Polemik Upah Minimum dan Eksistensi Buruh Dalam Siklus Politik

Polemik Upah Minimum dan Eksistensi Buruh Dalam Siklus Politik

Oleh : Fauzi Faturrahim Kebijakan kenaikan Upah Minimum secara berkala seringkali menimbulkan polemik, yang tidak terlepas dari desas-desus intrik politik terkait penyusunannya. Peningkatan upah minimum padahal menjadi angin segar bagi kebanyakan buruh atau pekerja untuk meningkatkan penghasilannya meskipun hal tersebut juga sebenarnya berdampak pada sektor perekonomian. Polemik yang terjadi antara penguasa, pengusaha, dan para pekerja tidak dapat dikatakan sebagai hal yang mudah diindahkan. Bahkan demonstrasi besar- besaran pun tidak segan-segan dilakukan oleh para buruh yang menuntut kelayakan hajat hidup mereka. Menilik dari segi pengusaha yang cukup keberatan dengan kebijakan berkala ini menitikberatkan pada produktivitas kerja yang dipaksa harus lebih pressure dengan meningkatnya upah minimum. Selain itu, mereka pun tidak segan memberhentikan pekerjannya dengan dalih ketidaksanggupan dalam membayar upah sesuai ketentuan penguasa. Hal tersebut dikarenakan pengusaha diharuskan patuh hukum terhadap kebijakan penguasa. Dari segi penguasa, hal ini perlu dilakukan pengkajian lebih in depth meskipun sudah menjadi rahasia umum jika intrik politik seringkali turut bermain dalam langkah pengambilan kebijakan. Katakanlah perbedaan prosentase kenaikan upah minimum jelang pilkada dan beberapa tahun setelahnya yang biasanya terjadi penurunan kenaikan prosentase. Hal ini menjadi fokus keberatan pengusaha untuk tidak mencampuradukkan kepentingan politik dengan kebijakan upah minimum yang merupakan hal vital dan sensitif. Dari segi pekerja, hal ini menjadi harapan bagi mereka dalam meningkatkan penghasilan. Meskipun pada faktanya, kenaikan upah minimum sebenarnya berpengaruh pula pada tingkat inflasi dan daya beli masyarakat. Tak tertinggal pula kenaikan harga jual bahan-bahan pokok yang dirasa useless jika peningkatan upah minimum sejalan dengan meningkatnya hal tersebut. Suara Buruh Terkait Kebijakan Kenaikan Upah Minimum Akhir-akhir ini, Indonesia sedang disibukan dengan kasus demonstrasi terkait kebijakan peningkatan upah minimum yang terjadi di daerah, bahkan tuntutan terjadi hingga ke pusat pemerintahan. Adanya demonstrasi buruh memang bukanlah hal baru di telinga, sebab hal ini seperti sudah menjadi rutinitas kala adanya pembaharuan kebijakan upah minimum dan peringatan hari buruh. Biaya hidup yang semakin meningkat menjadi alasan vital yang disuarakan setiap demonstrasi, terlebih di masa pandemi. Seperti yang diberitakan di media online BBC dengan judul Upah Minimum Buruh: Kelompok Buruh Berencana Demo dan Mogok Nasional Tolak Formula Kenaikan UMP 2022 Versi Menaker yang Tak Cukup Penuhi Kebutuhan Layak https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59310358, bahwa para buruh mengklaim jika pemerintah dalam penetapan kebikajan upah minimum sudah tidak lagi menggunakan survei berdasarkan KLH (Kebutuhan Layak Hidup) yang didasarkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Adanya penghapusan survei KHL menggerus keberadaan buruh, padahal sebelum terbit PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, kenaikan upah minimum dilakukan berdasarkan survei KHL dan kenaikannya berada di kisaran 5-7%. Sementara untuk saat ini, melihat dari UMP (Upah Minimum Provinsi) DKI Jakarta yang saat ini Rp. 4.400.000, kenaikan hanya berada di prosentase 0,85% atau jika dirupiahkan Rp. 37.749. Buruh menilai bahwa para Menteri sudah terlibat pemufakatan jahat melalui pembuatan PP Nomor 36 Tahun 2021. Hal ini disampaikan terkait adanya rumusan bahwa kenaikan upah minimum terdapat istilah batas bawah dan batas atas untuk penetapannya. Sementara dalam hal ini, pengusaha akan cenderung memilih batas bawah karena dapat membayar pekerjannya dengan pilihan yang lebih murah. Demonstrasi sudah dilakukan secara lebih massif, hal ini disebutkan dalam pemberitaan media online Kompas dengan judul Simak Lagi Tiga Tuntutan Utama Demo Buruh Hari Ini https://money.kompas.com/read/2021/12/08/192510226/simak-lagi-tiga-tuntutan-utama-demo-buruh-hari-ini?page=all#page2. Tiga tuntutan yang dimaksud diantaranya, pertama yaitu buruh meminta semua gubernur di Indonesia untuk melakukan revisi terhadap Surat Keputusan Gubernur tentang Upah Minimum Provinsi karena bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 yang sudah menangguhkan kebijakan strategis yang berdampak luas termasuk keberadaan upah. Kedua, tuntutan untuk mencabut PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang dirasa memberatkan. Ketiga, buruh mengajukan surat kepada MK perihal amar putusan yang dibacakan Hakim Konstitusi terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk menghindari multitafsir. Teori Marxizt dan Neoklasik, Serta Benturan Kepentingan Antar Kubu Secara teoritis, sistem pengupahan didasarkan pada teori Marxist dan Teori Neoklasik. Pertama, pada sistem teori Marxist didasarkan pada teori nilai yang mengatakan bahwa setiap orang harus bekerja menurut kemampuannya dan setiap orang memperoleh upah menurut kebutuhannya. Pendek kata, upah harus disesuaikan dengan kebutuhan seseorang. Sementara pada teori Neoklasik didasarkan pada pandangan terkait asas nilai tambah marginal faktor produksi. Dalam hal ini, upah adalah imbalan atas usaha kerja yang diberikan pekerja kepada pengusaha (Simanjutak, 1985). Dua teori tersebut hanyalah landasan pikir untuk sistem pengupahan di suatu negara, namun faktanya sistem tersebut tidak terealisasi secara murni berdasarkan kedpemikiran dari teori tersebut. Hal ini kembali lagi pada karakteristik dan kultur masing-masing negara. Di Indonesia, kebijakan penetapan upah dilakukan oleh pemerintah (Suparjan & Suyatno, 2002). Secara umum, dunia kerja terdiri dari dua elemen dimana pengusaha memiliki alat produksi dan buruh memiliki tenaga kerja yang keduanya saling berkesinambungan untuk menghasilkan output yang diinginkan dari kedua belah pihak. Namun kekuatan dari pengusaha akan terlihat dari bagaimana ketatnya kontrol yang dilakukan atas para pekerjanya. Sehingga potensi benturan kepentingan yang terjadi diantara kedua belah pihak tersebut sangatlah potensial. Kepentingan bagi pengusaha tentu tidak lain adalah meningkatkan profit perusahaan, sementara dari kelas pekerja adalah perbaikan kondisi kerja serta sistem pengupahan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Kondisi bahwa pengusaha adalah kluster terkuat justru mampu menjustifikasi kepentingan perusahaan dengan menetapkan regulasi yang justru mengeksploitatif kepentingan buruh. Bentuk eksploitatif tersebut memicu adanya keingingan kuat dari kelas pekerja untuk dapat memperjuangkan nasibnya di dunia kerja, salah satunya melalui pembentukan organisasi buruh. Sejalan dengan hal ini, Watson (1980), mengemukakan bahwa hubungan sosial yang terjadi antara borjuis dengan proletariat pada dasarnya mengandung konflik fundamental karena hubungan mereka adalah hubungan yang bersifat sepihak dan eksploitatif. Upah menjadi hal krusial yang sering menyebabkan benturan antara pihak pengusaha dan buruh. Orientasi pengusaha yang terus meningkatkan laba dengan menekan biaya produksi yang termasuk didalamnya adalah upah, semakin menggerus nasib buruh yang mengakibatkan ketegangan. Keberadaan pemerintah dalam hal ini untuk menengahi hubungan konfliktual antara pengusaha dan buruh dengan melakukan penetapan upah minimum yang didasarkan pada survei kondisi masyarakat, hal ini untuk menghindari perlakuan semena-mena terkait pengupahan terhadap buruh. Kepelikan Implementasi Kebijakan Upah Minimum Menurut Sriyana (2001), alasan mengapa peran pemerintah dianggap penting dalam penetapan upah minimum, yaitu pertama jika dilihat dari porsi pembagian hasil produksi kepada faktor produksi, maka nilai yang diterima oleh tenaga kerja relatif rendah. Di Indonesia angka ini masih rendah yaitu 15% dibandingkan negara lain. Kedua, dalam siklus tahunan terjadi perubahan makro ekonomi yang mengarah pada peningkatan harga barang dan jasa yang dapat mengakibatkan penurunan upah riil bagi pekerja. Batasan tersebut diperlukan kebijakan pemerintah untuk memberikan batasan yang diberikan pengusaha kepada pekerjanya. Namun keberadaan regulasi terbaru dalam hal ini PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menjadi polemik melalui aturan dalam Pasal 26 Ayat 2 yang berbunyi “Penyesuaian nilai Upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah Upah minimum pada wilayah yang bersangkutan”. Meskipun keberadaan ambang batas tetap ada perhitungannya yang didasarkan pada formula tertentu, namun hal ini menjadi rawan intrik politik yang mentendensikan bahwa kebijakan dianggap terdapat kecondongan pada pihak kapitalis. Sementara prosentase kenaikan upah minimum pun tidak terlepas dari situasi politik, terutama jelang pemilihan dimana pihak kapitalis pun seperti turut andil didalamnya dengan berbagai kepentingan. Kenaikan upah buruh pada hakekatnya mempunyai implikasi luas, pada level makro maupun mikro. Kebijakn ini dirasa memiliki nuansa politis dan rawan mengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar. Kebijakan tersebut seolah menafikan munculnya permasalahan baru yang justru lebih besar yaitu adanya peningkatan pada jumlah pengangguran (Suparjan & Suyatno, 2002). Kenaikan upah minimum dapat menyebabkan perusahaan lebih memangkas biaya demi penghematan karena alokasi anggaran untuk upah, hal ini meminimkan peluang kerja yang mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran. Diperlukan kebijakan publik yang komprehensif, selalu munculnya kontroversi dalam setiap kali kebijakan penetapan upah minimum menyiratkan bahwa ada suatu permasalahan didalamnya. Pada konteks ini, masalah kebijaksanaan sebenarnya belum tentu suatu hal yang eksplisit, namun harus terlebih dahulu dicari dan diidentifikasi dengan benar (Islamy, 1986). Kebijakan upah minimum harus diformulasikan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti aspek keadilan, aspek penciptaan infrastruktur pendukung keberhasilan dan keberlangsungan dari kebijakan. Menurut Salamon (1992) menjelaskan bahwa prinsip keadilan dari peneapan upah minimum sudah harus mencakup beberapa hal diantaranya kesesuaian dengan kebutuhan hidup, status pekerjaan, produktivitas yang dihasilkan, rasa tanggung jawab pekerja, kontribusi pekerja, dan perbandingan upah untuk pekerjaan yang sama dengan yang diterapkan perusahaan lain. Penutup Kemunculan polemik antara yang pro dan kontra setiap kali diambilnya langkah pemutusan kebijakan kenaikan upah minimum pada dasarnya bersumber dari kurang transparannya proses pembuatan kebijakan. Pemerintah dalam hal ini masih terlalu mendominasi namun tidak ada persepsi sama dalam hal konsepsi pengupahan yang menjadikan hal ini faktor determinan sehingga mengakibatkan kurang trasnparannya penetapan kebijakan. Penetapan kebijakan selayaknya memperhatikan berbagai aspek yang terlibat didalamnya dari segala sisi untuk diambil kebijakan yang paling bijak. Variabel-variabel seperti tipologi perusahaan, kemampuan perusahaan, laju inflasi, produktivitas perusahaan dan pertumbuhan ekonomi di daerah juga dapat menjadi pertimbangan. Polemik buruh menjadi sesuatu yang terus muncul setiap tahunnya yang mengindikasikan bahwa sebenarnya ada permasalahan yang belum tuntas, namun menjadi indikator bahwa terdapat kesadaran dari buruh dalam menuntut hak-haknya. Namun dalih sebagai penyesuaian perubahan makro ekonomi terkadang masih belum dapat selaras dengan pendapatan realitas dari pekerja. (*) Referensi: • Anwar, M Choirul (2021). Simak Lagi Tiga Tuntutan Utama Demo Buruh Hari Ini. Diakses pada 09 Desember 2021. https://money.kompas.com/read/2021/12/08/192510226/simak-lagi-tiga-tuntutan-utama-demo-buruh-hari-ini?page=all#page2. • BBC News (2021). Upah Minimum Buruh: Kelompok Buruh Berencana Demo dan Mogok Nasional Tolak Formula Kenaikan UMP 2022 Versi Menaker yang Tak Cukup Penuhi Kebutuhan Layak. Diakses pada 09Desember2021. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59310358. • Islamy, M. Irfan (1986). Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bina Aksara. • Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan. • Salamon, Michael (2002). Industrial Relation, Theory and Practice. New York: Prentice Hall International. • Simanjuntak, Payaman (1985). Pengantar ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: FE UI. • Sriyana, Jaka (2001). UMP Naik Produktivitas Naik. Kedaulatan Rakyat. 26 Desember. • Suparjan & Hempri Suyatno (2002). Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 5 (3). 295-313. • Watson, Tony J .(1980). Sociology of Work Industry. London: Routledge and Keagan Paul. *) Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (F2A020010)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: