15 Bulan Dimakamkan, Waluyo Tiba-Tiba Pulang ke Rumah, Saya Ingin "Hidup Lagi" agar Dapat Raskin

15 Bulan Dimakamkan, Waluyo Tiba-Tiba Pulang ke Rumah, Saya Ingin

Jalani Tes DNA hingga Sidang di Pengadilan Seminggu dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, Waluyo dinyatakan meninggal dan dikuburkan keluarganya. Akta kematian pria 61 tahun itu pun sudah diterbitkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jogjakarta. Tapi, 15 bulan kemudian, dia muncul kembali dan hidup sampai kini. 15 Bulan Dimakamkan, Waluyo Tiba-Tiba Pulang ke Rumah, Saya Ingin Hidup Lagi agar Dapat Raskin FERLYNDA PUTRI, Jogjakarta Waluyo terlihat sehat walafiat saat ditemui Jawa Pos di rumahnya, Suryoputran PB 3, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Jogjakarta, Rabu pekan lalu (31/8). Bersama Anti Ristanti, putri keduanya, dia menikmati Jogja yang sore itu tengah mendung. Meski begitu, senyum Waluyo tetap mengembang menyambut Jawa Pos. "Monggo masuk, Mbak," ujarnya ramah. Tampak gigi yang ompong menghiasi wajah sepuh Waluyo, pria yang menggegerkan Jogja gara-gara dikabarkan "hidup kembali" setelah 15 bulan dimakamkan karena mengalami kecelakaan. Untuk beberapa saat, Jawa Pos sempat mengamati gerak-gerik Waluyo guna meyakinkan bahwa bapak dua anak dan satu cucu itu benar-benar manusia seperti pada umumnya. Pasalnya, ramai diberitakan, Waluyo sesungguhnya sudah meninggal, 15 bulan silam. Tepatnya pada 7 Mei 2015, sepekan setelah dirawat di RSUP dr Sardjito. Waluyo menjadi korban tabrak lari di Jalan Wonosari, Jogjakarta, 1 Mei 2015. Keluarganya mengetahui keberadaan Waluyo di rumah sakit setelah Anti Ristanti melihat foto bapaknya di grup Facebook Info Cegatan Jogja (ICJ). ICJ adalah grup layanan informasi bagi masyarakat Kota Gudeg tentang apa saja. Mulai info orang hilang, info kecelakaan, kemacetan lalu lintas, banjir, dan sebagainya. Nah, saat itu Anti melihat, foto orang korban kecelakaan yang dipajang di laman Facebook ICJ tersebut sangat mirip dengan wajah Waluyo, bapaknya. Bahkan, ciri-ciri fisiknya persis. Apalagi, sudah cukup lama keberadaan Waluyo tidak diketahui keluarga. Sejak 10 Januari 2015, Waluyo minggat. Dia meninggalkan rumah, katanya, untuk mencari pekerjaan. Sebelum minggat, anak dan istrinya sering memprotes Waluyo yang menjadi penganggur. Selama bertualang itulah, Waluyo tak pernah memberikan kabar. Padahal, keluarganya sangat berharap dia bisa segera pulang. Sebab, Agustus 2015, anak ragilnya, Anti, mau menikah. Karena itu, kabar kecelakaan yang dialami Mr X yang memiliki ciri-ciri mirip dengan Waluyo di grup Facebook ICJ tersebut membuat Anti dan ibunya terhenyak. Dia pun cepat-cepat mengecek langsung Mr X di RSUP dr Sardjito. Korban disebut Mr X karena sama sekali tidak membawa kartu identitas. Berdasar rekam medis RSUP dr Sardjito, Mr X yang kemudian diakui keluarga Anti sebagai Waluyo, bapaknya, mengalami trauma di kepala. Bahkan, dari foto rontgen, terlihat tengkorak kanan korban pecah. Sementara itu dua kakinya patah. Sejak dibawa ke rumah sakit hingga dinyatakan meninggal, Mr X alias Waluyo mengalami koma. Setelah yakin bahwa Mr X yang dirawat intensif di RSUP dr Sardjito itu adalah Waluyo, keluarga Anti langsung ikut merawatnya. Mereka secara bergantian menungguinya. "Kami sangat yakin kalau orang yang kami tunggui di Sardjito (RSUP dr Sardjito, Red) itu adalah bapak (Waluyo)," tutur Anti. Keyakinan itu terlihat dari kemiripan wajah maupun ciri-ciri fisik lainnya. Menurut istri Waluyo, Katirah, di tubuh Mr X terdapat bekas luka di bawah ketiak kiri. Bekas luka yang sama ada di tubuh Waluyo. "Kami tidak ragu lagi bahwa orang itu ya bapak kami," tegas Anti. Meski dalam kondisi koma, Mr X alias Waluyo selalu merespons setiap saudara atau keluarganya datang. "Bapak seperti mau mengajak ngomong, tapi tak bisa." Apalagi, beberapa saat menjelang ajal, wajah Mr X terlihat sangat mirip dengan wajah ayahanda Waluyo (kakek Anti). "Bapak meninggal setelah adik kesayangannya datang," ujar ibu satu anak itu. Begitu dokter menyatakan bahwa orang yang mirip Waluyo itu telah meninggal, anak-istri Waluyo pun bertangisan. Mereka merasa kehilangan. Keluarga pula yang kemudian merawat jenazah serta menguburkannya di pemakaman Desa Suren Kulon, Kelurahan Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, Jogjakarta. Makam Waluyo bersebelahan dengan makam ibunya. Lima belas bulan setelah dimakamkan, tepatnya 2 Agustus 2016, Waluyo "hidup kembali". Dia pulang ke rumahnya. Dengan percaya diri, Waluyo mengetuk pintu rumahnya yang terletak di sekitar Keraton Jogjakarta itu. Sekali, dua kali, ketukan pintunya tak dibukakan keluarganya. Baru pada ketukan dan salam ketiga, pintu rumahnya dibuka. Yang membukakan putrinya, Anti. Tapi, bukannya gembira sang ayah pulang, Anti mengaku justru ketakutan. Anti kaget melihat ayahnya "hidup kembali" "Karena saya dan ibu menunggui di Sardjito. Bahkan memakamkan ketika bapak dinyatakan meninggal," ujar perempuan berjilbab tersebut. "Saya yakin yang datang waktu itu hantu bapak," imbuhnya. Karena itu, Anti tidak langsung membukakan pintu. Dengan gemetar dia amati tubuh bapaknya dari kepala sampai kaki. "Saya ingin memastikan apakah kaki bapak napak tanah atau tidak," cerita dia. Setelah percaya bahwa orang di depan matanya tersebut adalah bapaknya yang selama ini sudah dinyatakan meninggal, Anti menangis histeris. Dia peluk bapaknya kuat-kuat. Begitu pula Katirah, ibu Anti, yang muncul kemudian. Dia juga menangis sambil memeluk suaminya itu. Dia terharu dan bahagia karena suaminya "hidup kembali". Menurut penuturan Waluyo, dirinya tidak pernah meninggal seperti sempat diakui anak-istrinya. Selama setahun lebih dia minggat ke Semarang. "Saya pergi dan tidak memberi kabar karena saya mangkel sama keluarga. Mereka selalu menyuruh saya mencari nafkah. Padahal, saya sudah tua dan becak saya disita," cerita Waluyo. Empat bulan pertama setelah pergi dari rumah, Waluyo masih tinggal di Jogja. Dia menggelandang di sekitar kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Untuk kebutuhan sehari-hari, dia mencari barang bekas di sekitar kampus. Kemudian menjualnya ke tengkulak barang bekas. Setelah punya uang untuk bekal, Waluyo melanjutkan petualangan ke Semarang. Dia ingin mencari pekerjaan. Hebatnya, perjalanan ke Semarang dilakukannya dengan berjalan kaki dari Jogja. Dari Jogja Waluyo hanya membawa uang Rp 20.000. Di sepanjang jalan, kalau menemukan uang jatuh, dia mengumpulkannya. Uang itu dia pakai untuk membeli makan dan minuman selama perjalanan ke Semarang. Di Kota Lumpia tersebut Waluyo juga hidup menggelandang. Awalnya mengumpulkan barang bekas. Lalu menjadi tukang parkir dan terakhir jadi petugas kebersihan kota. Dia tidur di emperan toko daerah Simpang Lima. Sebagai petugas kebersihan, gajinya hanya Rp 700.000 sebulan. "Tapi, selama di Semarang, hati saya tidak tenang. Saya merasa ingin pulang terus," ungkapnya. Menjelang Ramadan, Waluyo pun bertekad untuk pulang setelah Lebaran. Maka, dia pun menabung untuk bekal pulang. Hingga akhirnya terkumpul Rp 400.000. Saat pulang ke Jogja, Waluyo mendapat tumpangan kenalannya di Semarang. "Saya diantarkan sampai rumah menggunakan mobil," imbuhnya. Rumahnya yang di dalam gang membuat Waluyo harus berjalan kaki sampai di depan pintu. Nah, saat berjalan kaki itulah, banyak tetangganya yang menghampiri dan menyalaminya. Tapi, Waluyo tidak curiga. "Lha saya kira mereka nyalami karena saya lama tidak pulang," ucapnya. Akhirnya Waluyo bertemu dengan anak-istri dan mengerti bahwa dirinya telah dimakamkan setahun lalu. Keluarga dan para tetangga menganggap Waluyo telah tiada. Sejak itu kepulangan Waluyo menggegerkan Jogja. Kabar yang muncul simpang siur. Intinya, Waluyo dianggap "hidup kembali". Kepulangan Waluyo juga menarik perhatian para pejabat di Jogja untuk menemuinya. Dia juga diundang sebuah stasiun televisi swasta ke Jakarta. "Saya ke Jakarta naik pesawat. Deg-degan," ceritanya. Dari saran berbagai pihak, Waluyo berniat menghidupkan lagi hak-haknya sebagai manusia. Pasalnya, akta kematian dirinya telah terbit. Negara telah mencatat bahwa Waluyo sudah meninggal dunia. Hak-haknya sebagai warga negara Indonesia tentu sudah hilang. "Saya ingin diakui telah hidup lagi. Biar saya dapat bantuan raskin (beras untuk rakyat miskin, Red)," katanya. Dibantu beberapa perangkat desa, Waluyo pun mengajukan diri untuk dinyatakan hidup oleh keluarganya. Tetapi, prosesnya ternyata tidaklah mudah. Setelah berkas-berkas yang dibutuhkan dikumpulkan dan diserahkan ke kecamatan, Waluyo masih harus menjalani tes DNA. Untuk mendapatkan kepastian hukum, Waluyo harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jogjakarta. Hingga saat ini Waluyo masih menjalani sidang itu. "Katanya harus sampai Jakarta segala mengurusnya," ujar pria kelahiran 12 Desember 1954 tersebut. (*/c5/c9/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: