Mutiara Ramadan: Mendidik Hidup Sederhana

Mutiara Ramadan: Mendidik Hidup Sederhana

Mendidik-Hidup-Sederhana Oleh: Zahid Khasani Ketua Tanfidziyah PCNU Banjarnegara. Kata kunci dalam puasa adalah menahan atau mengendalikan. Puasa adalah madrasah bagi tiap individu untuk tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perilaku yang mubazir, keinginan-keinginan yang tidak penting, serta akhlak-akhlak tercela semacam tamak, angkuh, pamer, bohong, bangga diri, berfoya-foya, atau meremehkan orang lain. Dalam setiap literatur keagamaan kita hampir selalu dijumpai bahwa definisi puasa adalah al-imsak, yang berarti menahan. Dalam ilmu fiqih, al-imsak dimaknai sebagai menahan makan dan minum dan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Di dunia tasawuf, al-imsak memiliki arti lebih dalam lagi, yakni menahan dari setiap hal yang membuat seorang hamba lalai dari Allah. Puasa adalah momentum penjernihan jiwa, penyucian batin, dan taqarrub kepada Allah. Dalam sistem kapitalis modern saat ini, kebahagiaan hanya diukur dengan materi. Hidup masa kini tidak sah tanpa berbagai atribut kemewahan. Banyak yang selalu merasa tidak cukup, meski sudah hidup layak. Hidup sederhana menjadi barang langka. Saking tidak bisanya hidup sederhana, ada orang yang sedang dihukum pun nekad membawa kemewahan ke dalam penjara. Kalau pun ada (banyak) orang yang hidup sederhana, itu karena terpaksa hidup seadanya akibat terjepit nasib dan pemiskinan. Perilaku hura-hura dan konsumtif sudah menjadi budaya. Keinginan hidup mewah bukan hanya di kalangan berada, tetapi juga di kalangan golongan kurang mampu. Kemewahan bukan lagi sekedar pamer materi, tetapi memanipulasi suatu keinginan sehingga menjadi keharusan demi kepuasan. Akibatnya, tindak korupsi dan kriminalitas merajalela. Keadaan ini sudah demikian parah dan membahayakan. Oleh karena itu, kita harus mulai dari sekarang gerakan hidup sederhana. Perilaku hidup sederhana bertentangan dengan pola hidup konsumerisme, yang memandang kebahagiaan individu hanya dapat dicapai dengan mengkonsumsi, membeli dan memiliki apapun yang diinginkan meskipun melebihi batas kebutuhan dasar. Islam mengajarkan agar kita membelanjakan harta tidak secara berlebih-lebihan dan tidak pula kikir (QS Al-Furqaan 25: 67). Islam mengecam orang yang menumpuk harta dengan memasukannya ke neraka Huthamah (QS. Al-Humazah: 1-9). Mereka yang suka menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, diancam dengan siksaan pedih dan menyakitkan (QS. At-Taubah: 34). “Orang yang mencapai kejayaannya ialah orang yang bertindak di atas prinsip Islam dan hidup secara sederhana. (HR. Ahmad Tirmidzi, Ibnu Majah). Selama hidupnya Nabi penuh kesederhanaan, baik dalam sikap perilakunya maupun apa yang dimilikinya: sandang, pangan, papan dan segala kebutuhan pokok. Termasuk dalam membelanjakan uang negara. Keempat khalifah setelah beliau tetap mempertahankan hidup yang sederhana. Nabi hidup sederhana bukan karena miskin. Nabi sebagai seorang kepala negara bisa hidup mewah, kalau mau. Faktanya Nabi saw sanggup memberikan kambing sebanyak 1 bukit kepada seorang kepala suku yang baru masuk Islam, Malik bin Auf. Dengan kesederhanaan keluarga Nabi, beliau bisa mengoptimalkan hartanya untuk kesejahteraan rakyatnya, kepentingan dakwah dan jihad fi sabilillah. Rasulullah saw bersabda: “Makanlah dan minumlah, berpakaian, dan bersedekahlah, tanpa berlebihan dan tidak sombong” (HR. Ahmad). Nabi makan hanya beberapa suap saja, asal cukup untuk menegakkan tulang rusuknya. Ibn Sina pernah berkata “Berkah dan Hikmah dari Allah tidak akan masuk ke dalam perut yang sudah penuh dengan makanan. Barang siapa sedikit makan dan minumnya, maka akan sedikit pula tidurnnya. Barang siapa sedikit tidurnya, maka akan terlihat jelas dan nyata berkah pada umur dan waktunya." (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: