Cerita Sugiyo yang Puluhan Tahun Menjadi “Pawang” Hujan, Sudah Berdoa Maksimal pun Kadang Hujan Masih Turun

Cerita Sugiyo yang Puluhan Tahun Menjadi “Pawang” Hujan, Sudah Berdoa Maksimal pun Kadang Hujan Masih Turun

IKHTIAR: Sugiyo sedang menjalani ritual dan berdoa agar hujan tidak turun di rumah yang sedang menggelar hajatan. (AHMAD KHAIRUDIN/RADAR SOLO) SOLO - Hujan satu sisi menjadi berkah. Namun bagi orang yang memiliki hajat menjadi kekhawatiran. Nah, biasanya beragam cara dilakukan agar hujan tidak turun, baik secara ilmiah maupun spriritualitas. Sugiyo menekuni “profesi” tidak biasa ini. Menjadi “pawang’ hujan. AHMAD KHAIRUDIN, Sragen, Radar Solo Seorang pria lanjut usia (lansia) berpakaian putih dan berpeci sedang mengangkat satu tangannya ke langit sambil mulutnya komat-kamit membaca sesuatu. Dia melakukan ini di rumah salah seorang warga yang sedang menggelar hajatan pernikahan. Ya, dia adalah Sugiyo. Kakek berusia 70 tahun ini mengaku sedang membaca doa atau mantra agar hujan tidak turun sebelum pesta hajatan pemilik rumah selesai. Memang sudah puluhan tahun, pria asal Dusun Bangan, Desa Ketro, Kecamatan Tanon, Sragen ini menekuni “profesi” unik tersebut. Cucu Sugiyo, Wiratno menyampaikan sebelum menjalankan beberapa ritual, Sugiyo melakukan beberapa persiapan terlebih dahulu. ”Biasanya tidak tidur baik sehari semalam. Pada malam hari, simbah (Sugiyo) memanjatkan doa di salah satu tempat yang sepi. Termasuk menjauhi beberapa pantangan,” kata Wiratno. Wiratno menjelaskan, setiap “pawang” hujan punya tradisi masing-masing. Begitu pula dengan Sugiyo. Pawang hujan asal Kecamatan Tanon itu biasanya membawa sebuah pusaka yang dibungkus sebuah kantong dari kain. Tak hanya pusaka, persiapan uba rampe pun mengikuti kearifan lokal yang telah leluhur ajarkan. Setiap komponennya memiliki makna tersendiri. ”Seperti sapu gerang dan kipas sebagai perlambang untuk menyapu baik awan mendung, dan kesombongan diri yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa izin Sang Maha Kuasa,” Wiratno. Sapu yang di balik bermakna membalikkan semua godaan yang mengganggu ritual. Begitu pula dengan kembang piton, tujuh cabai dan bawang merah melambangkan agar senantiasa mendapatkan pertolongan dari Sang Maha Pencipta. Garam grasak atau garam kasar untuk mengusir tolak bala dari gangguan dari makhluk gaib yang mengganggu. ”Biasanya sehari sebelum acara sudah berada di lokasi sampai acara selesai. Banyaknya permintaan, terkadang sehari bisa berkunjung ke lima lokasi,” terangnya. Tidak hanya hajatan pernikahan, Sugiyo juga kerap diminta untuk menjadi “pawang” hujan di turnamen sepak bola dan beberapa acara lain. https://radarbanyumas.co.id/viral-fenomena-hujan-es-terjadi-di-kecamatan-sumbang-banyumas/ Manusia hanya berusaha, namun Tuhan yang menentukan. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, namun kadang hujan masih turun. Meski biasanya intensitasnya tidak terlalu tinggi. “Ritual dan doa merupakan usaha. Hasilnya tetap diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena Dia yang menentukan segalanya,” ujarnya. Selama puluhan tahun menekuni “profesi” ini, Sugiyo tidak memasang tarif untuk melayani jasanya ini. Namun, biasanya warga memberikan imbalan berupa uang. Tetapi tidak jarang hanya sekadar sembako. (*/din/radarsolo/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: