Kades Ambil Risiko Kehilangan Suara Warga Demi Integritas di Desa, Umumkan Uang Sogokan sebagai Uang Bantuan u

Kades Ambil Risiko Kehilangan Suara Warga Demi Integritas di Desa, Umumkan Uang Sogokan sebagai Uang Bantuan u

PENUH TEROBOSAN: Wahyudi Anggoro Hadi yang telah dua periode memimpin Desa Panggungharjo, Bantul. (Ilham Wancoko/Jawa Pos) Dua periode di bawah kepemimpinannya, sampah, anak putus sekolah, atau ibu hamil yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan ditangani desa. Wahyudi Anggoro Hadi juga menerapkan sistem penggajian berbasis kinerja untuk para perangkat Desa Panggungharjo, Bantul. ILHAM WANCOKO, Bantul REAKSI Wahyudi Anggoro Hadi mengagetkan seorang ketua RT. ”Saya ini menjaga martabat panjenengan, harga lonte di Pasar Kembang itu Rp 150 ribu. Lha, ini suara warga desa mosok hanya Rp 50 ribu,” katanya kepada si ketua RT. Ketika itu, pada 2011, Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, bersiap menghelat pemilihan kepala desa (pilkades). Dan, rupanya si ketua RT berusaha meminta ”uang politik” kepada Wahyudi. Penolakan Wahyudi itu tentu berisiko kehilangan setidaknya 50 suara warga. Namun, Wahyudi yakin warga bakal tetap memilihnya dengan jaminan keterbukaan anggaran dan kesempatan warga turut menentukan kebijakan. ”Saya gantikan semua itu dengan jaminan menyelesaikan persoalan mendasar warga,” ujar alumnus Farmasi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, tersebut. Wahyudi memandang lawan politik bukanlah pesaingnya dalam pilkades. Melainkan warga yang sudah biasa bermain politik uang dalam demokrasi. ”Pemimpin yang berengsek itu hasil dari pemilih yang lebih berengsek. Maka, titik hadap saya konstituen,” tegasnya. Karena itulah, dalam setiap kesempatan, Wahyudi selalu mengikrarkan perangnya terhadap politik uang secara terbuka. Namun, berbagai kedok politik uang tak lantas berhenti diarahkan kepadanya. Pernah suatu kali dia diundang memberikan sambutan di pengajian sebuah masjid besar. Tiba-tiba, salah seorang jamaah bertanya, ”Pak, mau infak berapa?”. Langsung saja Wahyudi menjawab tidak akan berinfak. Sebab, memang dia tidak biasa berinfak di masjid tersebut. ”Kalau saya infak, tentunya akan dihubungkan dengan kontestasi pilkades,” ujarnya. Lagi-lagi, Wahyudi berisiko kehilangan 600 pemilih dari jamaah masjid itu. Namun, Wahyudi kembali memberikan rasionalisasi tentang caranya bisa menyelesaikan persoalan mendasar warga. ”Saya berupaya mengubah pola relasi antara pemerintah desa dan warga,” tuturnya. Keyakinannya terbukti. Dia berhasil memenangi pilkades Panggungharjo 10 tahun silam tersebut. Dari sana mulailah dia melakukan perubahan demi perubahan, gebrakan demi gebrakan. Salah satunya, perkara relasi warga dengan pemerintah desa yang selama ini dinilainya hanyalah administratif. Warga mendatangi kantor lurah cuma untuk mengurus KTP, sertifikat tanah, atau kalau mau menikah. ”Ini hubungan administratif yang mendasar. Saya perluas dimensi pelayanan publik hingga ke pelayanan barang dan jasa,” jelasnya. Dengan begitu, persoalan sampah, anak putus sekolah, dan ibu hamil yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan menjadi urusan pemerintah desa. Dia mengungkapkan, persoalan sampah selama ini tidak pernah berhasil ditangani warga. Jadilah sebulan pertama saat menjabat kepala desa, yang dia lakukan adalah mengundang para penarik sampah swasta. ”Mereka kami datangkan untuk mempelajari pola bisnisnya,” ujarnya. Sekaligus untuk mengetahui spot yang tidak diurusi sehingga tidak mengganggu bisnis dari para penarik sampah ini. Persoalannya, di Panggungharjo, terdapat sebuah tempat yang secara fungsional digunakan untuk membuang sampah alias tempat pembuangan sampah liar. Namun, saat akan didirikan tempat pengelolaan sampah, warga justru menolak. ”Ya, saya tanya, silakan cari lurah (sebutan lama di Jawa untuk Kades, Red) mana yang mau mengurusi pembalutnya istri njenengan. Lurah mana yang mau mengurusi popok bayi warga, bahkan kondom bekas warganya. Ini saya sudah memosisikan diri serendah-rendahnya,” tegasnya. Akhirnya, warga setuju membangun pengelolaan sampah tersebut. Persoalan tak lantas selesai. Ada masalah lain: kemampuan perangkat desa yang selama ini hanya administratif. Itulah yang membuat upaya memperluas pelayanan desa terhambat. ”Ya, perangkat desa ini tidak mampu mengelola bisnis sampah,” kata Wahyudi. Karena itu, dibuat badan usaha milik desa (BUMDes) pengelolaan sampah. Lewat BUMDes itulah, orang-orang yang mampu dan memiliki keinginan belajar direkrut. ”Warga desa juga yang direkrut dan akhirnya memperluas akses warga dalam menentukan kebijakan pemerintah desa,” jelasnya. Dalam rangka mendidik warga yang bekerja di BUMDes itulah, Panggungharjo hanya memiliki satu unit BUMDes sejak 2013–2017. Namun, setelah 2017, BUMDes bertambah menjadi lima unit usaha. Wahyudi juga berupaya memperbaiki budaya kerja perangkat desa. Dia selalu menjadi orang yang pertama datang dan terakhir pulang dari kantor desa. Bahkan, membersihkan WC dilakukannya hampir setahun pertama. ”Saya juga ngosek WC untuk memberikan keteladanan,” ungkap Kades dua periode sejak 2011 itu. Kebiasaan menjadi orang pertama datang dan terakhir pulang serta ngosek WC itu sempat menjadi bahan taruhan perangkat desa. Mau sampai kapan Wahyudi bertahan melakukan itu semua. ”Tapi, begitu sudah enam bulan, perangkat desa mulai sadar ini serius begitu terus,” jelasnya. Setelah hampir tiga tahun pemerintah desa yang dipimpinnya berjalan, hanya ada tiga perangkat desa di kubu Wahyudi. Kubu yang mengubah birokrasi. Wahyudi pun memutuskan membuat sistem penggajian berbasis kinerja. ”Dengan tiga orang perangkat desa ini, saya buat sistem yang memaksa 29 perangkat desa lain mengubah kinerjanya,” tegasnya. Salah satu indikator kinerjanya, 140 jam kerja setiap minggu. Bila perangkat desa tidak memenuhi indikator itu, gajinya akan dipotong. Tentu saja, ada permasalahan dengan pemerintah kabupaten yang harus diselesaikan. Namun, akhirnya semua berjalan. Yang dipotong itu tunjangannya bila perangkat desa tidak memenuhi jam kerja. ”Dengan begitu, punishment and reward berjalan. Bagi yang jam kerjanya banyak, gajinya akan bertambah. Untuk yang tidak sampai, yang berkurang gajinya,” paparnya. Wahyudi juga menolak tegas berbagai sodoran uang yang berhubungan dengan desa. Pada umumnya, Kades akan dengan mudah mendapatkan uang dari berbagai proyek. Mulai pembangunan ruko, toko, hingga tower base transceiver station (BTS). Awalnya, Wahyudi terus menolak setiap sogokan dari pelaku usaha yang membangun sesuatu di desanya. Namun, kemudian dirasakan uang tersebut mubazir dan tidak berguna untuk warganya. ”Akhirnya, semua uang semacam itu kami legalkan sebagai uang bantuan pihak ketiga ke desa,” tuturnya. https://radarbanyumas.co.id/waduh-mantan-kades-cabut-puluhan-tiang-lampu-di-pati-ini-sebabnya/ Tentu uang bantuan pihak ketiga ini diumumkan kepada warga desa. Dia menuturkan, ini solusi agar warga desa mendapatkan manfaat dari pembangunan di desa. Kini Wahyudi sudah dua periode memimpin Panggungharjo. Kebiasaannya dalam berdemokrasi bersih membuat warga desa mulai risi bila sedang ada pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum presiden (pilpres). Politik uang dalam pilkada dan pilpres ini menjadi rasan-rasan bila terjadi di Panggungharjo. Yang melakukannya diyakini pasti korup saat menjabat nanti. ”Paling yo njaluk balen (paling ya minta uangnya balik),” ucap salah seorang warga. (*/c14/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: