MUI: Ramadan Perbaiki Darurat Bangsa, 1 Syawal Juga Diprediksi Kompak

MUI: Ramadan Perbaiki Darurat Bangsa, 1 Syawal Juga Diprediksi Kompak

Ramadan-Perbaiki-Darurat-Bangsa JAKARTA- Sebagaimana telah diprediksi sebelumnya, 1 Ramadan jatuh hari ini (6/6). Kepastian ini diputuskan dalam sidang isbat tertutup yang dipimpin oleh Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin. Lukman menegakan tidak ada perbedaan penetapan awal puasa diantara ormas-ormas Islam di Indonesia. Lukman menegaskan bahwa sidang yang tertutup itu bukan untuk menutup-nutupi akses informasi kepada publik. "Sidang tertutup ini masukan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI, red) dan pihak-pihak lainnya," tutur dia usai sidang tadi malam. Lukman menjelaskan bahwa mereka menggunakan pertimbangaan manfaat dan mudarat dalam memutuskan sidang isbat digelar tertutup untuk umum. Kesimpulan dari perhitungannya adalah, sidang isbat digelar tertutup justru lebih sedikit mudarat atau dampak negatifnya. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berujar bahwa pembahasan di dalam sidang isbat itu sangat teknis. Umumnya konten yang dibicarakan dipahami oleh orang-orang yang memiliki latar belakang ilmu astronomi yang bagus. Dia khawatir jika sidang isbat ditayangkan live di televisi, bisa membuat masyarakat salah paham. "Hasil masukan dari beberapa pihak, masyarakat itu lebih membutuhkan hasilnya (sidang isbat, red) ketimbang proses persidangannya," jelas pria lulusan Pondok Darussalam Gontor itu. Dia berharap masyarakat Indonesia memanjatkan syukur karena tidak ada perbedaan dalam penetapan 1 Ramadan 1437 H. Terpusatnya penetapan awal puasa di kantor Kemenag Jakarta, juga menimbulkan dampak bagi masyarakat muslim di daerah waktu Indonesia timur (WIT). Tadi malam keputusan sidang isbat baru dipublikasi pukul 19.00 WIB. Itu artinya warga di Papua dan sekitarnya, mendapatkan kepastian awal puasa pada pukul 21.00 WIT. "Ini adalah konsekuensi dari luasnya wilayah Indonesia," tutur Lukman. Orang-orang muslim di Papua, menuturnya, juga menetapkan awal bulan puasa berdasarkan posisi hilal. Tidak terkait dengan jam sehari-hari. Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat Ma’ruf Amin mendampingi Lukman dalam menyampaikan hasil sidang isbat tadi malam. Ma’ruf menuturkan bulan puasa ini harus menjadi momentum bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memperbaiki bangsa. "Bangsa Indonesia ini sudah darurat," jelas dia. Kiai kelahiran Banten 73 tahun lalu itu menuturkan banyak sekali gejala bahwa Indonesia sekarang sedang masa darurat. Seperti maraknya kejahatan seksual pada anak, aksi terorisme, dan narkoba yang terus bergentayangan. Ma’ruf menuturkan umat Islam selayaknya tidak memaknai bulan puasa untuk menjaga ukhuwah Islamiyah saja. "Tetapi juga untuk menjaga ukhuwah wathaniyah (hubungan kebangsaan, red)," jelasnya. Dengan berpuasa umat Islam dituntut untuk menjaga hawa nafsunya. Tidak hanya hawa nafsu untuk tidak makan, tetapi juga untuk perbuatan-perbutan buruk lainnya. Seperti berbuat jahat, korupsi, nafsu birahi, dan lain sebagainya. Setelah bulan puasa selesai, upaya menjaga hawa nafsu itu diharapkan terus dijaga. Ma’ruf juga menyampaikan rasa syukur bahwa awal bulan puasa tahun ini kompak. Sehingga tidak ada lagi waktu dan tenaga yang terbuang untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan seperti yang penah terjadi. "Insyallah lebaran nanti juga kompak," tandasnya. Prediksi Ma’ruf itu tidak asal-asalan. Saat dilakukan pengamatan hilal pada 29 Ramadan nanti, posisi hilal masih di bawah ufuk. Menurut perhitungan astronomi, posisi hilal nanti minus (-) 1 derajat di bawah ufuk. Sehingga jumlah hari bulan puasa digenapkan (isti’mal) menjadi 30 hari. Sehingga 1 Syawal atau lebaran jatuh pada Rabu, 6 Juli. Sebelum sidang isbat digelar, Kemenag lebih dulu menjalankan sesi prasidang. Isinya adalah paparan perhitungan posisi hilal jelang 1 Ramadan. Paparan ini disampaikan oleh ahli astronomi dari Planetarium Jakarta Cecep Nurwendaya. Cecep mengatakan posisi hilal pada 29 Syaban 1437 kemarin cukup tinggi. Yakni 4,1 derajat di atas ufuk. Merujuk pengalaman sebelumnya, tinggi hilal di atas dua derajat itu sudah bisa terpantau oleh rukyat atau pengamatan langsung. Dia mengatakan tinggi hilal yang berpotensi menimbulkan perbedaan penetapan hari besar Islam adalah, ketika berada diantara 0-2 derajat di atas ufuk. "Bagi yang menggunakan hisab, tinggi hilal di atas nol derajat itu sudah memenuhi kriteria awal bulan," kata dia. Namun bagi yang menggunakan sistem rukyat, tinggi hilal 0-2 derajat itu hampir bisa dipastikan sulit terlihat saat pengamatan. Jadi sebelum keluar keputusan sidang isbat, Cecep sudah memperkirakan bahwa awal puasa tahun ini kompak jatuh pada Senin 6 Juni. "Hilalnya sedang baik hati. Karena posisinya tinggi," paparnya diselingi canda. Hilal di Jakarta dan Bandung Tidak Terpantau Keputusan hari ini awal puasa diambil Kemenag karena mendapat laporan keberhasilan memantau hilal. Ada enam titip pemantauan yang melaporkan berhasil memantau hilal. Yakni di Belu, Nusa Tenggara Timur; Jombang, Bangkalan, Gresik, dan Bojonegoro, Jawa Timur; dan Kebumen, Jawa Tengah. Namun di sejumlah titik pengamatan hilal, tim tidak berhasil mengamati bulan muda itu. Diantara lokasi yang gagal melihat hilal adalah di kawasan DKI Jakarta dan di Kabupaten Bandung. Pengamatan hilal di dedung Kanwil Kemenag DKI Jakarta kemarin dinyatakan tidak berhasil melihat hilal. Meski dilakukan di lantai tujuh, kantor yang berada di daerah Jakarta Timur itu sebetulnya bukan tempat yang ideal untuk melaksanakan pemantauan. Pasalnya, barisan gedung-gedung tinggi berdiri berjejer, tepat di sebelah barat. "Tinggi gedung itu sudah sekitar dua derajat dari ufuk," kata Syarif Hidayat, salah seorang ahli falak Kementerian Agama (Kemenag) yang tunjuk memimpin pemantauan di lokasi tersebut. Pemantauan hilal di Observatorium Bosscha, Lembang, Kab. Bandung, Jawa Barat (Jabar), kemarin (5/6) juga tidak berhasil melihat hilal. Tiga petugas pengamat hilal yang diutus oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) yakni Zainuddin M. Arifin, Wildan Hidayat, dan Evan Irawan Akbar dibuat pusing dengan kondisi cuaca yang mendung, berawan pekat, dan bahkan sedikit berangin yang terjadi di lokasi yang memiliki ketinggian 1.310 meter dpl itu. Padahal, mereka beserta rombongan timnya telah bersiap sejak siang hari beserta peralatan lengkapnya untuk mengamati hilal. Yakni tiga buah teleskop portabel jenis refraktor, William Optics 66 milimeter. Namun hingga adzan Maghrib terdengar, kondisi cuaca masih enggan mengalah, malah hujan yang turun. Akhirnya, dengan terpaksa dan agak kecewa mereka harus membongkar teleskop yang telah dirakit. "Sudah nggak mungkin kelihatan mata telanjang, bahkan pakai teropong sekalipun," kata salah satu petugas pengamat hilal di Observatorium Bosscha, Evan kepada Jawa Pos kemarin. (wan/far/dod)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: