Sempat Bingung Cari Pengganti "Daun Spanyol"

Sempat Bingung Cari Pengganti

HASIL KARYA: Eno saat berpose didepan hasil karya ukir daun nangka yang dipajang di salah satu dinding rumah yang sekaligus menjadi galery kreatifnya. Hasil Kerajinan Ukir Daun Nangka Banyumas Tembus Taiwan Daun nangka yang kelihatannya tak berharga, menjadi berbeda di tangan Sumarno. Pemuda berumur 23 tahun asal Patikraja, Banyumas itu menembus pasar mancanegara dengan kerajinan ukir daun nangka buah tangannya. PUPUT NURSETYO ARIADI, Banyumas Kerajinan yang ditekuni Sumarno belum lama. Lajang yang akrab dipanggil Eno itu baru memulai usahanya setahun terakhir. Kini, dia memanfaatkan rumahnya di Grumbul Srowot, Desa Kedungwuluh Kidul, Patikraja, Banyumas sebagai 'workshop'. Namanya, Galeri Ukir Daun Nangka. Galeri tersebut memang terbilang sederhana. Berdinding kayu dan berlantai tanah. Tidak banyak perabotan yang terlihat. Kursi dan meja terbuat dari kayu dan anyaman bambu. "Agak susah nyari rumah saya ya, " tanyanya. Satu-satu, Eno menunjukkan hasil karyanya. "Yang sebelah sini saya bikin dari setahun lalu. Kemasannya seperti itu, masih belum terlalu bagus", tuturnya sambil menunjuk ke salah satu bagian dinding ruma. Berbagai macam bentuk ukiran daun nagka dikemas dalam pigura tanpa kaca. Tampak tertata rapi. Karya Eno didominasi ukiran berupa ayat-ayat Alquran dan siluet wajah. Semua berwarna keemasan. Selain itu, ada pula yang berbentuk tokoh wayang, hewan, dan ilustrasi abstrak dengan sentuhan warna warni. Eno menuturkan, awalnya dia terinspirasi dari tontonan di Youtube sebelum menekuni usaha ukir daun nangka. "Ada orang Spanyol bikin ukiran dari daun. Dia pakai ukiran entah dari daun apa. Kayanya di sini tak ada. Saya penasaran, dan mulai coba-coba," kenangnya. Awalnya pria tamatan SMP ini justru tidak memakai daun nangka. Dia sempat mencoba beberapa daun yang dianggapnya cocok jadi bahan eksperimen. Pertama daun Rambutan. Namun daun itu tidak membuahkan hasil maksimal. Dia pun berusaha mencoba daun lain seperti daun duku dan daun kopi. Namun hasilnya tetap saja. Zonk. Penyebabnya serupa. Daun-daun tersebut ternyata terlalu rapuh untuk diukir. Sampai pada akhirnya, Eno mencoba menggunakan daun nangka sebagai pengganti "daun Spanyol" yang dilihatnya di Youtube. "Daun nangka itu tak gampang pecah dan enak diolah", sambungnya. Produksi di daun nangka ini tidak serta merta dengan langsung proses ukir. Untuk pembuatan kaligrafi sederhana seperti asmaul husna, Eno membutuhkan waktu satu sampai dua jam untuk durasinya . Pertama, daun nangka kering harus diratakan dulu permukaanya. Dengan menggunakan alat sederhana pun bisa. Eno punya cara gampang. Dia menyelipkan daun nangka kering tersebut kedalam buku. Lantas, ditimpa benda berat selama beberapa waktu. Setelah permukaan daun rata, Eno mulai membuat pola di atas daun yang akan diukir dengan spidol. Pola yang sudah terbentuk lantas dipotong hati-hati. "Pakai pisau kecil atau cutter saja," katanya. Untuk sentuhan akhir, daun lantas diwarnai cat semprot sesuai warna yang diinginkannya. Tunggu cat mengering, Eno baru kemudian mengelem daun ke dalam bingkai. "Ini saya juga butuh proses belajar. Dulu memang ada pengeleman yang kurang rapih, bingkainya kurang sesuai. Tapi kalau sekarang, ya sudah lumayan bagus lah," lanjutnya. Eno pun menunjukkan hasil karya lainnya yang tergantung di tiang utama rumahnya. Meski tidak terlalu berbeda namun nampak sentuhan ukiran yang semakin rapi. Kemasannya semakin elegan dengan pigura dominan warna hitam. Itusemakin menonjolkan ukiran daun berwarna keemasan. Setelah ukiran daun dirasa sudah layak jual, Eno mencoba menawarkannya melalui situs online dan media sosial seperti Facebook. "Awal-awal peminatnya kurang, tapi lama-kelamaan responnya bagus. Kebanyakan pesanannya itu ayat-ayat Alquran dan siluet. Pemesan itu untuk kado ulang tahun atau pernikahan", paparnya. Kini dia kebanjiran order yang kebanyakan dari luar daerah. Bahkan, ada juga dari Thailand dan Australia. Terbaru order datang dari Taiwan. Harga yang dibanderol Eno bervariasi. Mulai Rp 70 ribu sampai Rp 180 ribu. Tergantung besar dan tingkat kesulitan gambar. Itu untuk harga lokal. Eno mematok harga berbeda untuk penjualan ke luar negeri. Kisaran Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu. "Saya ngga jual mahal-mahal, yang penting lakunya banyak. Kalau kemahalan nanti jarang ada yang beli. Yang penting bisa untuk pemasukan dan masih bisa sisa untuk tabungan," lanjutnya. Dalam sebulan, Eno 'baru' berhasil meraih omset di kisaran Rp 3 juta. Eno kini ingin terus mengembangkan usahanya. Apalagi setelah sang bapak berhenti menderes karna faktor usia. Nyaris kini dia jadi tulang punggung bagi keluarga. "Saya masih punya adik itu harus saya pikirkan. Semua saya rintis dari bawah. Jalan masih panjang, " tutup Eno. (dis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: