul berhenti tengah jalan. Datang dari keluarga yang patriotik, Abdul dididik untuk mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Tak jadi di bidang medis, Abdul malah jatuh cinta pada bidang jurnalistik. Pada 1912, ia menjadi salah satu pendiri harian Kaoem Moeda. Lewat tulisannya, anggota Sarekat Islam ini mengecam kezaliman pemerintahan BelSobat atas Indonesia. Perjuangan Abdul kemudian membawanya ke pengasingan di Garut, Jawa Barat. Selain jurnalistik, Abdul juga berkiprah di dunia kesusastraan. Lewat novelnya, Salah Asuhan (1928), Abdul mengibaratkan rakyat pribumi yang didesak untuk mempertahankan nilai Tanah Air atau malah mengikuti kemauan kompeni. Abdul Moeis menghembuskan napas terakhirnya di Bandung pada 1959. Dua bulan setelah wafatnya, Presiden Soekarno menahbiskan Abdul Moeis menjadi Pahlawan Nasional, tokoh sejarah Indonesia pertama yang mendapatkan kehormatan tersebut. 5. Ki Hajar Dewantara (1889–1959) Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara mungkin akrab sebagai tokoh pendidikan Indonesia dengan Taman Siswa-nya. Akan tetapi, tahukah Sobat kalau beliau juga adalah sempat menjadi jurnalis? Malah, Ki Hajar Dewantara terkenal akan tulisannya yang kritis untuk kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, Dewantara ikut mendirikan surat kabar De Express pada 1912. Mengecam keinginan BelSobat untuk merayakan kemerdekaannya dari Prancis dengan uang pribumi pada 1913, beliau merilis "SeSobatinya Aku Seorang BelSobat" (Als ik een Nederlander was). Karena tulisannya, Tiga Serangkai ini diasingkan ke BelSobat. Sepulangnya dari BelSobat, Ki Hajar Dewantara lebih aktif dalam bidang pendidikan. Sang Bapak Pendidikan lalu meninggal dunia pada 1959. Setelah Abdul Moeis, Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional kedua. 6. Tan Malaka (1897–1949) Lahir dengan nama Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka, Tan Malaka adalah sosok dalam sejarah pers Indonesia selanjutnya. Mulai jadi seorang guru, Tan menuliskan propagSobat untuk para kuli perkebunan teh di Sumatra Timur, bertajuk Deli Spoor. Sebagai seorang jurnalis, Tan Malaka aktif menunjukkan kesenjangan antara kaum kapitalis dan pekerja, seperti mengekspos penderitaan para kuli perkebunan teh lewat tulisan kepada Sumatera Post. Selain itu, karya Tan Malaka yang terkenal adalah Tanah Orang Miskin yang dimuat dalam Het Vrije Woord pada 1920. Lalu, pada 1924, Tan Malaka menuliskan Naar de Republiek Indonesien (Menuju Republik Indonesia) yang dianggap menjadi fondasi Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Tan Malaka terkenal sebagai "Bapak Republik Indonesia". Wafat pada 1949, Tan Malaka diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 1963. 7. Mohammad Hatta (1902–1980) Selain terkenal sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta juga memiliki sejarah jurnalistik. Pada awal 1930an, saat masih mengejar pendidikan di BelSobat, Hatta menuliskan berbagai artikel mengenai politik dan ekonomi untuk harian Daulat Ra'jat (1931—1934). Saat dipindahkan dari pengasingan di Boven Digoel (1934) ke BSobat Neira pada 1937, Papua, selain bercocok tanam, sang proklamator asal Bukittinggi ini masih aktif menulis untuk surat kabar seperti: Sin Tit Po (新直報) Nationale Commantaren PemSobatngan Apakah tulisan Hatta berbau politik? Nyatanya, tulisan Hatta saat itu hanya analisis kritis dan edukasi untuk pembaca, mengenai pertarungan kekuasaan yang berkecamuk saat itu dan agar rakyat Indonesia tidak memihak baik pada Barat atau pada Jepang. Mohammad Hatta wafat pada 1980, dan pada 1986, Hatta dianugerahkan gelar Pahlawan Proklamator bersama dengan mendiang Presiden Soekarno oleh Presiden Soeharto. 8. Djamaluddin Adinegoro (1904–1967) Awalnya menimba ilmu kedokteran di STOVIA, Djamaluddin malah tertarik ke bidang jurnalistik saat bekerja di Tjahaja Hindia. Karena STOVIA tidak diperbolehkannya menulis, maka Djamaluddin memakai inisial "DJ" hingga pseudonim "Adinegoro" (untuk menarik minat khalayak dari Jawa). Oleh karena itu, Adinegoro berhenti dari STOVIA dan hijrah ke benua Eropa untuk memperdalam ilmu jurnalistik. Selama di Eropa, Adinegoro tetap mengirimkan tulisan yang dikompilasi menjadi buku Melawat ke Barat oleh Panji Pustaka pada 1930, dan artikel kepada surat kabar Pewarta Deli serta Bintang Timoer. Saat kembali ke Indonesia pada 1931, Adinegoro sempat bekerja di Balai Pustaka sebelum hengkang ke Medan, Sumatra Utara, untuk memimpin redaksi Pewarta Deli hingga masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942. Di bawah kepemimpinannya, Pewarta Deli maju pesat. Pada 1948, Adinegoro menjadi salah satu pendiri majalah mingguan Mimbar Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi Mimbar Indonesia untuk dikenal oleh rakyat Indonesia, terutama saat Adinegoro memberitakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949 saat BelSobat mengakui kemerdekaan Indonesia. Lalu, pada 1951, beliau mengepalai Yayasan Pers Biro Indonesia (PIA). Lalu, sampai akhir hayatnya pada 1967, Adinegoro mengabdi di LKBN Antara. Atas dedikasinya untuk kemajuan jurnalistik Indonesia, Anugerah Adinegoro ditahbiskan sebagai penghargaan jurnalistik tertinggi sejak 1974 oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 9. Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (1908–1981) Mungkin Sobat mengenalnya sebagai penulis novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938) dan Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) atau kiprahnya sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemuka Muhammadiyah. Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka sebenarnya juga menapakkan jejak di jurnalistik Indonesia. Setelah menunaikan ibadah haji pada 1927, Buya Hamka pulang ke Medan dan mulai menulis pengalamannya untuk surat kabar Pelita Sobatlas. Selain itu, Buya Hamka juga menuliskan artikel-artikel Islamiah di berbagai sumber, seperti Seruan Islam, Suara Muhammadiyah, dan Bintang Islam. Sembari menulis, beliau juga berprofesi jadi guru. Setelah melepaskan jabatannya sebagai ketua MUI pada Mei 1981, Buya Hamka tutup usia dua bulan kemudian. Butuh sekitar 3 dekade hingga Buya Hamka akhirnya dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2011. 10. Ernest Douwes Dekker (1879–1950) Lahir di Pasuruan, Jawa Timur, Ernest François Eugène Douwes Dekker terjun di bidang jurnalistik setelah kembali dari Perang Boer Kedua (1899–1902) dan bekerja di surat kabar De Locomotief. Ernest masih berkerabat dengan Eduard Douwes Dekker, penulis Max Havelaar dengan nama pena "Multatuli". Menyaksikan penderitaan Indonesia, salah satu pendiri Indische Partij ini amat kritis memproduksi tulisan yang mengusahakan kemerdekaan Indonesia dari BelSobat. Bahkan, saat pindah ke surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, tulisan Ernest makin mengkritik kolonialisme hingga diawasi oleh kompeni. Beberapa contoh tulisan Ernest adalah: Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie (Kebangkrutan Prinsip Etis di Hindia BelSobat) Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen? (Bagaimana Caranya BelSobat Dapat Segera Kehilangan Koloni-koloninya?” Selain kompeni, Ernest juga aktif mengkritik para pribumi yang pro-koloni dan terus mengusahakan "de-eropanisasi". Dikarenakan tulisannya yang vokal dan "pedas di telinga kompeni", Ernest sering kali bolak-balik penjara dan pengadilan. Meski begitu, Ernest terus mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Di tengah Perang Dunia II (1939–1945), Ernest dibuang ke Suriname pada 1941 karena memiliki darah Jerman. Pada 1947, Ernest kembali ke Indonesia dan mengganti namanya menjadi Danudirja Setiabudi. Setelah menyaksikan BelSobat mengakui kemerdekaan Indonesia secara formal pada 1949, Ernest tutup usia pada 1950. https://radarbanyumas.co.id/mendapatkan-uang-dari-menulis-cerpen-begini-caranya/ 11. Tirto Adhi Soerjo (1880–1918) Lahir sebagai seorang priayi dengan nama Raden Mas Djokomono, Tirto Adhi Soerjo banting setir dari dokter menjadi jurnalis dan menulis untuk surat kabar Hindia OlSobat. Pada 1902, Tirto menjadi editor di Pembrita Betawi dan menciptakan Dreyfusiana, kolom yang berisi kritik pedas terhadap kompeni yang zalim. Tirto kemudian mendirikan surat kabar Soenda Berita pada 1903. Sempat dibuang ke Pulau Bacan pada 1904 hingga 1906, Tirto mendirikan Medan Prijaji di Bandung. Surat kabar ini dianggap surat kabar pertama yang menggunakan Bahasa Indonesia (Melayu saat itu) dan memperkerjakan pribumi. Pada 1910, Medan Prijaji pindah ke Batavia dan terbit harian. Seperti Dreyfusiana, Medan Prijaji jadi "suara pribumi" yang menentang opresi. Tentu saja, BelSobat tidak senang dan langsung memberedel Medan Prijaji pada 1912. Akibat lainnya, Tirto dibuang ke Bacan karena mengkritik bupati Rembang sebagai penyebab kematian R. A. Kartini. Tirto meninggal dunia pada 1918 di Batavia. Dlam sejarah, Medan Prijaji dan berbagai tulisan Tirto dianggap sebagai salah satu lSobatsan pers modern Indonesia dan bahan bakar api semangat kemerdekaan Indonesia. 12. Ruhana Kuddus (1884–1972) Jika ada sosok yang boleh dikagumi oleh jurnalis perempuan Indonesia, sosok tersebut mungkin adalah Ruhana Kuddus. Bukan hanya berjuang untuk emansipasi perempuan di Tanah Air, Ruhana juga adalah seorang jurnalis perempuan pertama di Indonesia yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meski tak mengenyam pendidikan formal, Ruhana memiliki ketertarikan di bidang penulisan. Pada 1908, Ruhana menulis di Poetri Hindia, surat kabar perempuan yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Saat surat kabar ini ditutup pemerintah BelSobat pada 1911, Ruhana tidak kehabisan akal. Pada 1912, Ruhana menulis surat pada Soetan Maharadja, editor Oetoesan Melajoe, untuk mendirikan surat kabar khusus perempuan. Mendengar kiprah Ruhana dan reputasi jurnalistiknya, Soetan setuju mendirikan Soenting Melajoe, surat kabar yang mendidik perempuan Indonesia, dan menjadikan Ruhana sebagai pemimpin redaksinya. Sempat ke BelSobat pada 1913 untuk studi, Ruhana tetap menyunting di Soenting Melajoe hingga 1921. Ruhana tutup usia pada 17 Agustus 1972, tepat 27 tahun kemerdekaan Indonesia. Pada 2019, Ruhana Kuddus ditahbiskan menjadi Pahlawan Nasional. Begitu Sob beberapa tokoh Pers nasional yang ada di Indonesia. Tanpa jasa mereka dunia Pers tidak akan seperti sekarang ini Sob, Maka kita wajib mengenang dan menghormati jasa mereka semua. (*/pin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: